Minggu, 21 Juli 2013

jangan hentikan impianku, Ayah

Awan mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Langit menjadi kelabu. Di kamar yang berukuran kecil ini, aku duduk di atas ranjangku yang amat empuk, sangat jauh dari hatiku yang tidak lagi empuk untuk saat ini. Telah berkali-kali aku menghapus air bening di pipiku, namun percuma saja karena air bening itu terus saja muncul. Di kupingku, suara dan kata-kata Ayah terus saja terngiang. “Kalau Ayah sudah bilang tidak, kamu tidak usah lagi mengulang permintaanmu! Ayah juga pernah kok ikut dalam sanggar itu, dan itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Kamu itu bukan tunanetra biasa tidak seperti teman-teman kamu yang lain. Selain penglihatanmu yang bermasalah, kamu juga mengidap tumor otak! Kalau kamu kecapean atau kamu banyak berpikir, hal itu mengundang resiko besar atas kesehatanmu. Kalau kamu sakit lagi, bukan hanya dirimu yang merasakannya, tetapi kamu juga akan merepotkan orang-orang sekelilingmu. Andaikan jika kamu sakit yang repot kamu saja, tapi sayangnya yang akan repot kita juga! Sudah beberapa kali Ayah beri kesempatan untukmu, tapi nyatanya hasilnya begitu saja, tidak ada satu pun yang tuntas! Semuanya putus di tengah jalan! Hanya rasa capek dan sakit yang kamu dapatkan ditambah lagi kamu telah banyak merepotkan kita,” hardik Ayah tanpa memikirkan perasaanku. Aku hanya dapat menangis dan berusaha mengobati perasaanku sendiri. Rasanya aku hamper saja menyerah dengan semua ini. Tekanan batinku pun makin dalam. “Bagaimana seluruhnya dapat tuntas kalau Ayah sendiri berat hati dengan semua yang ingin aku awali, sekolah contohnya. Ketika aku meminta kepada Ayah untuk menyekolahkanku, sejak awal Ayah memang langsung menolak mentah-mentah permintaanku hingga akhirnya barulah aku dapat izin untuk bersekolah atas bujukan dari Ibu, itu pun Ayah selalu mengeluh karena jarak sekolahku yang terbilang jauh. Pokoknya semua yang kuingin lakukan, tidak pernah mendapat respon yang baik dari Ayah, maka dari itu pula hasilnya semua menjadi seperti itu. Ayah tidak pernah ikhlas dengan semuanya. Mungkin jangan-jangan Ayah juga belum ikhlas menerima keadaanku bahwa puterinya ini telah resmi menjadi seorang tunanetra. Mungkin di mulutnya Ayah bilang ikhlas namun tidak senada dengan isi irama di hatinya,” pikirku dalam hati. apakah aku salah kalau aku hanya ingin masuk ke sebuah sanggar untuk memperdalam dan mengasah bakat yang kumiliki? Bagiku rasanya ini tidak adil. Ya Tuhan, aku hanya ingin mewujudkan segala mimpi dan impianku walau kedua mata ini tinggal menjadi sebuah pajangan di wajahku. Aku dan para tunanetra sedunia juga berhak mewujudkan impian masing-masing sebab kesuksesan itu milik semuanya tak terkecuali kaum disibilitas, yang penting kita memiliki kemauan dan tekad kuat serta gigih dan tak pantang menyerah juga tidak takut untuk jatuh ataupun gagal. *** Toktok.. terdengar katukan pintu yang berasal dari ruang tamu. Aku yang tengah sarapan bersama keluarga di hari minggu yang cerah ini rupanya sudah kedatangan tamu sepagi ini. “Ran, coba lihat siapa tuh yang datang!” “Ibu, Rani kan tidak bisa melihat! Ibu ada-ada aja, yah palingan Rani hanya dapat mengenali suaranya! Itu pun kalau Rani kenal,” ujarku sambil berlalu menuju ke ruang tamu. “Assalamu alaikum…” sahut lelaki dibalik pintu. “Wa’alaikum salam, siapa ya?” tanyaku penasaran, suaranya rasanya tidak asing lagi di kupingku. Dengan perlahan aku pun membukakan pintu untuknya. “Eh, Nak Rani! Apa kabar? Tante dan Firdaus telah datang untukmu sesuai janji anak tante kepadamu,” kata wanita di hadapanku dengan lembut dan hangat yang tidak lain ibu yang telah mengandung Sang Pangeran hatiku. Rasanya hari ini aku sangat bahagia, tapi di sisi lain aku juga merasa takut dan cemas sebab kedatangan mereka ini bukanlah kedatangan mereka untuk pertama kalinya, tetapi sudah kedatangan mereka yang kedua kalinya. Bagaimana aku tidak merasa cemas?! aku takut Ayah dan Ibu akan kembali menolak pinangannya walaupun Ayah pernah berkata bahkan berjanji kepadaku bahwa jika memang Aku dan Firdaus berjodoh, Ayah tidak akan menghalanginya. Tetapi Ayah berkata seperti itu tetap di saat aku tengah sakit parah. Aku takut itu hanyalah sekedar janji palsu agar aku dapat sembuh dan dapat tersenyum kembali setelah kejadian penolakan lamaran Firdaus yang untuk pertama kalinya yang seketika membuat jiwaku terguncang hebat hingga mengundang tumor itu datang kembali. “Ran! Kok diam? Melamun ya? Kamu tidak mau mempersilahkan kami masuk nih?!” suara Firdaus seketika membuyarkan pikiranku. “Eh, maaf ya, ayo silahkan masuk. Tante hanya berdua? Yang lain mana? Kok tidak diajak sekalian ke sini?” “Oh yang lain pada masih ada di Kalimantan termasuk Ayah Firdaus. Dia belum dapat cuti dari perusahaan tempat dia bekerja. Oh ya, Ayah dan Ibu kamu mana? Kami ingin bicara,” “Ran, siapa yang datang?” Ayah dan Ibu tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami. “Assalamu alaikum, Pak, Bu! Maaf kami telah mengganggu pagi-pagi begini,” “Oh tidak masalah kok, Bu! Oh ya, kalau boleh tau ada maksud apa Ibu dan Nak Firdaus berkunjung ke rumah ini?” Tanya Ayah tanpa basa-basi. “Baiklah Pak, Bu, maksud kedatangan kami ini yaitu tidak lain untuk meminang puteri Ibu dan Bapak untuk anak saya Firdaus. Saya berharap Ibu dan Bapak sudi untuk menerima pinangan kami ini,” jawab Bu Anwar langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Sejenak suasana di ruang tamu itu menjadi dingin dan membeku. Beberapa menit kemudian, Ayah pun angkat suara dan mencairkan kebekuan suasana itu. “Maaf sebelumnya, bukannya kami ingin menolak niat baik Ibu untuk meminang puteri kami, tetapi kami ragu dan takut kalau anak Ibu bisa saja tidak dapat menghidupi ataupun menafkahi puteri saya juga anak-anak mereka kelak apalagi mereka sama-sama tidak dapat melihat ditambah lagi pekerjaan anak Ibu belum jelas dan kalau tidak salah anak Ibu hanyalah berprofesi sebagai pemijat saja bukan?! Selain itu, puteri saya ini walaupun tidak dapat melihat, ada beberapa lelaki yang hendak meminangnya dan Alhamdulillah diantara mereka banyak yang telah memiliki usaha dan pekerjaan tetap, berpendidikan tinggi dan juga shaleh. Kami ingin puteri kami dapat bersuamikan lelaki yang dapat melihat agar ia dapat dibimbing dengan baik. Dan sebaiknya anak Ibu juga dinikahkan saja juga kepada wanita yang dapat melihat agar ia bisa dibimbing dan dibantu oleh isterinya kelak,” terang Ayah panjang lebar. “Oh begitu ya, Pak! Baiklah kalau seperti itu menurut Bapak dan Ibu demikian. Kami tidak dapat memaksakan kehendak kami,” “Tunggu dulu Ayah! Bukankah Ayah pernah berjanji kepada Rani bahwa Ayah tidak akan menghalangi kami apabila kami ini memang sejodoh! Kalau Ayah kembali menolak