Rabu, 21 Agustus 2013

Kunci Menembus Keterbatasaan

Tumor otak yang menjadi benalu di dalam otakku telah merebut penglihatanku. Semenjak aku mengalami ketunanetraan tepatnya pada tanggal 25 Juni 2007 silam yang di mana hari itu merupakan hari ulang tahunku yang ke 14, aku merasa telah kehilangan asaku di dunia ini. Meski aku telah ikhlas menerima cobaan itu dengan sabar, namun tetap saja aku berpikir bahwa apakah yang harus aku lakukan dalam ketunanetraanku? Cita-cita untuk menjadi seorang dokter pun perlahan terkikis oleh waktu yang terasa begitu lambat bagiku. Hobi membaca dan menulis yang kumiliki, tak dapat lagi kupenuhi. Apabila aku ingin mengetahuii isi dari sebuah buku, aku harus dibacakan oleh orang-orang di sekitarku. Begitu pula saat aku ingin menuangkan tulisan-tulisanku yang mengalir dari benakku, dengan terpaksa aku mesti meminta bantuan dari sahabat-sahabatku yang bersedia mengetikkan tulisan-tulisan tersebut. Selain itu, aku tak dapat lagi membaca ayat-ayat suci yang telah menjadi kewajibanku selama ini, kini yang dapat kulakukan yaitu sekedar mendengarkannya melalui sebuah kaset. Hingga tiba suatu waktu dimana mereka tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing dan tak bisa membantuku sehingga hal itu membuat hatiku miris. Hati kecilku berkata bahwa ketunanetraanku telah membatasi langkahku. Dan terkadang aku merasa telah merepotkan orang n disekitarku. Dalam keterbatasanku itu, tak jarang aku mengambil sebuah pena dan secarik kertas kosong lalu menuliskan segala hal apapun termasuk menuliskan sebuah ayat suci . Meski tulisan tersebut dapat terbaca jelas oleh mereka layaknya tulisan seorang normal, namun tetap saja aku tak dapat membaca tulisanku sendiri. Aku yang merupakan seorang juara kelas di sekolahku dahulu, kini tak dapat berbuat apapun jua, semua telah tinggal menjadi sebuah kenangan. Hingga pada suatu hari, aku dimasukkan ke salah satu SLB yang ada di kotaku. Di sana aku diajarkan menggunakan huruf Braille, akupun senang sebab dengan adanya huruf Braille, aku dapat menulis dan membaca lagi, meski awalnya agak sulit karena untuk menulis menggunakan huruf Braille sering membuat jariku kesakitan. Selain itu, aku diajarkan membaca al-quran Braille. Bukan hanya itu, aku juga diajarkan menggunakan beberapa alat elektronik seperti computer dan telepon selular yang telah diberi semacam alat bantu khusus bagi kaum tuna netra yaitu sebuah aplikasi yang telah diprogram untuk membacakan tulisan-tulisan yang tertera pada layar kedua alat elektronik tersebut. JAWS dan talks telah membantuku mengaplikasikan alat tersebut, bahkan aku telah bisa mengakses internet dengan mudah. Aku pun makin bahagia sebab satu persatu rutinitas yang dahulu tak dapat kulakukan dalam ketunaneteraanku, kini aku dapat mengerjakan segalanya sendiri tanpa merepotkan orang di sekitarku lagi. Ketika aku kembali ke lingkunganku yang dimana di tempat itu tak ada seorang pun tunanetra, tentu hal itu membuat mereka takjub dan tak percaya bahwa aku dapat melakukan apa yang mereka lakukan sebab selama ini pengetahuan mengenai tunanetra masih tabu sehingga mereka masih mengira tunanetra tak dapat berbuat apa-apa selain menjadi seorang pemijat. Melihat kemampuanku saat ini seketika mengundang perhatian dan menjadi buah bibir di tengah-tengah mereka. Lambat laun, perkiraan dan anggapan mereka mengenai tunanetra selama ini perlahan lenyap meski sebagian dari mereka masih ada yang memandang tunanetra dengan sebelah mata. Dan hal itu terulang saat aku mencoba memasuki sebuah Madrasah Aliyah Negeri yang dimana di sekolah tersebut bukanlah sekolah inklusi. Sang kepala sekolah dan sebagian guru menolak kehadiranku. Namun dengan dibantu oleh teman-teman senasib dan seperjuanganku aku, kami menunjukkan bahwa aku dapat mengikuti pelajaran di sekolah itu tanpa merepotkan mereka. Di hadapan mereka, aku memainkan jari-jemariku di atas sebuah laptop dengan lincahnya, dan ketika mereka memintaku untuk membacakan isi dari sebuah quran braille, aku menyanggupinya. Meski mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa aku mampu, nampaknya mereka masih ragu sehingga pihak sekolah memutuskan untuk mengadakan uji coba selama sebulan padaku. Begitu pula dengan teman-teman sekolahku, mereka Nampak ragu akan kemampuanku melihat bahwa aku adalah seorang tunanetra. Beberapa guru yang masuk ke kelasku sempat bingung mengamati huruf-huruf Braille dan mendengaar suara-suara berisik yang ditimbulkan oleh laptopku. Telah sebulan kujalani uji coba itu dengan baik, pihak sekolah pun memutuskan bahwa aku diterima di sekolah itu, bahkan aku diberi beasiswa yaitu dengan membebaskanku dari uang iuran perbulan hingga aku tamat dari sekolah tersebut. guru-guru dan teman-temanku akhirnya telah dapat menerima kehadiranku dan mereka kagum akan prestasi yang telah kuukir dengan penuh perjuangan. Walau aku kini telah menjadi seorang tunanetra, aku tak jauh berbeda dengan mereka, yang membedakan antara aku dan mereka hanyalah segi penglihatan. Bahkan terkadang mereka memintaku untuk mengajari mereka mengenai beberapa pelajaran yang dapat aku kuasai. Namun pada suatu hari, guru kimia yang mengajariku agak ragu ketika melihat hasil ujianku bahwa nilaiku berada di atas nilai standar. Padahal siswa yang ada di kelasku hamper seluruhnya memeiliki nilai di bawah standar sehingga mereka harus mengikuti pengulangan kecuali lima siswa termasuk aku. Sang guru pun mencurigai bahwa aku dibantu oleh sahabatku yang terkenal pandai dalam bidang pelajaran itu. Aku yang merasa tak melakukan hal itu spontan membantah kecurigaannya tersebut. Aku pun menjelaskan mengenai jawaban yang kumiliki dengan membacakan rumus yang kugunakan beserta hasil perhitungan yang kubuat dengan menggunakan angka dan huruf braille. Setelah mendengar penjelasanku, beliau pun paham akam kemampuanku. Nah, itulah sekilas mengenai kisahku. Manfaat dari huruf-huruf Braille beserta alat-alat mobilitas sangat terasa dan berpengaruh dalam kehidupanku saat ini. Dengan adanya media tersebut sebagai kunci bagi para kaum tunanetra untuk menembus keterbatasan mereka, kini tak mustahil bagi kaum tunanetra dapat menggapai dan menaklukkan dunia. Wahai para mereka yang masih saja menyelepehkan ketunanetraan kami, lihatlah kami ini yang akan membuktikan kepada dunia bahwa kami dapat berhasil seperti mereka. Meski kami dalam gulita, kami memiliki secercah cahaya untuk menyongsong masa depan yang cerah. Dan aku tak akan pernah berhenti berharap bahwa semoga kelak aku dapat menjadi seorang penulis sejati. Dan mungkin tulisanku ini sangatlah sederhana namun merupakan sebuah curahan hatiku yang terpendam selama ini. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar