Minggu, 26 Juli 2015

BLACK WORLD

Aku tengah menatap lautan yang memantulkan keindahan cakrawala yang nampak keemasan. Pemandangan sunset di hadapanku sama sekali tak mampu meneduhkan jiwaku, justru hal itu hanya memperburuk suasana hatiku. Angin sepoi yang membelai lembut wajah sebenarnya begitu sejuk, tapi yang terasa olehku seolah angin itu dingin dan menampar-nampar wajahku. Aku sangat ingin meneteskan air mata, berharap air mata sedikit dapat menenangkanku. Dan aku kesal sebab aku tak mampu untuk melakukannya saat ini. Aku seolah kehabisan air mata sehingga untuk mengeluarkannya pun sulit. Mencoba untuk berteriak, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah racauan yang terdengar menyedihkan. Aku terduduk di atas ribuan pasir putih yang menghambar bagai permadani yang berkilauan sambil mengacak-acak rambut panjangku. “Pelan-pelan, sayang,” Aku seketika menoleh ke samping dan mendapati sepasang suami istri yang sedang dituntun oleh sepasang anak kembar emasnya. Kedua bocah itu berjalan begitu cepat sehingga membuat kedua orangtuanya terlihat cemas. kini perhatianku teralih pada sepasang suami istri tersebut dan merasa aneh dengan tongkat yang mereka bawa. Kuamati wajah dan mata keduanya, namun aku tak menemukan sesuatu yang salah atau sesuatu yang tak sempurna di dalamnya. Kini mereka tengah berusaha mendudukkan anak-anaknya lalu ikut duduk bersamanya. Aku pun terkesima melihat sang suami itu mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya lalu sebelah tangannya terulur berusaha menggapai-gapai wajah sang istri. Setelah berhasil menyentuh wajah sang istri, sang suami itu pun menyeka peluh wanita cantik di hadapannya dengan penuh perasaan. Wanita itu hanya tersenyum dan tersipu malu lalu mengeluarkan kotak bekal yang disimpannya dalam tas selempang yang dikenakannya. Aku pun baru tersadar bahwa sepasang suami istri tersebut buta setelah mengamati seksama fokus pandangan dari kedua bola mata mereka. Aku kini kembali memerhatikan kegiatan mereka dengan ekor mataku. Si wanita sedang menyuapkan sepotong roti kepada anak lelakinya, sedangkan suaminya juga sibuk menyuapkan sepotong roti untuk anak perempuannya, tetapi sekali-kali wanita itu menyuapkan roti itu kepada suaminya dan begitu pula sebaliknya. Oh My God! Aku tak tahan dengan semua yang mereka miliki namun tak kumiliki. Aku memiliki ayah tampan namun seolah tak memilikinya. Aku memiliki ibu yang cantik tetapi seolah tiada. Mereka hanya sibuk dengan dunia bisnis yang mereka miliki dan lebih bahagia berhura-hura bersama rekan-rekan mereka masing-masing daripada mengurus atau bertamasya denganku, anak semata wayang mereka. Aku pun pernah memiliki beberapa mantan kekasih yang tampan, namun ternyata mereka hanya memilihku karena kecantikan dan kekayaan yang kumiliki. Aku belum pernah menemukan dan merasakan ketulusan yang murni untukku. namun sepasang suami istri buta itu bahkan dengan mudahnya menemukan dan memiliki cinta, kehangatan, ketulusan, dan segalanya yang kucari dalam hidupku namun tak kutemukan. Dan akhirnya tangisku pun pecah, dan aku tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku yang memandang aneh terhadapku. Mungkin mereka mengiraku gila sehingga mereka enggan mendekatiku apalagi untuk bertanya tentang apa yang sedang terjadi padaku. Tetapi ternyata aku salah, sepasang suami istri buta tersebut bersama anak-anaknya justru mendekatiku dan menanyakan keadaanku apakah aku