pinangan Firdaus, itu sama saja Ayah telah menghalanginya. Rani tau Ayah dan Ibu memang tidak suka dengan Firdaus karena kami sempat berpacaran setahun, itu adalah kekhilafan kami berdua sebagai manusia yang tidak pernah luput dari lupa dan salah, tetapi yang penting kami telah telah bertaubat kembali ke jalan yang lurus dan menyadari bahwa pacaran itu haram di dalam islam. Dan bukankah Allah itu Maha Pengampun, dan seperti kata-kata yang selalu Ibu ucapkan bahwa ketika kita tengah bersalah tantunya kita juga butuh untuk dimaafkan. Oh ya ada satu hal yang harus Ayah dan Ibu ketahui, Firdaus itu juga dapat sukses seperti lelaki yang lain pada umumnya sebagaimana lelaki pilihan yang menurut Ayah dan Ibu itu terbaik buat Rani. Mereka itu dapat sukses seperti saat ini karena kebetulan mereka beruntung memiliki harta yang berkecukupan sehingga mereka dapat disekolahkan ke jenjang yang tertinggi hingga mereka dapat memiliki pekerjaan yang bagus ataupun mereka juga dapat mengembangkan usaha yang didirikannya juga berkat tunjangan modal yang cukup dari orang tua mereka. Sedangkan Firdaus, dia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang berekonomi pas-pasan tetapi ia sangat sabar menjalani kehidupannya sehingga dalam usianya yang masih kecil tepatnya pada waktu kelas 4 SD, ia memilih untuk memutuskan sekolahnya di tengah jalan walau sesungguhnya ia sangat bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Sebagai anak ia sangat tau diri dan ia tak ingin menyusahkan orangtua. Ia pun bekerja di beberapa tooko dan yang paling penting baginya ialah pekerjaanya itu halal dan ia tidak mengemis-ngemis pada siapa pun. Dan hingga akhirnya di usia yang menginjak remaja, ia terpaksa kehilangan pekerjaan sekaligus penglihatannya yang seketika membuatnya sangat terpukul tetapi ia tetap bersabar yang hingga akhirnya ia dimasukkan ke dalam SLB gratis. Di sana, sambil bersekolah ia juga bekerja sebagai pemijat tetapi kini ia juga tengah sibuk berjualan ditambah lagi ia juga seorang atlet. Dan ia berencana untuk membuka panti pijat sendiri sambil ia berkuliah nanti mengambil ekstensi. Aku dan Firdaus ingin membangun semuanya dari nol hingga nantinya sukses bersama-sama. Dan aku sendiri ingin mengasah bakatku dan mengembangkan organisasi yang tengah kurintis saat ini yang insya Allah akan sukses. Jadi saya mohon, jangan hentikan segala impian Rani, aku mohon! Dan mengapa juga Ayah dan Ibu harus takut bila aku hidup bersama Firdaus? Bukankah Ayah dan Ibu tentunya sudah tau bahwa Tuhan telah mengatur dan menjamin rezeki seorang hambanya sejak ia dilahirkan hingga hamba itu meninggal?! Rezeki itu memang mesti kita jemput dengan usaha kita, dan saya tau dan sangat mengenali Firdaus sebagai seorang lelaki yang pekerja keras dan tidak suka bermalas-malasan,” mataku mulai berkaca-kaca hingga akhirnya menitikkan air bening di pipiku. Setelah sekian menit berbincang-bincang dari hati ke hati, keputusan Ayah dan Ibu tetap sama, keduanya tetap bertahan dan bersikeras hati pada pendapatnya. Dengan hati yang kecewa, Firdaus dan Ibunya akhirnya pamit untuk pulang. Aku sendiri beranjak masuk ke kamarku dan menangis sejadi-jadinya. *** ‘Dan biar cintamu… menari di hatiku.. dan menjelajahi ruang-ruang di hatiku..” terdengar nada handphoneku yang mengisyaratkan adanya sebuah panggilan masuk. Aku yang tengah tertidur seketika terbangun dan buru-buru menerima panggilan masuk di handphoneku. “Assalamu alaikum, Ran! Ada info bagus buat kamu!” sahut seseorang di ujung telpon. “Maaf kamu siapa ya?” tanyaku tidak dapat mengenali suara di ujung telpon itu. “Ya ampun! Kok kamu tidak dapat mengenali suara aku sih! Baru bangun ya?! Ini aku Luthfi,” “Oh Lutfhi ya! Sorry, iya nih aku baru bangun setelah menghabiskan sekian jam untuk menangis yang hingga akhirnya aku tertidur. Memangnya sekarang sudah jam berapa?” “Sudah jam delapan malam Nona Rani! Hebat banget ya tidurnya!” goda Luthfi sambil cekikikan. “Hus..! sudah, kata kamu ada info yang bagus untukku, kalau boleh tau info apaan ya?” “Aku kan tau kalau kamu itu sangat cinta pada hal-hal yang berkaitan dengan sastra, sains apalagi kedokteran! Tapi kali ini infonya berhubungan bukan berkaitan dengan sastra, tulisan ataupun penulisan dan semacamnyalah, tetapi ini info mengenai kedokteran! Sejak kecil kamu kan sangat ingin menjadi seorang dokter tetapi kini impianmu itu terbatasi oleh ketunanetraanmu bukan?!” “Iya..iya.. terus.. ayo lanjut!” “Aku baru saja habis berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa kedokteran dari universitas ternama di kota kita ini. Waktu aku ditanya-tanya oleh mereka mengenai cita-cita aku, aku menjawab bahwa aku ingin menjadi psikolog maka itu tahun depan aku ingin menembak jurusan psikolog pada SMPTN nanti. Terus mereka bilang mengapa aku tidak menembak jurusan kedokteran saja, yah aku jawab seadanya bahwa aku kan seorang tunanetra dan rasanya akan sulit bahkan sangat mustahil untuk dimasuki oleh kaum tunanetra seperti kita ini. Terus mereka berkata lagi bahwa sebenarnya hal itu sangat tidak mustahil untuk kita gapai sebab di Amerika sana, terdapat beberapa dokter yang merupakan seorang tunanetra. Walaupun mereka itu bukanlah seorang dokter spesialis, tetapi setidaknya mereka dapat menjadi dokter umum ataupun menjadi dokter di laboraturium,” “Hah?!! Masak sih?! Kok bisa? Bagaimana caranya? Semua alat-alat yang meski para dokter gunakan itu kan membutuhkan penglihatan!” “Nah itu hebatnya! Di sana, seluruh alat-alat yang mereka gunakan itu dapat berbicara layaknya handphone ataupun laptop yang kita sering gunakan sehari-hari.,” “Wah hebat banget ya! Tetapi bukankah di negeri kita ini Indonesia belum secanggih itu!?!” “Nah itulah yang disayangkan oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran itu. Tetapi kalau kamu memang ingin mewujudkan impianmu, terpaksa kamu mesti ke Amerika! Hehehe…” “Ah percuma saja! Hal itu tetap mustahil buatku. Selain aku itu masih kelas 2 SMA, ruang gerakku sangat dibatasi oelah orangtuaku. Aku saja yang ingin masuk ke dalam sebuah sanggar yang terletak lumayan jauh dari tempat tinggalku ini pun Ayah ku menolak mentah-mentah permintaanku itu, padahal tempatnya masih berada dalam kota ini! Apalagi ke Amerika?!! Yah aku sangat yakin Ayah dan Ibu tidak akan pernah setuju! Kecuali…,” “Kecuali apa?” “Yaa.. kecuali aku kaburlah!” “Ugh, dasar kamu! Oh ya, sudahan dulu ya, aku belum shalat isya nih! Memangnya kamu tidak shalat ya, Ran?” “Tidak, aku lagi berhalangan nih. Kedatangan tamu bulanan! Okey gih shalat sana!” telpon pun terputus. Kembali aku terdiam, perasaan sedih itu pun kembali hadir dan merasuk ke sukmaku. Namun seketika info yang baru saja aku dapatkan dari Luthfi, impianku untuk menjadi seorang dokter itu yang telah sekian lama kupendam dan kukubur dalam-dalam di hati dan pikiranku sekarang kembali timbul bahkan menyala-nyala di dadaku. Aku pun berpikir sebaiknya aku harus pergi dan meninggalkan rumah dan kota ini mumpun aku masih memiliki sejumlah tabungan. Aku harus berhasil meraih segala impianku. “Maafkan Rani, Ayah, Ibu.. Rani harus pergi. Rani tidak ingin lagi merepotkan kalian, Rani tidak ingin menjadi yang sesuai kata-kata Ayah selama ini bahwa aku telah banyak merepotkan dan menjengkelkan kalian. Rani memang sebaiknya harus pergi. Dan di suatu saat nanti, Rani akan menunjukkan kepada Ayah dan Ibu bahwa Rani dapat sukses seperti mereka yang normal. Salam kasih dan saying selalu buat Ayah dan Ibu,” suara Ibu seketika bergetar setelah membaca surat itu. Seketika sekujur tubuh menjadi lemas hingga akhirnya Ibu pun jatuh pingsan. “Ibu sudah sadar. Kurang ajar sekali anak itu! Anak itu taunya hanya menyusahkan orangtua saja!,” Ayah memaki. “Sudahlah Ayah, kita ini memang terlalu keras dan menekan Rani. Untuk sementara sebaiknya kita berdoa saja semoga Rani baik-saja di luar sana. Hanya Allah-lah yang mampu menjaga dan melindungi Rani,” *** Di bandara Soekarna Hatta, aku baru saja turun dari pesawat yang membawaku hingga ke tempat ini. “Mari saya bantu, Mbak!” seorang pramugari menawarkan bantuan kepadku untuk membimbingku. “Terima kasih ya, Mbak pramugari. Oh ya, mbak ini yang membawa makanan untuk para penumpang kan?” kataku seraya tersenyum manis kepadanya. “Iya, kok tau sih? Mbak mengenali suara saya ya?! Oh ya, mbak mau ke mana? Biar aku bantu untuk mencari taxi untuk mbak,” “Iya terima kasih, tapi sebaiknya tidak usah mbak, aku pengen hubungin salah seorang teman saya di kota Jakarta ini untuk menjemputku di sini sebab rencananya aku ingin menginap di rumahnya untuk sementara waktu. “Kalau begitu, saya temanin mbak ya sampai teman mbak datang. Saya hanya khawatir mbak cumin sendirian di sini,” “Mbak sangat baik. Terima kasih banyak, semoga Tuhan membalas kebaikan mbak,” kataku lalu memanggil handphone yang ada di sakuku. “Halo Mbak Mar, ini Rani. Sekarang Rani lagi ada di bandara nih, mbak bisa jemput Rani tidak? Rencananya Rani pengen menginap di rumah mbak untuk sementara waktu aja. Apakah mbak keberatan?” “Oh tentunya, Ran! Dengan senang hati aku akan menjemputmu dan memperbolehkanmu untuk menginap di rumahku. Tunggu ya, aku siap-siap dulu untuk menjemputmu!” Mbak Maria pun menutup telponnya. Aku kembali berbincang-bincang dengan pramugari yang baik hati itu. Kami juga berfoto dan saling menukarkan nomor handphone masing-masing. Setengah jam kemudian, Mbak Mariah telah datang menjemputku. Aku pun berpamitan kepada pramugari itu. “Sorry ya aku telah membuatmu lama menunggu. Wah nampaknya kamu sangat akrab ya dengan sang pramugari itu,” kata Mbak Maria membuka percakapan di dalam taxi yang kami tumpangi. “Wah itu mah no problem mbak! Semuanya sudah tau persis keadaan jalanan di kota Jakarta ini yang terkenal dengan super macetnya. Hahaha… dan seharusnya aku yang minta maaf karena sudah repotin mbak! Aku jadi sungkan,” “Tidak perlu sungkan, Ran! Anggap saja mbak ini adalah mbak kandungmu sendiri. Oh ya, kamu pengen buat apa jauh-jauh ke kota ini? Ada perlu?” Tanya Mbak Maria penasaran. Akhirnya aku menceritakan kronologi dan sebab mengapa aku terpaksa ke kota itu. Mbak Maria mendengarka ceritaku dengan hikmat. “Mbak, sudah sampai,” tegur sang supir taxi. “Oh sudah sampai rupanya! Tidak terasa ya, kita keasyikan ngobrol sih. Maaf yam as supir,” kata mbak Maria dengan ramah. *** Telah seminggu aku tinggal di rumah mbak Maria, dalam kurun waktu itu pula segala urusanku pun telah kelar. Aku dan mbak Maria berhasil mengurus surat kepindahanku dari sekolahku yang lama yang hamper setahun aku tidak masuk sekolah akibat sakit yang kuderita. Tidak pernah kusangka dan kubayangkan kalau akhirnya aku dapat kembali bersekolah apalagi bayangan pindah ke sola yang baru dan mesti bersekolah tanpa biaya dari sedikit pun dari orangtua, tetapi aku tidak khawatir sedikit pun sebab aku telah diterima sebagai contributor alias penulis bebas di salah satu perusahaan majalah ternama di kota ini. Dan gajinya pun lumayan untuk membiayai sekolah dan kebutuhanku sehari-hari. Sekarang aku tidak lagi tinggal bersama mbak Maria melainkan kini aku telah tinggal di salah satu rumah kost-kostan yang terletak tidak jauh dari rumah mbak Maria. *** Hari-hariku pun aku lalui dengan penuh perjuangan. Meski aku sangat sibuk dengan urusan pekerjaan dan sekolahku, aku tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim. Selain itu, organisasi yang telah kurintis tetap berjalan baik dan lancer. Aku pun juga sangat bersyukur sebab aku berhasil diterima masuk ke dalam kelas sains yang ada di sekolahku walaupun aku sejujurnya agak kesulitan, tetapi setiap membayangkan impianku itu terwujud, rasa sulit dan lelah yang kurasakan lenyap seketika. *** 8 tahun kemudian.. aku baru saja menyelesaikan tugasku di laboraturium. Terdengar seorang lelaki tengah memanggilku. “Dr. Rani!! Ada seorang pasien tengah mencarimu!” teriak lelaki itu. Aku pun sangat terkejut sebab lelaki itu menggunakan bahasa Indonesia saat memanggilku. “Lama tidak jumpa anda, Dr. Rani! Aku adalah seorang pasienmu yang telah bertahun-tahun engkau tinggalkan. Wahai dokter cintaku, sembuhkanlah diriku ini dengan menerima lamaranku untuk ketiga kalinya. Please…!” kata lelaki itu sambil menyerahkan setangkai mawar putih kepadaku. “Firdaus! Benarkah kamu adalah Firdaus?!” tanyaku tak percaya. “Tepat sekali! Aku Firdaus, sang pangeran hatimu sekaligus pasienmu yang sekian tahun meninggalkanku,” “Subhanallah!! Allah memang Maha Kuasa. Akhirnya Dia kembali mempertemukan kita walau itu di kota Washington ini. Aku sangat terharu dengan kejutan ini. Dan sekarang aku akan menerima lamaranmu walaupun aku sedih karena Ayah dan Ibu tidak ada di sini menyaksikan saat-saat bahagiaku ini,” “Apakah kamu tidak ingin bertanya kepadaku mengenai profesiku saat ini?” “Mau kok! Memangnya sekarang kamu berprofesi menjadi apa?” “Alhamdulillah, aku sudah menjadi dosen di salah satu universitas ternama di Jerman dalam bidang hubungan internasional,” “Syukurlah kalau begitu, aku turut senang. Kalau begitu, sebaiknya kita segera mengurus pernikahan kita sebelum semuanhya terlambat,” “Maksud apa? Apa tidak sebaiknya kita pulang ke Indonesia dulu dan menikah di sana dan tentunya kamu harus meminta restu orangtua kamu dulu?!” “Aku takut mereka kembali menolak lamaranmu walaupun mungkin kamu itu telah sukses seperti ini. Aku sangat trauma dengan semua ini! Mungkin aku hanya dapat mengirimkan pesan kepada mereka bahwa kita akan menikah. Oh ya, bagaimana dengan orangtua kamu sendiri? Apakah dia tau mengenai hal ini?” “Tentu, sebelum aku ke sini aku menyempatkan pulang ke Indonesia meminta doa dan restu dari keduanya. Kamu kan sudah tau bahwa orangtua aku tidak pernah menghalangi anak-anaknya yang ingin menikah dengan pilihannya sendiri selama calonnya itu orang yang baik,” “Yah.. andai saja orangtuaku juga seperti itu, tapi sudahlah. Sekarang kita harus menyelesaikan urusan pernikahan kita ini,” “Okay, dengan senang hati tentunya!” *** Toktok… terdengar suara pintu diketuk. Bu Syaid yang merupakan ibu Rani bergegas membuka pintu. “Assalamualaikum Bu!” “Nak Firdaus! Tunggu dulu, anak kecil yang bersamamu itu anak kamu dan Rani?!” “Iya, Bu, ini anak saya dan Rani,” “Oh cucuku… kamu sangat ucu dan tampan saying.. wajahmu perpaduan wajah Ayah dan Ibumu. Lihat matamu, matamu sama dengan mata Ibumu. Nak Firdaus, mana Rani? Ibu sangat rindu padanya,” “Maafkan aku, Bu.. saya tidak menyampaikan sebelumnya kepada Ibu bahwa Rani telah tiada di dunia ini. Sebelum kami menikah pun, Rani merahasiakan kepadaku bahwa tumor otaknya telah memasuki stadium akhir. Semangat besar yang ia miliki itu mampu membuatnya dapat bertahan melalui masa-masa sakitnya selama 3 tahun. Bahkan Rani tidak pernah Nampak sakit ataupun mengeluh, ia selalu ceria menjalani hari-hari bersamaku. Aku baru tau bahwa ia tengah kembali diserang oleh tumor itu ketika aku mendapatinya tergeletak pingsan di kamar mandi yang segera kularikan ke umah sakit terdekat Setelah memeriksa ecara detail kondisi Rani, dokter pun menyampaikan kepadaku bahwa umur Rani tinggal menghitung hari,” “Jadi Rani meninggal di rumah sakit itu?” “Iya, Bu. Setelah seminggu ia koma, pada saat yang bersamaan aku baru aja selesai mengerjakan shalat lail dan berdoa untuk kesembuhan Rani dengan curahan air mataku sebagai saksi bisu, tiba-tiba Rani bangun dari komanya dan memanggil namaku. Aku sangat bersyukur dan segera menghampirinya lalu mengecup keningnya. Kemudian ia menggenggam erat tanganku lalu berkata bahwa ia ingin tidur di pangkuanku. Aku pun elakukan sesuai permintaanya itu dengan hati-hati sebab alat-alat yang terpasang pada tubuhnya cukup banyak. Setelah itu, ia berbisik kepadaku agar aku membimbingnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum ia akan benar-benar tidur untuk selamanya. Dan Alhamdulillah, ia berhasil mengucapkannya denganfasih dan mudah,” “Rani…” lirih Ayah Rani yang rupanya mendengar percakapan mereka sejak awal. “Ayah.. puteri kita telah tiada..,” jerit pilu membahana di rumah itu. “Oh ya, ini ada kejutan buat Ayah dan Ibu yang telah lama Rani siapkan dari jauh hari,” kata Firdaus seraya menyerahkan sabuah map dan sebuah amplp kepada kedua orangtua Rani. “Apa ini, Nak?” “Itu adalah sertifikat rumah, Rani telah membeli sebuah rumah mewah di Washington buat Ayah dan Ibu. Dan yang satunya lagi itu adalah surat undangan untuk Ayah dan Ibu untuknaik haji di tahun ini, Rani juga telah mendaftarkan nam Ayah dan Ibu sebagai calon jamaah haji untuk tahun ini. Selamat ya buat Ayah dan Ibu!” Firdaus mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan kepada keduanya dengan mata yang basah. Seketika Firdaus dirangkul erat oleh keduanya sambil mengucapkan maaf sebesarnya. Tak lama kemudian, terdengar suara benda berat dan besar baru saja terjatuh di dekatnya. Firdaus pun makin terperanjat mendengar teriakan Syafi anaknya. “Grandma…!!” “Ibu..!! bangun Ibu!! Ibu.. Iibuu..!!”” ###