baik-baik saja dan adakah sesuatu yang bisa mereka lakukan untukku. aku tercengang dengan sangat lalu kupeluk erat kedua lututku sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Dan tangisku membuat tubuhku terguncang-guncang. “Kenapa kakak menangis? Siapa yang sudah memukulmu?” tanya kedua bocah kembar emas itu sambil membelai rambutku yang berwarna coklat kemerahan. Aku mengangkat kepala kemudian memandang ke arah mereka sambil berusaha tersenyum. “Kakak baik-baik saja, anak-anak manis. Tak perlu khawatir, OK.” “Tetapi sepertinya kamu memiliki masalah yang cukup berat, gadis muda. Semoga kami bisa membantumu. Kamu tak perlu sungkan terhadap kami,” wanita cantik itu berusaha untuk merangkul bahuku. Jilbab birunya berkibar-kibar diterpa angin. Tiba-tiba sebuah ide menarik mengusik benakku dan aku berusaha menyuarakannya. “Apa aku boleh ikut bersama kalian? Tinggal di tempat kalian untuk seminggu ini? Aku sangat memerlukan sebuah ketenangan jiwa,” Wanita itu sejenak berpikir lalu bangkit dan berbalik ke arah suaminya yang sejak tadi berdiri di belakangnya sambil ikut mendengarkan percakapan kami. “Dengarkan kata hatimu, sayangku. Aku percaya pada keputusanmu,” ucap suaminya yang seolah tahu isi hati dan pikirannya meski wanita tersebut belum berucap sepatah kata pun. Kontak batin yang begitu erat antara keduanya membuatku makin iri. “Baiklah. Aku akan memperbolehkanya,” balas wanita itu sambil perlahan membalikkan badannya ke arahku. Aku pun tersenyum walau aku sadar ia tak akan bisa melihat senyum tulusku untuknya. “Senja tak lama lagi akan berakhir, sebaiknya kita beranjak dari tempat ini. Sekarang kalian ikut aku ke mobil. Sangat kebetulan aku memarkirnya tak jauh dari sini,” Ketika aku hendak menuntun wanita itu, ia menolaknya dan lebih memilih berjalan beriringan bersama suaminya dengan tongkat yang dimilikinya. Dengan tongkat yang mereka miliki masing-masing, alat tersebut seolah menjadi pengganti mata bagi mereka. “Gadis muda, sebaiknya kamu beriringan dengan anak-anak kami saja, biar kami saja yang di belakang agar kami mudah mengikutimu,” ujar wanita itu lagi. Dalam waktu dua puluh menit, mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah flat sederhana yang bercat kuning muda. Tak sulit untuk menemukannya sebab mereka sangat cerdik dalam menjelaskan rute menuju flat mereka. Ketika kami telah memasuki flat, aku melihat pasangan suami istri itu kini berjalan dan bergerak dengan santainya tanpa bantuan tongkat. Mereka seolah melihat segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan mereka hanya sesekali terlihat untuk meraba-raba sekitarnya. Ketika aku menanyakan hal itu pada anak perempuannya, ia hanya berkata bahwa kedua orangtuanya sudah begitu hafal segala yang ada di dalam flat mereka. Dan kini pasangan suami istri tersebut menjamuku dengan makan malam yang sederhana namun terasa nikmat karena kebersamaan yang tercipta di antara mereka. Tetapi aku sempat merasa aneh ketika sejam sebelum makan malam aku melihat mereka sedang beribadah dengan gerakan-gerakan yang menurutku sangat primitif sebab mereka harus bersujud di atas lantai. Namun yang lebih anehnya, jiwaku merasa damai dan hangat melihat semua gerakan itu. bahkan hatiku seolah tergerak untuk melakukannya namun kuurungkan. Apa yang terjadi dalam diriku saat ini sungguh membentuk sebuah tanya besar yang aku sendiri tak mampu menjawabnya. “Oh ya, sejak tadi kita belum sempat berkenalan. Namaku Izzah dan suamiku bernama Ali, sedang kedua anak kami bernama Zahrah dan Yusuf. Bagaimana denganmu?” tanyanya memutuskan lamunanku/. “Namaku Michell, dan aku tak bertuhan. Tetapi kedua orangtuaku sepertinya menuhankan kekayaan dan bisnis mereka sebab aku sering mendengar mereka mengatakan ‘Oh Tuhanku’ ketika mereka memenangkan tender atau ketika mereka melihat setumpuk uang yang banyak di brangkas mereka,” jawabku panjang lebar. Aku pun heran dengan sikapku sendiri yang begitu mudahnya menampilkan profil keluargaku yang brengsek. Lidahku seolah dituntun untuk mengatakan segalanya tentangku apa adanya. Dan aku terkejut menyadari pipiku yang basah karena linangan air mata yang tak henti setiap aku membuka satu per satu masalah yang kumiliki dan harapan-harapan yang selama ini kucari dalam hidup. Aku pun bercerita tentang ibuku yang hendak menjodohkanku dengan Mike, seorang pengusaha muda dan kaya namun seorang pemabbuk nomor satu dan senang bermain dengan pelacur-pelacur berkelas, dan aku kabur meninggalkan rumah sehingga ibukulah yang terpaksa menikah dengannya sebab ibuku ttelah rela menukarkan diriku demi mendapatkan salah satu anak cabang perusahaan milik Mike. Karena aku kabur, ibukulah yang menggantikan posisiku dan ibuku ternyata sengsara hidup bersama Mike. Ibuku kerap menelpon dan bercerita panjang lebar tentang kesengsaraannya sekali dalam sehari, tentu saja ia menelpon di saat Mike sedang tak bersamanya, tepatnya saat lelaki brengsek itu berada di kantor. Dan aku bercerita pula pada mereka tentang keresahan hatiku bahwa ibuku sudah seminggu belakangan ini tak pernah menghubungiku lagi, dan itu membuatku khawatir. Ketika terakhir berbicara dengannya, ibuku mengatakan tubuhnya sudah babak belur karena kelainan seks yang dimiliki Mike. Meski selama ini ibuku jarang mempedulikanku, sebagai anak aku tetap mengkhawatirkan keadaannya dan hendak menolongnya. Tapi aku tak memiliki keberanian untuk mendatangi rumah Mike yang semewah istana itu. Jika aku nekat, bisa-bisa nasibku tak jauh berbeda dengan ibuku, bahkan bisa saja lebih buruk karena Mike sangat marah besar mengetahui aku tak sudi menikah dengannya. Sedang ayahku entah ke mana, sudah sebulan aku tak bertemu dengannya. Tapi menurut kabar burung yang kuterima dari salah satu rekan kerjanya mengatakan ayahku sedang berbulan madu dengan selingkuhannya yang sudah resmi menjadi istrinya sejak bulan lalu. Ada pula yang mengatakan ayahku akan menetap dan akan mengembangkan bisnisnya di kota Mexico bersama istri barunya yang tak akan pernah kuakui sebagai ibuku sekalipun untuk menyebutnya dengan panggilan ibu tiri. "Maaf jika kami sudah lancang menannyakan hal ini padamu. Mengapa kamu tak bertuhan? Apa karena kau tak percaya dengan keberadaan Tuhan?" selidik Izzah dengan penuh hati-hati. “Yeah. Ayah dan Ibuku bahkan tak pernah mengenalkanku tentang Tuhan. Justru mereka berkata bahwa Tuhan itu tak ada dan Tuhan itu hanyalah omong kosong yang tak bisa berbuat apa-apa untuk manusia. Dan menurut mereka, selama ini mereka merasa uang atau kekayaanlah yang mampu menolong dan membahagiakan mereka,” Ali berdehem kemudian bertanya, “Dan kau sependapat dengan mereka?” “Hmmm... awalnya sih iya. Tetapi melihat keadaan Ibu yang memprihatinkan, aku mulai meragukan pendapat mereka. Uang dan kekayaan yang dimiliki Ibuku kini tak bisa menolongnya dari cengkraman dingin Mike. Uang dan kekayaannya tak membuatnya bahagia, bahkan yang mendatanginya adalah penderitaan yang berkepanjangan,” jawabku sambil memainkan garpu kosong dengan mata terpejam. “Sulit juga menjadi seperti kalian. Saat ini aku sedang berusaha menyantap hidangan ini dengan mata terpejam dan aku sangat kesulitan untuk melakukannya. Tapi kalian hebat karena kalian terlihat mudah melakukannya. Bahkan saat pertama aku melihat kalian, di wajah kalian tak terlukis satu pun sebuah beban yang menurut penafsiranku bahwa kalian sangat menikmati hidup yang kalian miliki,” lanjutku. Mereka tertawa kecil. “Dalam Islam agama yang kami yakini, mengeluh sangat tak pantas untuk kami lakukan, sebab kami harus senantiasa bersyukur atas segala pemberian Tuhan dan yakin Tuhan lebih tahu apa yang tak kami ketahui. Dan Tuhan akan memberi apa yang manusia butuhkan, bukan yang manusia inginkan,” Izzah menerangkan itu dengan penuh karisma. Aku yang menyimaknya amat tercengang dan untuk kesekian kalinya aku meneteskan air mata. Aku bangkit dan meninggalkan acara makan malam itu dan berlari kecil menuju pintu keluar. “Kau mau ke mana, Michell? Apakah kalimatku membuatmu terluka?” Izzah dan keluarganya berusaha menyusulku. Aku mendengarnya namun kuhiraukan suara-suara mereka yang terdengar makin jauh tertinggal di belakangku. Aku terus berjalan sejauh kakiku melangkah membawaku ke suatu tempat yang cukup asing bagiku. Tubuhku masih terguncang-guncang akibat tanis yang sulit kuhentikan. Di hadapanku kini terbentang sebuah kompleks pemakaman yang sekonyong-konyong membuatku jatuh terduduk. Aku seolah kehilangan seluruh tenaga, sekalipun untuk menguraikan air mata. Dan aku melihat sosok Ibuku dengan mengenakan gaun kesayangannya yang berwarna volcado tengah melambai ke arahku di sudut kanan dari pemakaman itu. sedetik setelah menyaksikan semua itu, yang terakhir kulihat hanyalah hitam. *** Created by (writer) : Risya Fath Light

Rabu, 21 Agustus 2013

Masa yang telah hilang

Suka duka yang silih berganti Kerap mewarnai hari Bersama mereka, kubenamkan diri dalam lautan ilmu yang telah menanti Setumpuk asa pun kelak dapat tergapai pasti Apakah mereka tahu bahwa diriku tak ingin terlekang oleh kebersamaan ini Menyatu dalam satu hati Mencoba mengerti arti dari saling memahami Yang terkadang sulit tuk dipahami Sayang masa itu, kini hanya dapat menjadi sebingkai kenangan manis yang tak akan terlupa Masa itu kini telah lenyap ikut terbang melayang bersama sang burung dara Menciptakan ruang dan suasana hampa Memaksaku menumpahkan air mata Memecahkan segala rasa Timbulkan sesak dada Dapatkah masa itu terulang pada hariku yang penuh lara? Hanya untuk mengobati rasa rindu pada masa-masa sekolah kita dahulu yang penuh cinta Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Penantian cinta tak berdasar

Merangkai kata yang tak terangkai Menggali makna yang tak tergali Mengartikan arti yang tak berarti Menanti hati yang tak berhati Seribu langkah ku berlari Seribu tahun ku menanti Seribu kata kurangkai Seribu bahasa ku mengerti Namun engkau tiada juga berlari padaku Namun engkau tiada juga hadir di penantianku Namun engkau tetap membisu Namun engkau tiada juga mengaku Begitu sulitkah dirimu untukku? Begitu sulitkah diriku untukmu? Begitu sulitkah hidupmu bagiku? Begitu sulitkah hidupku bagimu? Ada apa denganmu? Ada apa denganku? Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan semua yang terjadi? Tertatih ku merintih Teriris ku meringis Terseok ku terisak Terbayang ku melayang Kapankah semua ini akan berakhir? Created by: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Sebingkai kenangan bersama Bu Maysuro

“Lis, ini handphone kamu, ada pesan masuk tuh!” ujar Sany seraya meletakkan handphone berwarna putih tersebut pada tangan pemiliknya yang juga sekaligus sahabatnya Calista. “”Pesan?! Dari siapa ya? Pagi-pagi buta begini sudah ada pesan mampir di handphone aku?!” ujar Calista dengan memasang wajah yang masih ngantuk. Buru-buru ia membuka pesan tersebut, dipaksakannya sebelah kupingnya untuk mendengar isi pesan tersebut yang sedang dibacakan oleh Paman JAWS yang selalu setia membaca pesan-pesan yang masuk di handphonenya. Setelah mendengar pesan tersebut, mendadak wajahnya pucat pasi disusul oleh titik-titik air yang mengalir dari kedua matanya. Seakan menembus waktu, ingatannya pun melayang pada sebuah peristiwa 6 tahun silam. *** “Lis, ke kantin bareng sama kita-kita yuk!” ajak teman-teman kelas Calista. “Terima kasih, tapi maaf sebelumnya aku tak bisa ikut bersama kalian, salam aja ya buat Bu Kantin yang galak itu,” tolaknya halus diiringi sebuah candaan yang seketika membuat teman-temabnya tertawa kecikikikan. “Tapi kamu hanya sendirian di kelas ini dan yang lain pada istirahat di luar tuh! Kami tak tega membiarkan kamu sendiri disini,” ujar mereka khawatir. Setelah meyakinkan teman-temannya bahwa dirinya akan baik-baik saja, akhirnya mereka pun meninggalkan Calista dengan berat hati. *** 15 menit pun berlalu, waktu istirahat tak lama lagi akan berakhir namun tiada seorang pun yang kunjung masuk ke dalam kelas kecuali sebuah aroma tak sedap yang mendadak menyengat hidung Calista. “Bau apaan nih? Baunya seperti kambing! Emangnya di sekitar sekolahan ini ada peternakan kambing ya?! Tapi… kalau pun ada, kok baunya baru tercium olehku, padahal aku sudah setengah tahun di sekolah ini dan sebelumnya tak ada bau busuk seperti saat ini,” gerutunya seraya menutup hidungnya agar mengurangi bau busuk yang tercium olehnya. DUBRAKK…!!! Tiba-tiba terdengar suara bantingan pintu yang ada di kelasnya dan disusul dengan lenyapnya bau ttak sedap yang tadi sempat merusak udara di kelasnya, sehingga hal itu seketika mengundang hatinya untuk membuat sebuah pertanyaan besar sebab ia pun sempat sangat terkejut akan hal tersebut bahkan hal itu juga telah membuat detak jantungnya menjadi tak karuan. Tak lama kemudian setelah kejadian aneh itu, bel pun berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai, seluruh teman-teman kelas calista pun berdesak-desakkan untuk masuk ke kelas. “Maaf ya, Lis. Kami telah membuatmu lama menunggu dan sendirian di kelas, tapi kamu baik-baik saja kan? Dan tubuhmu kok jadi gingin gini?” tanya salah satu dari mereka seraya memegang tangan dan kening Calista yang telah dikucuri oleh keringat dingin. Setelah menghela sebuah napas panjang, Calista pun menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya. Ketika ia baru saja menceritakn setengah dari kejadian tersebut, seorang guru kesiswaan memanggil dan membawanya menuju ke ruang kepala sekolah. Meski hati Calista diliputi sejuta perasaan yang tak menentu dan dengan langkah gugup, ia berusaha dan mencoba menenangkan hatinya hingga akhirnya kini ia telah sampai di ruangan tersebut. “Calista, kamu telah membuat sebuah kesalahan fatal di sekolah ini! Saya sangat menyesal telah menerimamu di SMU ini. Awalnya pihak sekolah keberatan menerimamu berdasarkan alasan bahwa kamu adalah seorang tunanetra, namun akhirnya kamu dapat diterima di sekolah ini sebab menimbang kemauan keras untuk melanjutkan pendidikan di SMU ini dan budi pekerti yang baik yang kamu miliki, tapi apa yang baru saja kamu lakukan?! Kamu telah menghina salah seorang guru baru yang akan mengajar di sekolah ini dan kamu tahu?! Beliau telah dinobatkan di provinsi ini sebagai guru teladan! Dan kami semua sangat senang juga bersyukur atas kehadiran beliau yang akan mengajar siswa-siswi disini dalam bidang mata pelajaran bahasa Inggris. Sekarang kamu harus meminta maaf kepada beliau sebab kamu telah menghinanya dengan mengatakan bahwa bau badan beliau seperti kambing,” jelas Bapak Kepala dengan berkomat-kamit panjang lebar. “Maaf sebelumnya, Pak, saya tak bermaksud berkata demikian sebab saya tak dapat melihat siapa saja yang masuk ke kelas saya kecuali orang tersebut bersuara agar saya dapat mengenalinya dengan baik,” bantahnya dengan suara yang mulai parau. “Benar, Pak! Apa yang baru saja anak ini katakan sangat benar, akulah yang salah sebab aku tak tahu bahwa teernyata ia adalah seorang tunanetra dan harusnya aku tak boleh berlama-lama berada di peternakan kambing milikku mengingat bahwa aku akan mengajar di sekolah ini, sekali lagi aku minta maaf kepada semuanya yang ada di ruangan ini,” tutur Bu Maysuro bijak. Sebersit senyum pun terbit dari bibir Calista. *** “Main ke rumah Ibu, yuk! Apakah Kamu lagi punya kesibukan saat ini?” ajak Bu Maysuro yang mendadak akrab dengan Calista. “Boleh aja, Bu, malah Calista senang dengan ajakan Ibu, dan lagian Calista lagi tak punya kesibukan kok, tapi aku harus pamit kepada Ayah dulu sebab beliau hanya sendirian di rumah, ibu aku sudah lama meninggal sewaktu aku masih dalam usia 5 tahun,” jawab Calista, wajah cerianya mendadak murung ketika menyebut kata ibu. Menyadari situasi dan suasana perasaan Calista yang mulai tak terkendali, Bu Maysuro pun mendekap tubuh Calista dengan erat-erat. “Sudahlah jangan bersedih lagi, entar Ibu kamu juga akan ikut bersedih melihatmu seperti ini, kamu tak mau kan ibumu bersedih di alam sana? Lagian disini ka nada Ibu, anggap saja Ibu adalah ibu kandungmu sendiri,” ujarnya seraya membelai rambut panjang Calista. Setelah memastikan bahwa perasaan Calista telah tenang kembali, Bu Maysuro pun membimbing Calista untuk masuk ke mobilnya. *** Dalam perjalanan menuju ke rumah Calista, Bu Maysuro bercerita mengenai anak perempuan yang ia miliki satu-satunya yang kini telah tiada yang disebabkan oleh sebuah tabrakan hebat yang seketika merenggut nyawanya di saat dan di tempat itu juga. “Memangnya anak Ibu pengen kemana sih?” Tanya Calista penuh selidik. “Dia kabur dari rumah yang disebabkan ia malu memiliki ibu seorang penggembala kambing bahkan ia tak ingin dekat-dekat dengan Ibu sebab katanya pula Ibu berbau kambing, padahal semua ini Ibu lakukan untuk membiayai kebutuhannya, Ibu berjuang seorang diri, dan hal itu telah berlangsung semenjak suami Ibu wafat,” jawabnya lirih. Calista hanya dapat menundukkan kepalanya sebab ia turut merasakan kepedihan yang amat dalam yang hingga saat ini mungkin masih tergores di hati Bu Maysuro. Selang beberapa menit kemudian, tak terasa mereka pun tiba di depan rumah Calista. Setelah berganti pakaian dan pamit kepada sang Ayah, ia pun kembali masuk ke dalam mobil Bu Maysuro. Mobil pun berlalu meninggalkan tempat tersebut. *** Tanpa terasa waktu terus bergulir, Calista telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di bangku SMU dengan gemilang. Dan hal itu tak luput berkat perjuangan dan dukungan ilmu, perhatian, maupun materi dari Bu Maysuro. Bahkan Calista juga berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang selanjutnya ke Australi yang juga disebut oleh orang banyak sebagai negeri koala. Bu Maysuro tak dapat lagi melontarkan sepatah kata pun, hanya air mata haru yang dapat mengungkapkan perasaannya saat itu yang juga seketika memeluk Calista. *** “Ayah, Ibu Maysuro, Calista pergi ya… jaga kesehatan Ayah begitu pula dengan Ibu, Calista pasti akan selalu merindukan kalian, mohon doa restunya ya…” ucapnya dengan suara yang mulai bergetar. “Jaga diri dan kesehatan kamu ya saying, Ibu akan selalu mendoakanmu dalam setiap doa dan sujud Ibu. Sany, kami titip Calista, tolong kamu jaga dengan baik-baik apalagi kamu merupakan salah seorang sahabat karib Calista sehingga kamu juga harus menyayanginya seperti kamu menyayangi dirimu sendiri,”” ucap Bu Maysuro dengan suara agak parau. Setelah member beberapa petuah dan wejang-wejangan kepada mereka, sekali lagi Bu Maysuro memeluk erat tubuh Calista dan mengecup kening Calista. *** “Lis, kamu kok nangis sih setelah mendengar pesan itu? Katakanlah kepadaku mengapa kamu bisa nangis seperti ini,” ujar Sany seraya memegang kedua pundak Calista. “Bu Maysuro, San… Bu Maysuro…” jawabnya seraya tak melanjutkan kalimatnya. “Ada apa dengan Bu Maysuro??!! Kemarikan handphone itu kepadaku, biarkan aku saja yang sendiri membaca pesan itu,” ujar Sany penasaran, tanpa berlama-lama Sany mengambil handphone tersebut yang terletak di atas bantal Calista. Seperti halnya yang terjadi pada Calista, mata Sany pun terbelalak setelah membaca pesan tersebut. “Bu Maysuro meninggal dalam kecelakaan menuju ke bandara dan beliau juga hendak untuk menumpangi sebuah pesawat hanya untuk menuju ke tempat ini sebab ia ingin membuat sebuah kejutan untukmu di hari ulang tahunmu besok, oh hal ini sangat mengharukan, pengorbanan beliau sungguh besar buatmu, Lis! Jadi kamu jangan menyia-nyiakan perjuangan yang telah beliau lakukan selama ini untukmu,” ujar Sany berusaha menenangkan hati sahabatnya itu yang tampak terguncang oleh pesan itu. “Aku ingin pulang, San! Aku ingin pulang saat ini juga! Kamu tahu, San?! Aku tak pernah menyangka bahwa ternyata pelukan dan kecupan dari Bu Maysuro saat kita berada di bandara Indonesia adalah pelukan dan kecupan terakhir dari beliau,” ucapnya lirih, tangisannya pun makin menjadi-jadi. “Kamu harus kuat, Lis! Ingat, tak lama lagi bulan depan kita telah berhasil menyelesaikan pendidikan kita di negeri ini, orang tua kamu dan Bu Maysuro pasti akan senang dengan keberhasilan kamu, lagian walaupun kita barangkat menuju ke Indonesia saat ini juga, tetap saja kamu tak akan sempat untuk mengikuti proses pemakaman Bu Maysuro. Mending kamu berdoa saja semoga Tuhan memasukkan Bu Maysuro ke dalam surge yang paling terindah buat beliau,” ujar Sany mencoba menasehati dan mengingatkan pesan-pesan dari almarhumah Bu Maysuro dan dari Ayah Calista. Akhirnya hati dan perasaan Calista pun perlahan kembali tenang, dan di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia berdoa agar Bu Maysuro dapat bahagia di dalam surge dan ia juga berharap agar semoga ia dapat berjumpa dan dapat bersama beliau lagi di surga yang paling terindah. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani