tag:blogger.com,1999:blog-20189108095878113422024-03-13T14:55:12.174-07:00Fath Light_the cold writerHi Guys! welcome to my blog. enjoy all my literary work on here. This blog about all my writing. risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-73828694455832962602015-07-26T10:14:00.000-07:002015-07-26T10:27:19.698-07:00BLACK WORLDAku tengah menatap lautan yang memantulkan keindahan cakrawala yang nampak keemasan. Pemandangan sunset di hadapanku sama sekali tak mampu meneduhkan jiwaku, justru hal itu hanya memperburuk suasana hatiku. Angin sepoi yang membelai lembut wajah sebenarnya begitu sejuk, tapi yang terasa olehku seolah angin itu dingin dan menampar-nampar wajahku. Aku sangat ingin meneteskan air mata, berharap air mata sedikit dapat menenangkanku. Dan aku kesal sebab aku tak mampu untuk melakukannya saat ini. Aku seolah kehabisan air mata sehingga untuk mengeluarkannya pun sulit. Mencoba untuk berteriak, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah racauan yang terdengar menyedihkan. Aku terduduk di atas ribuan pasir putih yang menghambar bagai permadani yang berkilauan sambil mengacak-acak rambut panjangku.
“Pelan-pelan, sayang,”
Aku seketika menoleh ke samping dan mendapati sepasang suami istri yang sedang dituntun oleh sepasang anak kembar emasnya. Kedua bocah itu berjalan begitu cepat sehingga membuat kedua orangtuanya terlihat cemas. kini perhatianku teralih pada sepasang suami istri tersebut dan merasa aneh dengan tongkat yang mereka bawa. Kuamati wajah dan mata keduanya, namun aku tak menemukan sesuatu yang salah atau sesuatu yang tak sempurna di dalamnya. Kini mereka tengah berusaha mendudukkan anak-anaknya lalu ikut duduk bersamanya. Aku pun terkesima melihat sang suami itu mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya lalu sebelah tangannya terulur berusaha menggapai-gapai wajah sang istri. Setelah berhasil menyentuh wajah sang istri, sang suami itu pun menyeka peluh wanita cantik di hadapannya dengan penuh perasaan. Wanita itu hanya tersenyum dan tersipu malu lalu mengeluarkan kotak bekal yang disimpannya dalam tas selempang yang dikenakannya. Aku pun baru tersadar bahwa sepasang suami istri tersebut buta setelah mengamati seksama fokus pandangan dari kedua bola mata mereka. Aku kini kembali memerhatikan kegiatan mereka dengan ekor mataku. Si wanita sedang menyuapkan sepotong roti kepada anak lelakinya, sedangkan suaminya juga sibuk menyuapkan sepotong roti untuk anak perempuannya, tetapi sekali-kali wanita itu menyuapkan roti itu kepada suaminya dan begitu pula sebaliknya.
Oh My God! Aku tak tahan dengan semua yang mereka miliki namun tak kumiliki. Aku memiliki ayah tampan namun seolah tak memilikinya. Aku memiliki ibu yang cantik tetapi seolah tiada. Mereka hanya sibuk dengan dunia bisnis yang mereka miliki dan lebih bahagia berhura-hura bersama rekan-rekan mereka masing-masing daripada mengurus atau bertamasya denganku, anak semata wayang mereka. Aku pun pernah memiliki beberapa mantan kekasih yang tampan, namun ternyata mereka hanya memilihku karena kecantikan dan kekayaan yang kumiliki. Aku belum pernah menemukan dan merasakan ketulusan yang murni untukku. namun sepasang suami istri buta itu bahkan dengan mudahnya menemukan dan memiliki cinta, kehangatan, ketulusan, dan segalanya yang kucari dalam hidupku namun tak kutemukan. Dan akhirnya tangisku pun pecah, dan aku tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku yang memandang aneh terhadapku. Mungkin mereka mengiraku gila sehingga mereka enggan mendekatiku apalagi untuk bertanya tentang apa yang sedang terjadi padaku. Tetapi ternyata aku salah, sepasang suami istri buta tersebut bersama anak-anaknya justru mendekatiku dan menanyakan keadaanku apakah aku baik-baik saja dan adakah sesuatu yang bisa mereka lakukan untukku. aku tercengang dengan sangat lalu kupeluk erat kedua lututku sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Dan tangisku membuat tubuhku terguncang-guncang.
“Kenapa kakak menangis? Siapa yang sudah memukulmu?” tanya kedua bocah kembar emas itu sambil membelai rambutku yang berwarna coklat kemerahan. Aku mengangkat kepala kemudian memandang ke arah mereka sambil berusaha tersenyum.
“Kakak baik-baik saja, anak-anak manis. Tak perlu khawatir, OK.”
“Tetapi sepertinya kamu memiliki masalah yang cukup berat, gadis muda. Semoga kami bisa membantumu. Kamu tak perlu sungkan terhadap kami,” wanita cantik itu berusaha untuk merangkul bahuku. Jilbab birunya berkibar-kibar diterpa angin. Tiba-tiba sebuah ide menarik mengusik benakku dan aku berusaha menyuarakannya.
“Apa aku boleh ikut bersama kalian? Tinggal di tempat kalian untuk seminggu ini? Aku sangat memerlukan sebuah ketenangan jiwa,”
Wanita itu sejenak berpikir lalu bangkit dan berbalik ke arah suaminya yang sejak tadi berdiri di belakangnya sambil ikut mendengarkan percakapan kami.
“Dengarkan kata hatimu, sayangku. Aku percaya pada keputusanmu,” ucap suaminya yang seolah tahu isi hati dan pikirannya meski wanita tersebut belum berucap sepatah kata pun. Kontak batin yang begitu erat antara keduanya membuatku makin iri.
“Baiklah. Aku akan memperbolehkanya,” balas wanita itu sambil perlahan membalikkan badannya ke arahku. Aku pun tersenyum walau aku sadar ia tak akan bisa melihat senyum tulusku untuknya.
“Senja tak lama lagi akan berakhir, sebaiknya kita beranjak dari tempat ini. Sekarang kalian ikut aku ke mobil. Sangat kebetulan aku memarkirnya tak jauh dari sini,”
Ketika aku hendak menuntun wanita itu, ia menolaknya dan lebih memilih berjalan beriringan bersama suaminya dengan tongkat yang dimilikinya. Dengan tongkat yang mereka miliki masing-masing, alat tersebut seolah menjadi pengganti mata bagi mereka.
“Gadis muda, sebaiknya kamu beriringan dengan anak-anak kami saja, biar kami saja yang di belakang agar kami mudah mengikutimu,” ujar wanita itu lagi.
Dalam waktu dua puluh menit, mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah flat sederhana yang bercat kuning muda. Tak sulit untuk menemukannya sebab mereka sangat cerdik dalam menjelaskan rute menuju flat mereka. Ketika kami telah memasuki flat, aku melihat pasangan suami istri itu kini berjalan dan bergerak dengan santainya tanpa bantuan tongkat. Mereka seolah melihat segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan mereka hanya sesekali terlihat untuk meraba-raba sekitarnya. Ketika aku menanyakan hal itu pada anak perempuannya, ia hanya berkata bahwa kedua orangtuanya sudah begitu hafal segala yang ada di dalam flat mereka. Dan kini pasangan suami istri tersebut menjamuku dengan makan malam yang sederhana namun terasa nikmat karena kebersamaan yang tercipta di antara mereka. Tetapi aku sempat merasa aneh ketika sejam sebelum makan malam aku melihat mereka sedang beribadah dengan gerakan-gerakan yang menurutku sangat primitif sebab mereka harus bersujud di atas lantai. Namun yang lebih anehnya, jiwaku merasa damai dan hangat melihat semua gerakan itu. bahkan hatiku seolah tergerak untuk melakukannya namun kuurungkan. Apa yang terjadi dalam diriku saat ini sungguh membentuk sebuah tanya besar yang aku sendiri tak mampu menjawabnya.
“Oh ya, sejak tadi kita belum sempat berkenalan. Namaku Izzah dan suamiku bernama Ali, sedang kedua anak kami bernama Zahrah dan Yusuf. Bagaimana denganmu?” tanyanya memutuskan lamunanku/.
“Namaku Michell, dan aku tak bertuhan. Tetapi kedua orangtuaku sepertinya menuhankan kekayaan dan bisnis mereka sebab aku sering mendengar mereka mengatakan ‘Oh Tuhanku’ ketika mereka memenangkan tender atau ketika mereka melihat setumpuk uang yang banyak di brangkas mereka,” jawabku panjang lebar. Aku pun heran dengan sikapku sendiri yang begitu mudahnya menampilkan profil keluargaku yang brengsek. Lidahku seolah dituntun untuk mengatakan segalanya tentangku apa adanya. Dan aku terkejut menyadari pipiku yang basah karena linangan air mata yang tak henti setiap aku membuka satu per satu masalah yang kumiliki dan harapan-harapan yang selama ini kucari dalam hidup. Aku pun bercerita tentang ibuku yang hendak menjodohkanku dengan Mike, seorang pengusaha muda dan kaya namun seorang pemabbuk nomor satu dan senang bermain dengan pelacur-pelacur berkelas, dan aku kabur meninggalkan rumah sehingga ibukulah yang terpaksa menikah dengannya sebab ibuku ttelah rela menukarkan diriku demi mendapatkan salah satu anak cabang perusahaan milik Mike. Karena aku kabur, ibukulah yang menggantikan posisiku dan ibuku ternyata sengsara hidup bersama Mike. Ibuku kerap menelpon dan bercerita panjang lebar tentang kesengsaraannya sekali dalam sehari, tentu saja ia menelpon di saat Mike sedang tak bersamanya, tepatnya saat lelaki brengsek itu berada di kantor. Dan aku bercerita pula pada mereka tentang keresahan hatiku bahwa ibuku sudah seminggu belakangan ini tak pernah menghubungiku lagi, dan itu membuatku khawatir. Ketika terakhir berbicara dengannya, ibuku mengatakan tubuhnya sudah babak belur karena kelainan seks yang dimiliki Mike. Meski selama ini ibuku jarang mempedulikanku, sebagai anak aku tetap mengkhawatirkan keadaannya dan hendak menolongnya. Tapi aku tak memiliki keberanian untuk mendatangi rumah Mike yang semewah istana itu. Jika aku nekat, bisa-bisa nasibku tak jauh berbeda dengan ibuku, bahkan bisa saja lebih buruk karena Mike sangat marah besar mengetahui aku tak sudi menikah dengannya. Sedang ayahku entah ke mana, sudah sebulan aku tak bertemu dengannya. Tapi menurut kabar burung yang kuterima dari salah satu rekan kerjanya mengatakan ayahku sedang berbulan madu dengan selingkuhannya yang sudah resmi menjadi istrinya sejak bulan lalu. Ada pula yang mengatakan ayahku akan menetap dan akan mengembangkan bisnisnya di kota Mexico bersama istri barunya yang tak akan pernah kuakui sebagai ibuku sekalipun untuk menyebutnya dengan panggilan ibu tiri.
"Maaf jika kami sudah lancang menannyakan hal ini padamu. Mengapa kamu tak bertuhan? Apa karena kau tak percaya dengan keberadaan Tuhan?" selidik Izzah dengan penuh hati-hati.
“Yeah. Ayah dan Ibuku bahkan tak pernah mengenalkanku tentang Tuhan. Justru mereka berkata bahwa Tuhan itu tak ada dan Tuhan itu hanyalah omong kosong yang tak bisa berbuat apa-apa untuk manusia. Dan menurut mereka, selama ini mereka merasa uang atau kekayaanlah yang mampu menolong dan membahagiakan mereka,”
Ali berdehem kemudian bertanya, “Dan kau sependapat dengan mereka?”
“Hmmm... awalnya sih iya. Tetapi melihat keadaan Ibu yang memprihatinkan, aku mulai meragukan pendapat mereka. Uang dan kekayaan yang dimiliki Ibuku kini tak bisa menolongnya dari cengkraman dingin Mike. Uang dan kekayaannya tak membuatnya bahagia, bahkan yang mendatanginya adalah penderitaan yang berkepanjangan,” jawabku sambil memainkan garpu kosong dengan mata terpejam.
“Sulit juga menjadi seperti kalian. Saat ini aku sedang berusaha menyantap hidangan ini dengan mata terpejam dan aku sangat kesulitan untuk melakukannya. Tapi kalian hebat karena kalian terlihat mudah melakukannya. Bahkan saat pertama aku melihat kalian, di wajah kalian tak terlukis satu pun sebuah beban yang menurut penafsiranku bahwa kalian sangat menikmati hidup yang kalian miliki,” lanjutku. Mereka tertawa kecil.
“Dalam Islam agama yang kami yakini, mengeluh sangat tak pantas untuk kami lakukan, sebab kami harus senantiasa bersyukur atas segala pemberian Tuhan dan yakin Tuhan lebih tahu apa yang tak kami ketahui. Dan Tuhan akan memberi apa yang manusia butuhkan, bukan yang manusia inginkan,” Izzah menerangkan itu dengan penuh karisma. Aku yang menyimaknya amat tercengang dan untuk kesekian kalinya aku meneteskan air mata. Aku bangkit dan meninggalkan acara makan malam itu dan berlari kecil menuju pintu keluar.
“Kau mau ke mana, Michell? Apakah kalimatku membuatmu terluka?” Izzah dan keluarganya berusaha menyusulku. Aku mendengarnya namun kuhiraukan suara-suara mereka yang terdengar makin jauh tertinggal di belakangku. Aku terus berjalan sejauh kakiku melangkah membawaku ke suatu tempat yang cukup asing bagiku. Tubuhku masih terguncang-guncang akibat tanis yang sulit kuhentikan. Di hadapanku kini terbentang sebuah kompleks pemakaman yang sekonyong-konyong membuatku jatuh terduduk. Aku seolah kehilangan seluruh tenaga, sekalipun untuk menguraikan air mata. Dan aku melihat sosok Ibuku dengan mengenakan gaun kesayangannya yang berwarna volcado tengah melambai ke arahku di sudut kanan dari pemakaman itu. sedetik setelah menyaksikan semua itu, yang terakhir kulihat hanyalah hitam. ***
Created by (writer) :
Risya Fath Light
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia-5.1476650999999993 119.43273139999997-5.4007125999999994 119.11000789999997 -4.8946175999999992 119.75545489999996tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-62179426728065965492013-08-21T02:38:00.000-07:002013-08-21T02:38:54.996-07:00Masa yang telah hilangSuka duka yang silih berganti
Kerap mewarnai hari
Bersama mereka, kubenamkan diri dalam lautan ilmu yang telah menanti
Setumpuk asa pun kelak dapat tergapai pasti
Apakah mereka tahu bahwa diriku tak ingin terlekang oleh kebersamaan ini
Menyatu dalam satu hati
Mencoba mengerti arti dari saling memahami
Yang terkadang sulit tuk dipahami
Sayang masa itu, kini hanya dapat menjadi sebingkai kenangan manis yang tak akan terlupa
Masa itu kini telah lenyap ikut terbang melayang bersama sang burung dara
Menciptakan ruang dan suasana hampa
Memaksaku menumpahkan air mata
Memecahkan segala rasa
Timbulkan sesak dada
Dapatkah masa itu terulang pada hariku yang penuh lara?
Hanya untuk mengobati rasa rindu pada masa-masa sekolah kita dahulu yang penuh cinta
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-37507364281960792372013-08-21T02:32:00.000-07:002013-08-21T02:32:25.534-07:00Penantian cinta tak berdasarMerangkai kata yang tak terangkai
Menggali makna yang tak tergali
Mengartikan arti yang tak berarti
Menanti hati yang tak berhati
Seribu langkah ku berlari
Seribu tahun ku menanti
Seribu kata kurangkai
Seribu bahasa ku mengerti
Namun engkau tiada juga berlari padaku
Namun engkau tiada juga hadir di penantianku
Namun engkau tetap membisu
Namun engkau tiada juga mengaku
Begitu sulitkah dirimu untukku?
Begitu sulitkah diriku untukmu?
Begitu sulitkah hidupmu bagiku?
Begitu sulitkah hidupku bagimu?
Ada apa denganmu?
Ada apa denganku?
Ada apa dengan semua ini?
Ada apa dengan semua yang terjadi?
Tertatih ku merintih
Teriris ku meringis
Terseok ku terisak
Terbayang ku melayang
Kapankah semua ini akan berakhir?
Created by:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-46556320103836664072013-08-21T02:28:00.001-07:002013-08-21T02:28:31.511-07:00Sebingkai kenangan bersama Bu Maysuro“Lis, ini handphone kamu, ada pesan masuk tuh!” ujar Sany seraya meletakkan handphone berwarna putih tersebut pada tangan pemiliknya yang juga sekaligus sahabatnya Calista.
“”Pesan?! Dari siapa ya? Pagi-pagi buta begini sudah ada pesan mampir di handphone aku?!” ujar Calista dengan memasang wajah yang masih ngantuk. Buru-buru ia membuka pesan tersebut, dipaksakannya sebelah kupingnya untuk mendengar isi pesan tersebut yang sedang dibacakan oleh Paman JAWS yang selalu setia membaca pesan-pesan yang masuk di handphonenya. Setelah mendengar pesan tersebut, mendadak wajahnya pucat pasi disusul oleh titik-titik air yang mengalir dari kedua matanya. Seakan menembus waktu, ingatannya pun melayang pada sebuah peristiwa 6 tahun silam.
***
“Lis, ke kantin bareng sama kita-kita yuk!” ajak teman-teman kelas Calista.
“Terima kasih, tapi maaf sebelumnya aku tak bisa ikut bersama kalian, salam aja ya buat Bu Kantin yang galak itu,” tolaknya halus diiringi sebuah candaan yang seketika membuat teman-temabnya tertawa kecikikikan.
“Tapi kamu hanya sendirian di kelas ini dan yang lain pada istirahat di luar tuh! Kami tak tega membiarkan kamu sendiri disini,” ujar mereka khawatir. Setelah meyakinkan teman-temannya bahwa dirinya akan baik-baik saja, akhirnya mereka pun meninggalkan Calista dengan berat hati.
***
15 menit pun berlalu, waktu istirahat tak lama lagi akan berakhir namun tiada seorang pun yang kunjung masuk ke dalam kelas kecuali sebuah aroma tak sedap yang mendadak menyengat hidung Calista.
“Bau apaan nih? Baunya seperti kambing! Emangnya di sekitar sekolahan ini ada peternakan kambing ya?! Tapi… kalau pun ada, kok baunya baru tercium olehku, padahal aku sudah setengah tahun di sekolah ini dan sebelumnya tak ada bau busuk seperti saat ini,” gerutunya seraya menutup hidungnya agar mengurangi bau busuk yang tercium olehnya. DUBRAKK…!!! Tiba-tiba terdengar suara bantingan pintu yang ada di kelasnya dan disusul dengan lenyapnya bau ttak sedap yang tadi sempat merusak udara di kelasnya, sehingga hal itu seketika mengundang hatinya untuk membuat sebuah pertanyaan besar sebab ia pun sempat sangat terkejut akan hal tersebut bahkan hal itu juga telah membuat detak jantungnya menjadi tak karuan. Tak lama kemudian setelah kejadian aneh itu, bel pun berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai, seluruh teman-teman kelas calista pun berdesak-desakkan untuk masuk ke kelas.
“Maaf ya, Lis. Kami telah membuatmu lama menunggu dan sendirian di kelas, tapi kamu baik-baik saja kan? Dan tubuhmu kok jadi gingin gini?” tanya salah satu dari mereka seraya memegang tangan dan kening Calista yang telah dikucuri oleh keringat dingin. Setelah menghela sebuah napas panjang, Calista pun menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya. Ketika ia baru saja menceritakn setengah dari kejadian tersebut, seorang guru kesiswaan memanggil dan membawanya menuju ke ruang kepala sekolah. Meski hati Calista diliputi sejuta perasaan yang tak menentu dan dengan langkah gugup, ia berusaha dan mencoba menenangkan hatinya hingga akhirnya kini ia telah sampai di ruangan tersebut.
“Calista, kamu telah membuat sebuah kesalahan fatal di sekolah ini! Saya sangat menyesal telah menerimamu di SMU ini. Awalnya pihak sekolah keberatan menerimamu berdasarkan alasan bahwa kamu adalah seorang tunanetra, namun akhirnya kamu dapat diterima di sekolah ini sebab menimbang kemauan keras untuk melanjutkan pendidikan di SMU ini dan budi pekerti yang baik yang kamu miliki, tapi apa yang baru saja kamu lakukan?! Kamu telah menghina salah seorang guru baru yang akan mengajar di sekolah ini dan kamu tahu?! Beliau telah dinobatkan di provinsi ini sebagai guru teladan! Dan kami semua sangat senang juga bersyukur atas kehadiran beliau yang akan mengajar siswa-siswi disini dalam bidang mata pelajaran bahasa Inggris. Sekarang kamu harus meminta maaf kepada beliau sebab kamu telah menghinanya dengan mengatakan bahwa bau badan beliau seperti kambing,” jelas Bapak Kepala dengan berkomat-kamit panjang lebar.
“Maaf sebelumnya, Pak, saya tak bermaksud berkata demikian sebab saya tak dapat melihat siapa saja yang masuk ke kelas saya kecuali orang tersebut bersuara agar saya dapat mengenalinya dengan baik,” bantahnya dengan suara yang mulai parau.
“Benar, Pak! Apa yang baru saja anak ini katakan sangat benar, akulah yang salah sebab aku tak tahu bahwa teernyata ia adalah seorang tunanetra dan harusnya aku tak boleh berlama-lama berada di peternakan kambing milikku mengingat bahwa aku akan mengajar di sekolah ini, sekali lagi aku minta maaf kepada semuanya yang ada di ruangan ini,” tutur Bu Maysuro bijak. Sebersit senyum pun terbit dari bibir Calista.
***
“Main ke rumah Ibu, yuk! Apakah Kamu lagi punya kesibukan saat ini?” ajak Bu Maysuro yang mendadak akrab dengan Calista.
“Boleh aja, Bu, malah Calista senang dengan ajakan Ibu, dan lagian Calista lagi tak punya kesibukan kok, tapi aku harus pamit kepada Ayah dulu sebab beliau hanya sendirian di rumah, ibu aku sudah lama meninggal sewaktu aku masih dalam usia 5 tahun,” jawab Calista, wajah cerianya mendadak murung ketika menyebut kata ibu. Menyadari situasi dan suasana perasaan Calista yang mulai tak terkendali, Bu Maysuro pun mendekap tubuh Calista dengan erat-erat.
“Sudahlah jangan bersedih lagi, entar Ibu kamu juga akan ikut bersedih melihatmu seperti ini, kamu tak mau kan ibumu bersedih di alam sana? Lagian disini ka nada Ibu, anggap saja Ibu adalah ibu kandungmu sendiri,” ujarnya seraya membelai rambut panjang Calista. Setelah memastikan bahwa perasaan Calista telah tenang kembali, Bu Maysuro pun membimbing Calista untuk masuk ke mobilnya.
***
Dalam perjalanan menuju ke rumah Calista, Bu Maysuro bercerita mengenai anak perempuan yang ia miliki satu-satunya yang kini telah tiada yang disebabkan oleh sebuah tabrakan hebat yang seketika merenggut nyawanya di saat dan di tempat itu juga.
“Memangnya anak Ibu pengen kemana sih?” Tanya Calista penuh selidik.
“Dia kabur dari rumah yang disebabkan ia malu memiliki ibu seorang penggembala kambing bahkan ia tak ingin dekat-dekat dengan Ibu sebab katanya pula Ibu berbau kambing, padahal semua ini Ibu lakukan untuk membiayai kebutuhannya, Ibu berjuang seorang diri, dan hal itu telah berlangsung semenjak suami Ibu wafat,” jawabnya lirih. Calista hanya dapat menundukkan kepalanya sebab ia turut merasakan kepedihan yang amat dalam yang hingga saat ini mungkin masih tergores di hati Bu Maysuro. Selang beberapa menit kemudian, tak terasa mereka pun tiba di depan rumah Calista. Setelah berganti pakaian dan pamit kepada sang Ayah, ia pun kembali masuk ke dalam mobil Bu Maysuro. Mobil pun berlalu meninggalkan tempat tersebut.
***
Tanpa terasa waktu terus bergulir, Calista telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di bangku SMU dengan gemilang. Dan hal itu tak luput berkat perjuangan dan dukungan ilmu, perhatian, maupun materi dari Bu Maysuro. Bahkan Calista juga berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang selanjutnya ke Australi yang juga disebut oleh orang banyak sebagai negeri koala. Bu Maysuro tak dapat lagi melontarkan sepatah kata pun, hanya air mata haru yang dapat mengungkapkan perasaannya saat itu yang juga seketika memeluk Calista.
***
“Ayah, Ibu Maysuro, Calista pergi ya… jaga kesehatan Ayah begitu pula dengan Ibu, Calista pasti akan selalu merindukan kalian, mohon doa restunya ya…” ucapnya dengan suara yang mulai bergetar.
“Jaga diri dan kesehatan kamu ya saying, Ibu akan selalu mendoakanmu dalam setiap doa dan sujud Ibu. Sany, kami titip Calista, tolong kamu jaga dengan baik-baik apalagi kamu merupakan salah seorang sahabat karib Calista sehingga kamu juga harus menyayanginya seperti kamu menyayangi dirimu sendiri,”” ucap Bu Maysuro dengan suara agak parau. Setelah member beberapa petuah dan wejang-wejangan kepada mereka, sekali lagi Bu Maysuro memeluk erat tubuh Calista dan mengecup kening Calista.
***
“Lis, kamu kok nangis sih setelah mendengar pesan itu? Katakanlah kepadaku mengapa kamu bisa nangis seperti ini,” ujar Sany seraya memegang kedua pundak Calista.
“Bu Maysuro, San… Bu Maysuro…” jawabnya seraya tak melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa dengan Bu Maysuro??!! Kemarikan handphone itu kepadaku, biarkan aku saja yang sendiri membaca pesan itu,” ujar Sany penasaran, tanpa berlama-lama Sany mengambil handphone tersebut yang terletak di atas bantal Calista. Seperti halnya yang terjadi pada Calista, mata Sany pun terbelalak setelah membaca pesan tersebut.
“Bu Maysuro meninggal dalam kecelakaan menuju ke bandara dan beliau juga hendak untuk menumpangi sebuah pesawat hanya untuk menuju ke tempat ini sebab ia ingin membuat sebuah kejutan untukmu di hari ulang tahunmu besok, oh hal ini sangat mengharukan, pengorbanan beliau sungguh besar buatmu, Lis! Jadi kamu jangan menyia-nyiakan perjuangan yang telah beliau lakukan selama ini untukmu,” ujar Sany berusaha menenangkan hati sahabatnya itu yang tampak terguncang oleh pesan itu.
“Aku ingin pulang, San! Aku ingin pulang saat ini juga! Kamu tahu, San?! Aku tak pernah menyangka bahwa ternyata pelukan dan kecupan dari Bu Maysuro saat kita berada di bandara Indonesia adalah pelukan dan kecupan terakhir dari beliau,” ucapnya lirih, tangisannya pun makin menjadi-jadi.
“Kamu harus kuat, Lis! Ingat, tak lama lagi bulan depan kita telah berhasil menyelesaikan pendidikan kita di negeri ini, orang tua kamu dan Bu Maysuro pasti akan senang dengan keberhasilan kamu, lagian walaupun kita barangkat menuju ke Indonesia saat ini juga, tetap saja kamu tak akan sempat untuk mengikuti proses pemakaman Bu Maysuro. Mending kamu berdoa saja semoga Tuhan memasukkan Bu Maysuro ke dalam surge yang paling terindah buat beliau,” ujar Sany mencoba menasehati dan mengingatkan pesan-pesan dari almarhumah Bu Maysuro dan dari Ayah Calista. Akhirnya hati dan perasaan Calista pun perlahan kembali tenang, dan di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia berdoa agar Bu Maysuro dapat bahagia di dalam surge dan ia juga berharap agar semoga ia dapat berjumpa dan dapat bersama beliau lagi di surga yang paling terindah.
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-33698989758442309362013-08-21T02:23:00.000-07:002013-08-21T02:23:23.326-07:00ViolenaGadis pirang coklat dalam balutan hujan itu terlihat berjalan anggun. Gaun ungu yang dipakainya sudah basah kuyup. Langit malam yang berkilat bagai blits-blits kamera. Semua pemandangan yang dilihat oleh Mickey dari jendela kamarnya seolah menghipnotisnya seakan menyaksikan seorang model cantik dalam pemotretan.
“WOW!!! It’s amazing..., ouw.. aku tak boleh menyiakan kesempatan ini,: gumamnya lalu segera mengambil kamera digital kesayangannya yang tergeletak di atas meja belajarnya.
“Good! Nice picture! Hem... dia bermata biru kehijauan sepertiku,” katanya sambil tersenyum puas. Mickey kembali melihat keluar jendela. Gadis itu sudah hilang. Mickey menutup tirai jendela kamarnya lalu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Dipejamkannya kedua matanya namun bayang-bayang gadis yang tadi dilihatnya terus menari-nari di pikirannya. Teng.. jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, saat itulah Mickey akhirnya dapat terlelap. Tak ada angin namun tiba-tiba tirai jendela di kamarnya yang tadi sudah ditutupnya perlahan tersingkap hingga terbuka lebar. Pada sudut tembok kamarnya, sebuah genangan air muncul begitu saja. Genangan air serupa ternyata juga muncul dari bawah kolong ranjangnya. Lampu di kamarnya mendadak mati. Krrrret krret... terdengar suara seperti seekor kucing yang sedang mencakar atas genteng dengan cepat. Pintu kamar Mickey perlahan terbuka lalu kembali tertutup. Sesosok makhluk wanita kelabu merayap cepat dengan posisi bagai laba-laba mendekati ranjang Mickey. Tubuh dan rambut makhluk itu dipenuhi abu dan air dan wajahnya tertutupi oleh rambutnya.
“Errr..errr...” makhluk itu mengerang pelan dengan suara yang amat parau. Suaranya menggambarkan amarah dan kesakitan yang tak tertahankan. Mickey terbangun. Pandangannya pun tertuju pada lampu yang mati dan tirai jendela yang terbuka lebar. ia mengerjap-ngerjapkan matanya tak mempercayai dengan apa yang dilihatnya barusan, tirai jendela itu kembali tertutup. Wajahnya memucat. Ia segera beranjak turun dari ranjangnya. Ketika kakinya menginjak lantai, ia sangat terkejut merasakan genangan air di bawah telapak kakinya. Sosok makhluk kelabu itu pun kini berpindah merayap ke dinding lalu ke langit-langit kamar. Mickey tak sempat melihat makhluk itu karena suasana kamar yang gelap. Mickey berlari kecil menuju kamar orangtuanya. Ia menjerit ketika seseorang tiba-tiba mencengkram pundaknya dari belakang. Ia sama sekali tak berani menoleh ke belakang dan sekujur tubuhnya bergetar.
“Jangan takut, ini aku, bibi Monalizha, pembantu sekaligus penjaga rumah ini sejak 33 tahun yang lalu,”
Merasa yakin, Mickey memutar tubuhnya ke arah bibi Monalizha yang berdiri di belakangnya. Ia hanya bisa tersenyum padanya.
“Mickey.. Bibi Monalizha, ada apa?? Masih malam begini sudah berisik,: tanya Nyonya Cleo yang mendadak keluar dari kamar bersama Tuan Frans. Mickey segera berjalan cepat menghampiri keduanya lalu menceritakan kejadian yang dialaminya dan mengutarakan maksudnya untuk tidur bersama mereka. Mereka setuju mengingat besok Mickey harus ke kampus sangat pagi sebagai mahasiswa baru.
“Ibu, sudah berapa tahun ibu dan ayah meninggalkan rumah ini? Dan oh ya, aku merasa sedikit ketakutan dengan bibi Monalizha,” tanya Mickey setelah pintu di kamar Ayah dan Ibunya sudah ditutup.
“Hem.. kami meninggalkan rumah ini ketika kau masih dalam kandungan berarti rumah ini sudah delapan belas tahun kami tinggalkan karena kau lahir tepat sehari mendiami New York. Karena anak cabang perusahaan kami yang disana sudah sukses, kami rasa kita sudah harus kembali kesini.. di kota Washington ini. Perusahaan utama kami yang disini lebih membutuhkan kami sedang perusahaan disana ada pamanmu yang bisa menghandlenya dan kami percayakan. Dan masalah Bibi Monalizha.. hem.. entahlah, ibu belum sempat merasakan sesuatu yang ganjil darinya. Yah.. kita kan baru sehari disini, ibu belum sempat ngobrol banyak dengannya dan memperhatikan dan memeriksa segala yang ada di rumah ini. Namun jelasnya bibi Monalizha adalah wanita yang baik. Sudah ya, sekarang kita tidur,” terang Nyonya Cleo pada puteranya. Bibi Monalizha masih terpatung di tempatnya. Dari kamar Mickey, sosok makhluk wanita kelabu itu keluar lalu merayap cepat melintass di hadapan bibi Monalizha yang hanya tersenyum dingin lalu beranjak meninggalkan tempat itu.
Minnie dan Milly sepasang adik kembar perempuan Mickey sedang bermain boneka barbie di kamar mereka. Kedua bocah cantik dan lucu itu masih berusia 4 tahun. Saat ini hanya ada mereka dan Bibi Monalizha, Sang kakak Mickey masih ada di kampus dan kedua orangtuanya sibuk di kantor. Ketika Minnie mulai merasa haus, ia meminta Milly agar menemaninya ke dapur. Milly menolak sebab ia masih sibuk memblow rambut barbienya dengan hairdrayer milik ibunya. Minnie pun keluar kamar lalu berlari kecil ke dapur. Di dapur ia tak menjumpai Bibi Monalizha. Milly masih asyik memblow rambut barbienya. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka secara perlahan disertai hembusan angin dingin yang menyapu wajahnya. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat genangan air muncul di lantai tepat di depan pintu.
“Minnie.. kaukah disana? Kau sembunyi dimana? Oh ya, kau nakal sekali, kau kan yang menumpahkan air? Awas ya.. aku akan mengadukanmu pada ibu!” ancamnya. Semenit berlalu, Minnie masih belum menampakkan diri. Milly mulai ketakutan, wajahnya terlihat pucat. Sosok makhluk wanita kelabu yang semalam muncul kembali. Ia merayap cepat ke arah kamar Milly lalu sejenak berhenti di depan pintu. Milly amat ketakutan dan Matanya terbelalak melihat sosok makhluk itu. ia segera bangkit untuk menjauhi makhluk itu. sosok makhluk itu perlahan kembali merayap mendekatinya. Milly mengarahkan hairdrayer yang ditangannya ke arah makhluk itu. angin dari hairdrayer itu menyingkap rambut makhluk itu dari wajahnya sehingga nampak jelaslah wajah makhluk itu. mata makhluk itu begitu menyeramkan, ia tak memiliki bola mata dan wajahnya berabu juga berair. Tubuh Milly gemetar hebat. Hairdrayer itu tiba-tiba mati. Lantai di bawah telapak kakinya mengeluarkan genangan air. Milly memukul-mukul hairdrayer itu berharap hairdrayer itu bisa kembali berfungsi. Karena usahanya sia-sia belaka, ia mencoba memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam lubang hairdrayer itu. dan saat itu pula hairdrayer itu kembali berfungsi. Milly pun kesetrum dan menjerit, kekuatan listrik mengalir ke sekujur tubuhnya hingga mematikannya. Tubuhnya pun jatuh dengan mata yang masih membelalak. Minnie baru akan meneguk air yang diambilnya dari teko ketika didengarnya suara teriakan saudara kembarnya. Gelas kaca yang dipegangnya pun terjatuh lalu pecah. Pecahan gelas itu berhamburan. Minnie begitu terkejut, ia segera berlari ke kamarnya tanpa menghiraukan kakinya yang berdarah akibat menginjak salah satu pecahan gelas. Setibanya ia menjerit histeris melihat sosok mahluk itu sedang berada di dekat tubuh saudaranya yang terlihat mengenaskan. Sosok makhluk itu kini menghadap ke arahnya. Minnie kembali berlari ke dapur. Makhluk itu merayap cepat mengejar Minnie. Minnie terjatuh di atas pecahan-pecahan gelas dan mengenai wajahnya. Salah satu pecahan gelas itu menusuk bola matanya. Ia mengerang kesakitan. Kini makhluk itu sudah berada di belakangnya. Meski tubuhnya terluka sana-sini, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia berusaha bangkit dan merangkak menjauhi makhluk itu. kedua lututnya sudah mengeluarkan banyak darah. Ia terus merangkak hingga akhirnya ia tersudut. Kini ia terperangkap. Ia membalikkan tubuhnya dan meringkuk sambil menyandarkan punggungnya pada tumpukan rak-rak di belakangnya yang berisi botol-botol anggur. Tubuh Minnie bergetar hebat. Kini ia sudah berputus asa, dibentur-benturkannya bagian kepala belakangnya pada rak-rak itu shingga membuat rak-rak tersebut ikut bergetar. PRANG.... tiga buah rak yang tertinggi terjatuh tepat mengenai kepala Minnie. Botol-botol yang ada di dalamnya terpecah belah lalu beberapa pecahannya tertancap di sekujur tubuhnya termasuk kepala dan wajahnya. Ia pun mati dengan sangat mengenaskan.
Tuan Frans dan Nyonya Cleo bersama mobil mewahnya sudah pulang dan tiba di depan rumah mereka ketika petang menjelang malam. Klik... tuan Frans menekan salah satu tombol pada remote control yang dipegangnya. Krett.. pagar rumahnya pun otomatis terbuka. Klik... ia kembali menekan salah satu tombol lain yang berfungsi untuk membuka dan menutup garasi. Mobil mereka pun masuk ke dalam garasi itu. garasi rumah mereka begitu besar, sepuluh buah mobil pun bisa di dalamnya. Tuan Frans berusaha membangunkan istrinya yang tertidur pulas di mobil.
“Huwaahh.. oh sudah tiba ya.. oh ya, aku tadi memimpikanmu sayang.. aku melihatmu kau masih merokok sembunyi-sembunyi di belakangku. Hem... kau duluan saja, sepertinya aku lupa dimana meletakkan ponselku di mobil ini, aku mau mencarinya,” kata Nyonya Cleo sambil menyipitkan matanya. Tuan Frans yang mendengarnya seketika tergagap sebab ia sudah berjanji pada istrinya sejak tahun lalu bahwa ia tak akan merokok lagi untuk selamanya demi kesehatannya sendiri. Untuk menghindari pertanyaan dari istrinya itu, ia pun segera keluar dari mobil beralasan ia ingin buang air kecil, dan istrinya percaya begitu saja. Tuan Frans kini sudah berdiri di hadapan pintu rumah sambil kembali menekan salah satu tombol pada remote control yang tadi dipegangnya. Tombol yang barusan ditekannya adalah tombol untuk membuka dan menutup pintu rumahnya secara otomatis. Pada remote control itu hanya ada tiga tombol. Tombol merah untuk membuka dan menutup pagar rumah mereka, tombol biru untuk membuka dan menutup garasi, dan tombol kuning untuk membuka dan menutup pintu rumah mereka. Remote control yang serupa dipegangnya juga dimiliki oleh Mickey dan masih ada satu buah remote control serupa yang khusus disimpan dalam rumah. Setelah berhasil menemukan ponselnya yang ternyata terjatuh di bawah kursinya, Nyonya Cleo pun keluar dari mobil. Sebuah genangan air muncul dari bawah mobil. Sosok makhluk wanita kelabu kembali muncul dan merayap cepat dari langit-langit garasi lalu ke dinding hingga ke lantai garasi. Makhluk itu kini hampir mendekati Nyonya Cleo. Melihat hal itu, Nyonya Cleo begitu ketakutan dan berusaha menjauh dari makhluk itu. ketika ia sudah hampir mendekati pintu garasi, langkahnya terpaksa berhenti akibat kakinya tersandung. Ia berusaha bangkit namun ia tak bisa. Rupanya kedua kakinya keseleo. Dengan posisi merayap, ia berusaha keluar dari garasi yang belum ditutup oleh suaminya. Mickey baru saja pulang dari kampus dan kini ia sudah tiba di depan rumahnya. Ia hendak menekan tombol untuk membuka pagar pada remote control yang dipegangnya namun ia keliru sebab ia menekan tombol biru. Akibatnya garasi yang terbuka itu otomatis tertutup dan tubuh Nyonya Cleo yang sudah berada tepat di bawah pintu garasi tergencet. Ia mengerang kesakitan namun suaranya tertahan. Mickey yang tak tahu menahu akan hal itu hanya dapat menyadari bahwa ia menekan tombol yang salah dan kini ia pun menekan tombol merah. Ketika pagar rumahnya sudah terbuka, ia merasa heran karena seharusnya garasi itu terbuka sebab tadi ia sudah menekan tombol biru. Ia pun berpikir mungkin ayah dan ibunya sudah ada dalam rumah namun lupa menutup garasi yang akibatnya bila ia menekan tombol biru, garasi yang masih terbuka akan otomatis tertutup. Mickey hanya menatap lurus tanpa melihat tubuh ibunya. Nyonya Cleo mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk berteriak meminta tolong namun percuma sebab Mickey memasang earphone di telinganya. Klik... Mickey kembali menekan tombol biru, garasi itu pun terbuka. Mobilnya pun berjalan memasuki garasi dan tubuh ibunya tersangkut masuk di bawah mobilnya. Ketika turun dari mobilnya, Mickey menemukan banyak ceceran darah dan high heels ibunya. Ia segera keluar dari garasi itu dan menutupnya kemudian berlari ke kamarnya.
Tuan Frans memasuki gudang. Ia berniat merokok di sana agar ia tidak ketahuan oleh istrinya. Pikirnya gudang adalah tempat yang cukup aman meski berdebu. Ia tak peduli, ia pun mengunci pintu gudang itu dari dalam. Setelah duduk di sebuah kursi tua, ia pun menyulut batang rokoknya dengan korek gas yang dimilikinya. Tak jauh darinya, sebuah genangan air muncul dan disaat itu pula sosok makhluk wanita kelabu datang lalu merayap cepat mendekati Tuan Frans. Makhluk itu mengeluarkan suara erangn yang amat menyayat. Menyaksikan hal itu, Tuan Frans bangkit dari kursinya lalu berlari cepat ke arah pintu. Ketika ia sudah hampir mendekati pintu, ia menabrak sebuah tong besar yang berisi minyak tanah. Ia pun terjatuh bersama tong itu dan tubuhnya basah berlumur minyak tanah. rokok dan korek gas yang dipegangnya pun ikut terjatuh akibatnya api pun muncul dan menjalar begitu cepat. DUARRR... Korek gas miliknya pun meledak sebab api itu juga menyentuh korek gas tersebut. tuan Frans ikut terbakar bersama gudang itu. Mickey baru akan menyimpan foto-foto gadis yang semalam dipotretnya ke dalam laci ketika didengarnya sebuah ledakan yang berasal dari gudang. Ia segera berlari ke arah sumber suara ledakan itu. ia hanya bisa menggigit bibir ketika dilihatnya api yang berkobar-kobar mulai melahap ruangan lain. Ia segera menghubungi pemadam kebakaran. Karena kebakaran di rumahnya cepat ditangani oleh pemadam kebakaran, rumahnya masih dapat diselamatkan. Pihak kepolisian pun datang untuk menyelidiki. DORR... terdengar suara tembakan yang berasal dari kamar bibi Monalizha. Mickey beserta pihak kepolisian segera menuju kamar bibi Monalizha. Disana mereka menemukan tubuh bibi Monalizha yang bersimbah darah dengan tangan yang masih memegang sebuah pistol. Dalam kamar bibi Monalizha, Mickey melihat dan menemukan banyak foto-foto gadis yang serupa dengan gadis yang dipotretnya semalam. Di setiap sudut foto-foto itu tertulis nama Violena. Dan di atas meja rias bibi Monalizha, ia juga menemukan sebuah diary dan sekeping kaset video yang merupakan hasil dari kamera sisi TV di rumahnya sejak 33 tahun silam. Sambil menunggu hasil penyelidikan dari pihak kepolisian, Mickey membaca seluruh isi diary bibi Monalizha kemudian memutar kaset video itu. Air matanya pun tumpah setelah ia mengerti dan mengetahui bahwa gadis yang bernama Violena adalah kakak kandungnya. Violena seorang gadis cantik yang selama hidupnya dalam perawatan bibi Monalizha dan bibi Monalizha pun amat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Violena tak pernah merasakan kasih sayang dari orangtua Mickey hanya karena ia adalah gadis keterbelakangan mental dan bisu. Dalam video itu, Violena kerap dihukum oleh orangtuanya dengan diikat di bawah pohon dalam hujan lebat hingga malam menjelang hanya karena Violena menampakkan dan memperkenalkan dirinya di hadapan rekan-rekan kerja orangtuanya yang berkunjung ke rumahnya. Air mata Mickey makin tertumpah ruah ketika menyaksikan Violena yang sudah berumur 15 tahun dibakar bersama rumah pohonnya ketika sedang tertidur. Ia dibakar hingga menjadi abu oleh ayahnya lalu abu itu dibuangnya ke dalam kolam ikan. Dari diary bibi Monalizha pula Mickey bisa mengetahui bahwa Milly dan Minnie adalah anak hasil dari selingkuhan ibunya dengan lelaki lain tanpa sepengetahuan ayahnya. Di akhir diary itu, bibi Monalizha menuliskan bahwa ia ia ingin kolam ikan tempat abu Violena dibuang agar ditimbun menjadi sebuah makam atas nama Violena dan ia pun ingin dimakamkan tepat di samping makam Violena. Ia merasa seluruhnya sudah usai dengan matinya seluruh anggota keluarga Violena terkecuali Micke. Hanya Mickey-lah yang pantas meneruskan hidup sebab Mickey adalah adik yang selalu dinanti-nanti oleh Violena ketika Mickey masih dalam kandungan ibunya. Ketika Violena masih hidup, ia memberi tanda isyarat pada bibi Violena bahwa ia berharap calon adiknya bisa menemaninya bermain. Pihak kepolisian pun telah menyelesaikan hasil laporan dan penyelidikannya lalu menghampiri Mickey. Di hadapan Mickey, mereka memperlihatkan mayat ibu dan kedua adiknya, sedang mayat ayahnya sudah menjadi abu terkecuali jam tangan anti api yang setiap hari dipakai oleh ayahnya. Mickey hanya dpat membisu, menangisi segalanya yang benar-benar hampir membuatnya gila.
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-76891421018028009452013-08-21T02:16:00.000-07:002013-08-21T02:16:25.591-07:00Kunci Menembus Keterbatasaan Tumor otak yang menjadi benalu di dalam otakku telah merebut penglihatanku. Semenjak aku mengalami ketunanetraan tepatnya pada tanggal 25 Juni 2007 silam yang di mana hari itu merupakan hari ulang tahunku yang ke 14, aku merasa telah kehilangan asaku di dunia ini. Meski aku telah ikhlas menerima cobaan itu dengan sabar, namun tetap saja aku berpikir bahwa apakah yang harus aku lakukan dalam ketunanetraanku? Cita-cita untuk menjadi seorang dokter pun perlahan terkikis oleh waktu yang terasa begitu lambat bagiku. Hobi membaca dan menulis yang kumiliki, tak dapat lagi kupenuhi. Apabila aku ingin mengetahuii isi dari sebuah buku, aku harus dibacakan oleh orang-orang di sekitarku. Begitu pula saat aku ingin menuangkan tulisan-tulisanku yang mengalir dari benakku, dengan terpaksa aku mesti meminta bantuan dari sahabat-sahabatku yang bersedia mengetikkan tulisan-tulisan tersebut. Selain itu, aku tak dapat lagi membaca ayat-ayat suci yang telah menjadi kewajibanku selama ini, kini yang dapat kulakukan yaitu sekedar mendengarkannya melalui sebuah kaset. Hingga tiba suatu waktu dimana mereka tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing dan tak bisa membantuku sehingga hal itu membuat hatiku miris. Hati kecilku berkata bahwa ketunanetraanku telah membatasi langkahku. Dan terkadang aku merasa telah merepotkan orang n disekitarku. Dalam keterbatasanku itu, tak jarang aku mengambil sebuah pena dan secarik kertas kosong lalu menuliskan segala hal apapun termasuk menuliskan sebuah ayat suci . Meski tulisan tersebut dapat terbaca jelas oleh mereka layaknya tulisan seorang normal, namun tetap saja aku tak dapat membaca tulisanku sendiri. Aku yang merupakan seorang juara kelas di sekolahku dahulu, kini tak dapat berbuat apapun jua, semua telah tinggal menjadi sebuah kenangan.
Hingga pada suatu hari, aku dimasukkan ke salah satu SLB yang ada di kotaku. Di sana aku diajarkan menggunakan huruf Braille, akupun senang sebab dengan adanya huruf Braille, aku dapat menulis dan membaca lagi, meski awalnya agak sulit karena untuk menulis menggunakan huruf Braille sering membuat jariku kesakitan. Selain itu, aku diajarkan membaca al-quran Braille. Bukan hanya itu, aku juga diajarkan menggunakan beberapa alat elektronik seperti computer dan telepon selular yang telah diberi semacam alat bantu khusus bagi kaum tuna netra yaitu sebuah aplikasi yang telah diprogram untuk membacakan tulisan-tulisan yang tertera pada layar kedua alat elektronik tersebut. JAWS dan talks telah membantuku mengaplikasikan alat tersebut, bahkan aku telah bisa mengakses internet dengan mudah. Aku pun makin bahagia sebab satu persatu rutinitas yang dahulu tak dapat kulakukan dalam ketunaneteraanku, kini aku dapat mengerjakan segalanya sendiri tanpa merepotkan orang di sekitarku lagi. Ketika aku kembali ke lingkunganku yang dimana di tempat itu tak ada seorang pun tunanetra, tentu hal itu membuat mereka takjub dan tak percaya bahwa aku dapat melakukan apa yang mereka lakukan sebab selama ini pengetahuan mengenai tunanetra masih tabu sehingga mereka masih mengira tunanetra tak dapat berbuat apa-apa selain menjadi seorang pemijat. Melihat kemampuanku saat ini seketika mengundang perhatian dan menjadi buah bibir di tengah-tengah mereka. Lambat laun, perkiraan dan anggapan mereka mengenai tunanetra selama ini perlahan lenyap meski sebagian dari mereka masih ada yang memandang tunanetra dengan sebelah mata. Dan hal itu terulang saat aku mencoba memasuki sebuah Madrasah Aliyah Negeri yang dimana di sekolah tersebut bukanlah sekolah inklusi. Sang kepala sekolah dan sebagian guru menolak kehadiranku. Namun dengan dibantu oleh teman-teman senasib dan seperjuanganku aku, kami menunjukkan bahwa aku dapat mengikuti pelajaran di sekolah itu tanpa merepotkan mereka. Di hadapan mereka, aku memainkan jari-jemariku di atas sebuah laptop dengan lincahnya, dan ketika mereka memintaku untuk membacakan isi dari sebuah quran braille, aku menyanggupinya. Meski mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa aku mampu, nampaknya mereka masih ragu sehingga pihak sekolah memutuskan untuk mengadakan uji coba selama sebulan padaku. Begitu pula dengan teman-teman sekolahku, mereka Nampak ragu akan kemampuanku melihat bahwa aku adalah seorang tunanetra. Beberapa guru yang masuk ke kelasku sempat bingung mengamati huruf-huruf Braille dan mendengaar suara-suara berisik yang ditimbulkan oleh laptopku.
Telah sebulan kujalani uji coba itu dengan baik, pihak sekolah pun memutuskan bahwa aku diterima di sekolah itu, bahkan aku diberi beasiswa yaitu dengan membebaskanku dari uang iuran perbulan hingga aku tamat dari sekolah tersebut. guru-guru dan teman-temanku akhirnya telah dapat menerima kehadiranku dan mereka kagum akan prestasi yang telah kuukir dengan penuh perjuangan. Walau aku kini telah menjadi seorang tunanetra, aku tak jauh berbeda dengan mereka, yang membedakan antara aku dan mereka hanyalah segi penglihatan. Bahkan terkadang mereka memintaku untuk mengajari mereka mengenai beberapa pelajaran yang dapat aku kuasai.
Namun pada suatu hari, guru kimia yang mengajariku agak ragu ketika melihat hasil ujianku bahwa nilaiku berada di atas nilai standar. Padahal siswa yang ada di kelasku hamper seluruhnya memeiliki nilai di bawah standar sehingga mereka harus mengikuti pengulangan kecuali lima siswa termasuk aku. Sang guru pun mencurigai bahwa aku dibantu oleh sahabatku yang terkenal pandai dalam bidang pelajaran itu. Aku yang merasa tak melakukan hal itu spontan membantah kecurigaannya tersebut. Aku pun menjelaskan mengenai jawaban yang kumiliki dengan membacakan rumus yang kugunakan beserta hasil perhitungan yang kubuat dengan menggunakan angka dan huruf braille. Setelah mendengar penjelasanku, beliau pun paham akam kemampuanku.
Nah, itulah sekilas mengenai kisahku. Manfaat dari huruf-huruf Braille beserta alat-alat mobilitas sangat terasa dan berpengaruh dalam kehidupanku saat ini. Dengan adanya media tersebut sebagai kunci bagi para kaum tunanetra untuk menembus keterbatasan mereka, kini tak mustahil bagi kaum tunanetra dapat menggapai dan menaklukkan dunia. Wahai para mereka yang masih saja menyelepehkan ketunanetraan kami, lihatlah kami ini yang akan membuktikan kepada dunia bahwa kami dapat berhasil seperti mereka. Meski kami dalam gulita, kami memiliki secercah cahaya untuk menyongsong masa depan yang cerah. Dan aku tak akan pernah berhenti berharap bahwa semoga kelak aku dapat menjadi seorang penulis sejati. Dan mungkin tulisanku ini sangatlah sederhana namun merupakan sebuah curahan hatiku yang terpendam selama ini.
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-19951064836222810562013-08-21T02:10:00.000-07:002013-08-21T02:10:08.004-07:00Arti peran Papa dan Mama dalam menaklukkan keterbatasankuAku terlahir di dunia ini dengan sempurna tanpa cacat sedikit pun. Namun ketika aku memasuki usia remaja, aku mengidap tumor otak dan hingga akhirnya tepat pada tanggal 25 Juni 2007 silam yang saat itu aku tepat menginjak usia 14 tahun, penyakit tersebut memaksa kelamkan penglihatanku. Melihat kondisiku yang begitu memprihatinkan, orang tuaku melarikanku ke rumah sakit untuk dioperasi. Hasil operasi tersebut berhasil dan kondisiku pun berangsur membaik terkecuali penglihatanku yang hingga kini kondisinya tetap sama, kedua mata ini tak dapat lagi berfungsi, yah… sekedar menjadi hiasan yang terpajang indah di wajahku. Hari demi hari kujalani tanpa cahaya penglihatan, aku merasa kesulitan dalam menjalani kehidupan baruku ini yang serba terbatas dan bergantung pada orang lain. Walau begitu, aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli akan kondisiku yang membutuhkan perhatian ekstra dari sebelumnya dan mereka tak pernah membedakanku dengan saudara-saudaraku yang lain. Dengan tegas, mereka selalu membimbingku agar aku dapat mandiri. Akan tetapi mereka selalu saja memerintahkanku untuk dapat melakukan dan mengerjakan tugas-tugas rumah tanpa dibantu oleh siapa pun, bahkan semua tugas itu lebih sering dibebankan kepadaku ketimbang saudara-saudaraku yang lain. Aku pun sempat berprasangka buruk kepada mereka bahwa aku tak disayang lagi oleh keduanya. Dan ternyata mereka dapat menangkap yang tersirat dalam sikapku yang mendadak berubah. Suatu seketika, mereka memanggilku dan menyampaikan sesuatu kepadaku yang hingga saat ini aku tak pernah lupa oleh perkataan mereka,
:Anakku, maafkanlah akan perlakuan kami sehingga membuat hatimu terluka, tapi kamu harus tahu mengapa kami memperlakukanmu seperti ini. Tahukah kamu? suatu saat tak selamanya kami akan selalu ada buatmu, jika kami kelak telah tiada di dunia ini, kamu harus melanjutkan hidupmu tanpa kami di sisimu terkecuali Allah, sandarkanlah segala masalahmu kepada-Nya sebab hanya Dialah sebaik-baik tempat bersandar dan kamu harus mengandalkan Allah dalam kehidupanmu. Itulah tujuan kami mendidikmu seperti ini dan kami ingin kamu bisa menjadi wanita yang kuat, tegar, dan tahan mental akan omongan masyarakat akan kecacatanmu,” aku terpana mendengarnya, seketika aku memeluk keduanya, menyadari bahwa merekalah yang paling menyayangiku di dunia ini dan selalu memikirkan akan masa depanku kelak. Berkat didikan mereka itulah aku telah dapat mandiri dalam mengerjakan tugas rumah sebagai anak yang harus membantu orang tua.
2 tahun kemudian, setelah sekian lama mengganggur di rumah, mereka memasukkanku di salah satu SLB. Di sana aku diasramakan sehingga aku makin mandiri, keduanya sangat senang akan kemajuanku. Dan pada suatu hari, aku ditunjuk untuk mewakili sekolahku dalam lomba cipta baca tulis puisi, aku memutuskan untuk membuat puisi mengenai asaku untuk membahagiakan orang tuaku dan ternyata aku menang sehingga aku mewakili provinsiku untuk tahap lomba selanjutnya yaitu seIndonesia. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada keduanya dan mengajak mereka untuk ikut bersamaku ke kota Surabaya tempat lomba selanjutnya diadakan. Mereka tak berkomentar sedikit pun, hanya air mata haru yang menyiratkan akan kebahagiaan mereka saat itu.
Tak terasa setahun sudah kutempuh pendidikan di SLB tersebut, namun sayangnya penyakitku kambuh dan kembali menyerangku, dengan terpaksa aku harus pulang ke rumah dan beristirahat hingga akhirnya aku harus dioperasi lagi untuk kedua kalinya. Meski aku telah dioperasi, dokter melarangku untuk kembali bersekolah sebab takut penyakitku kambuh dan aku dilarang untuk banyak berpikir. Beberapa bulan kemudian, tak terasa Ujian Akhir Nasional telah dekat, menyadari hal tersebut aku pun mulai gelisah sebab penyakitku ini kambuh ketika aku naik ke kelas 3 sehingga hamper setahun aku tak mengikuti proses belajar. Aku pun terus saja membujuk orang tuaku agar mengizinkanku untuk dapat kembali bersekolah selama sebulan lebih sebagai persiapan untuk mengikuti ujian nanti. Dengan berat hati, akhirnya mereka mengizinkanku tetapi aku tak dapat lagi tinggal di asrama seperti dulu sebab kesehatanku harus selalu dipantau oleh keduanya. Rumah dan sekolahku sangat terpaut jauh dan memakan waktu sejam untuk tiba di sekolah dan Papakulah yang selalu bolak-balik untuk mengantarkanku setiap harinya tanpa mengenal lelah.
Ujian pun tiba, dengan berbekal usaha belajar sebulan dan doa, aku telah siap. Singkat cerita, hasil ujian pun telah keluar dan aku bersyukur sebab aku lulus dan nilaiku berada di peringkat kedua di sekolahku tersebut. tak lupa aku bersujud syukur dan berterima kasih atas doa kedua orang tuaku sehingga aku dapat lulus. Setelah itu, aku berniat untuk melanjutkan pendidikanku ke tingkat Sekolah Menengah Atas akan tetapi mereka tak memperbolehkanku dengan alasan menimbang akan kesehatanku dan segala resiko yang dapat saja terjadi kapan pun. Namun aku tetap bersikeras dengan niatku tersebut bahkan aku menangis sejadi-jadinya. Tak tega melihatku seperti itu, dengan berat hati mereka merelakanku untuk kembali bersekolah tapi bedanya kali ini aku akan bersekolah di SMA umum yang terletak tak jauh dari kompleksku yang dimana di sekolah itu tak pernah sebelumnya dimasuki oleh kaum tunanetra. Aku pun sempat ditolak dan orang tuaku disarankan agar mencari sekolah lain yang tepat untuk orang sepertiku. Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh salah satu pihak sekolah tersebut, hatiku bagai tersayat sedangkan orang tuaku sangat bersedih melihatku diperlakikan tak adil seperti ini. Papaku pun bersuara dan berusaha menjelaskan bahwa aku mampu dan berhak menempuh pendidikan di sekolah tersebut. bahkan kedua orang tuaku mengerahkan dan melakukan seluruh cara agar aku dapat diterima di sekolah itu. Keduanya pun menghubungi senior-seniorku yang senasib denganku yang kini telah berhasil memasuki universitas yang ada di kotaku agar mereka dapat menjelaskan bukti-bukti kepada pihak sekolah tersebut bahwa tunanetra sepertiku berhak dan dapat sukses seperti mereka yang memiliki fisik sempurna. Akhirnya aku diterima oleh pihak sekolah tetapi dengan syarat aku harus mengikuti uji coba selama sebulan. Jika aku berhasil melewati uji coba itu dengan baik, aku dapat melanjutkan pendidikanku di sekolah itu dan bila aku tak berhasil, aku harus meninggalkan sekolah tersebut. untuk membantu kelangsunganan proses belajar mengajar di sekolah, orang tuaku memberikanku fasilitas sebuah laptop yang telah dipasangkan sebuah aplikasi yang akan membaca seluruh tulisan-tulisan yang tertera pada layar monitor laptop tersebut. bukan hanya itu, mereka membeli beberapa buku pelajaran yang digunakan untuk mempelajari beraneka mata pelajaran yang ada di sekolahku. Dan juga dibantu oleh alat scanner, aku dapat membaca isi dari buku-buku tersebut dan apabila hasil scan itu itu kurang jelas, dengan senang hati orang tuaku membacakan isi buku tersebut dan aku yang terkadang kurang paham akan pelajaranku, mereka selalu membimbingku juga mengajariku hingga aku dapat mengerti akan pelajaranku.
Hingga suatu ketika penyakitku kambuh lagi dan aku tak biperbolehkan untuk kembali bersekolah. Aku hanya menurut saja menyadari keegoanku yang ditimbulkan oleh diriku sendiri. Namun orang tuaku tak menyurutkan dan mematahkan semangatku untuk menggapai segala impianku dan menyarankanku untuk mengembangkan potensi bakat menulis yang kumiliki yang bisa saja akan mengantarkanku pada gerbang kesuksesan. Dengan senang hati, aku menyambut gagasan tersebut sehingga saat ini aku tak pernah berhenti untuk menulis, melahirkan beberapa karya dan mengikutsertakannya pada beberapa lomba menulis yang diadakan beberapa oleh berbagai pihak.
Terima kasih Papa.. Mama… arti peran kalian sangat besar dalam menaklukkan keterbatasanku ini dan aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti mereka dibanding orang tua dari salah satu murid di SLbku yang memiliki netra dan mental yang cacat namun tak dipedulikan oleh orang tuanya. Padahal semestinya mereka yang telah melahirkannya harus mengerti akan kebutuhan khusus yang tepat dan bermanfaat buatnya dalam menaklukkan keterbatasan dan menggapai masa depan yang cerah. Selain itu, aku sangat berharp besar kepada seluruh masyarakat agar peduli akan kehadiran kami yang berkebutuhan khusus yang juga ingin meraih kesuksesan seperti mereka yang sempurna.
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-32954063213713125002013-08-21T02:05:00.000-07:002013-08-21T02:05:06.011-07:00Bukan maksud AyahLangit malam di luar sana Nampak indah. Sang Bulan kali ini tak segan-segannya berbagi cahaya untuk menerangi langit kota. Seakan tak ingin kalah dengan sang Bulan, para pasukan bintang saling beradu untuk memancarkan sinarnya yang berkilauan anggun hingga tak heran berjuta orang terpana dan takjub akan keindahannya. Namun sayangnya kepulan asap yang ditimbulkan oleh kendaraan yang memenuhi jalan telah merusak keindahan pemandangan malam hari ini. Seiring waktu yang terus berdetik, akhirnya satu persatu kendaraan yang ada di jalan depan rumah nenek mulai berkurang hingga perlahan jalanan itu telah Nampak sepi. Dan tak terasa malam telah makin larut. Walau demikian, aku tak dapat memejamkan kedua mata ini. Rasa senang, resah, dan gelisah menyerbu berbaur tak menentu melanda hatiku. Seluruh pikiranku seolah terbang melayang. Bagaimana tidak?! Sang Ibunda yang tercinta telah memasuki bulan kesembilan yang berarti tak lama lagi aku akan resmi menjadi seorang kakak. Dan malam ini, Ibu beserta Ayah, Nenek, dan bibi akan berangkat menuju ke rumah bersalin sebab Ibu tak dapat lagi menahan rasa sakit di perutnya. Menyaksikan hal tersebut, aku segera bangkit kemudian menghampiri Ayah yang telah siap sedari tadi.
“Aku ikut ya…,” bujukku pada Ayah.
“Tak usah ya, Nak! Kamu nyusul aja entar dengan yang lain ya… entar kalau adik kamu sudah berhasil dikeluarkan dari perut Ibu, barulah kamu dan yang lainnya nyusul ke rumah bersalin,” jelas Ayah. Aku pun hanya dapat pasrah dan mengindahkan kata-kata Ayah meski sebenarnya aku sempat kecewa dengan jawaban dari Ayah. Dengan raut wajah yang masih cemberut, aku berjalan tepat di samping Ibu hingga beliau memasuki mobil. Mobil yang membawa Ibu pun melaju, kupandangi mobil tersebut hingga akhirnya mobil itu telah hilang dari pandanganku.
“Masuk ke dalam rumah, Nak! Udara malam nggak baik untuk kesehatanmu, entar sakit loh!” seru Bibi menyuruhku agar masuk ke dalam rumah. Aku pun bergegas memasuki rumah dengan setengah berlari-lari kecil.
-***-
“Mengapa sih Ayah tak memperbolehkanku untuk ikut bersama Ibu? Aku kan pengen ikut!” gerutuku dalam hati seraya berbaring di atas tempat tidur Nenek. Meski aku telah berguling kesana-kemari di atas tempat tidur, tetap saja aku tak bisa tidur. Kupaksakan pejamkan kedua mataku agar aku dapat tidur, tapi yang ada mataku makin melek saja. Kini di hadapanku baying-bayang Ibu yang tengah merintih terus saja menari-nari seolah menghantuiku.
“Loh kok belum tidur sih? Kirain kamu sudah tidur! Eh tahunya kamu ngelamun saja, tidur, gih! Besik kan kita berangkat ke rumah bersalinnya pagi-pagi! Kalau kamu telat bangunnya, entar kamu ditinggal loh!” ujar Bibi yang tiba-tiba masuk ke kamar sehingga membuyarkan baying-bayang Ibu yang ada di hadapanku. Setelah mendengar perkataan dari Bibi, aku jadi takut sehingga hal tersebut membuatku dengan mudahnya tertidur.
-***-
Di sisi lain dan tempat yang berbeda, Ibu tengah berjuang untuk dapat melahirkan buah hati tercinta dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun hingga saat ini sang bayi belum juga dapat berhasil dikeluarkan. Para dokter dan perawat turut bingung dan heran sebab kepala dari sang bayi telah berada tepat di pintu tetapi tak dapat dikeluarkan seakan ada sesuatu yang menahan dan menghalangi bayi tersebut untuk keluar. Wajah Ibu pun telah merah padam menahan sakit dan perih yang amat sangat.
“Berkuat lagi ya, Bu… Kepala bayinya sudah ada di depan pintu! Ayo coba tarik napasnya lagi,” ujar Dokter berusaha memandu Ibu.
Menyaksikan kesakitan dari sang istri tercinta, Ayah pun turut panic dan heran sebab ketika melahirkanku untuk pertama kalinya proses persalinan begitu mudah mengingat Ibu adalah seorang wanita yang sholeh dan taat pada kedua orang tua, tapi kali ini sangat jauh berbeda dari sebelumnya.
“Ya Allah… ada apa dengan istriku? Mengapa ia sangat kesulitan dalam melahirkan anak keduaku ini? Bukankah sebelumnya ia sangat mudah dalam melahirkan anak pertama kami? Dan bukankah pula istriku ini adalah wanita yang taat padaMu, taat padaku, dan juga taat pada kedua orang tua?! Ya Allah… berilah kemudahan kepada istriku dalam proses persalinannya,” ujar Ayah dalam hati yang terus saja bertanya-tanya dan tak hentinya terus berdoa pada Sang Maha Penyayang, hingga seketika Ayah mengingat sesuatu hal yang mendadak membuat wajah Ayah memucat. Bagai menembus waktu, ingatannya pun tiba pada peristiwa 5 tahun silam…
-***-
Ria adalah seorang Ibu muda. Walau demikian, ia sangat piawai dan cekatan mengurus rumah tangganya. Dalam usia yang masih belia, ia terpaksa mengakhiri sekolahnya dan menikah dengan seorang pria yang berumur terpaut jauh dari usianya saat itu bahkan ia sama sekali tak mengenalnya. Namun karena pria itu merupakan seorang agamis, Ibunya pun jatuh hati akan kealiman dan budipekerti yang dimiliki oleh pria itu. Tanpa terasa setahun lebih mereka arungi bahtera rumah tangga dan kini mereka telah memiliki seorang putrid. Tanggung jawab mereka pun bertambah terutama sang istri yang harus selalu memantau sang putrid beserta rumah tangga ketika sang suami tengah keluar mencari nafkah.
“Kasihan istriku, dalam usia yang terhitung begitu masih muda, ia telah harus mengurusi suami, anak, serta rumah tangga sendirian, Ya Allah aku hanya ingin memiliki seorang anak saja agar seluruh perhatian dan kasih sayangku cukuplah untuk keduanya saja,” pintanya dalam hati. tanpa sepengetahuannya, rupanya Allah sang Maha Mendengar, mengetahui dan mendengar dan para malaikat mencatat dan mengaminkan perkataan dari hati kecil sang suami yang sholeh itu.
-***-
“Wah bagaimana nih, Pak? Anak bapak sangat sulit untuk dikeluarkan!” Tanya dokter yang seketika membuyarkan lamunan Ayah. Ayah tak menjawab, dibiarkannya peranyaan itu menggantung dan seketika mendekati sang istri yang telah Nampak terkulai lemah di hadapannya. Dengan pandangan lembut, Ayah mengarahkan pandangannya menuju kea rah kepala sang bayi seraya terus beristighfar di dalam hati.
“Maafkan Ayah, Nak… dahulu Ayah pernah berkata bahwa Ayah hanya ingin memiliki seorang anak saja namun Ayah tak bermaksud tak menginginkan kehadiranmu di kehidupan Ayah, sekali lagi Ayah meminta maaf kepadamu, sekarang Ayah mohon keluarlah engkau, Nak!” ucap Ayah lirih diiringi deraian air mata. Setelah Ayah berkata demikian, seketika sang bayi tersebut pun keluar dan meluncur dari tempatnya dengan mudahnya hanya dalam hitungan detik.
“OOOOeekkk… OOOeeekkk…,” tangisan merdu sang bayi itu telah memecahkan rasa kepanikan yang menerpa orang di sekitarnya. Rasa sakit dan perih yang tadi dirasakan oleh Ibu, mendadak lenyap tanpa menyisakan rasa sakit sedikit pun seiring terlahirnya sang buah hati. ayah pun mengambil sang bayi tersebut dari tangan sang dokter lalu menimangnya dengan penuh kasih saying.
“Allahu Akbar Allahu Akbar… Allahu Akbar Allahu Akbar…” Ayah mengumandangkan adzan pada telinga sebelah kanan sang bayi sesuai sunnah Rasulullah. Setelah selesai mengumandangkan adzan, Ayah juga mengumandangkan iqomat pada telinga sebelah kiri sang bayi.
“Allahu Akbar Allahu Akbar… Asyhaduanlaa ilaaha illallaah…” air mata Ayah pun makin berderai dan tak dapat terkendali lagi.
-***-
“Bangun, Nak! Buruan bangunnya, kita akan ke rumah bersalin secepatnya, adik kamu udah lahir! Dan Alhamdulillah adikmu itu laki-laki loh!” ujar Bibi berusaha membangunkanku. Setelah mendengar dan mengetahui hal tersebut, aku yang masih memasang wajah yang ngantuk, mendadak mataku melek dan terbelalak.
“Apa?!!! Adikku sudah lahir?! Yes yes yes!!! Asyik aku punya adik baru!” sorakku kegirangan seraya seketika turun dari tempat tidur dan berjingkrak-jingkrak kesana-sini. Saking senangnya aku pun buru-buru mandi dan segera berpakaian.
“Waduh pakai baju yang mana ya? Aku jadi bingung! Tak ada Ibu disini sih! Mmm… yang ini aja deh,” ujarku seraya mengeluarkan salah satu baju dari tas besar milik Ibu yang berisi baju-baju Ayah, Ibu, dan juga baju-bajuku sebab kami telah seminggu nginap di rumah nenek.
“Kamu sudah selesai belum? Buruan ya..” Tanya Bibi memastikan.
“Aku sudah siap, Bi! Yuk kita pergi!” jawabku mantap.
“Kalau gitu, yuk kita turun ke bawah, kita sarapan dulu,” ujarnya seraya merapikan rambutku yang tak sempat kurapikan sebbab aku tak menemukan sisir di kamar nenek. Setibanya di bawah, aku dan sanak keluargaku sarapan bersama lalu kemudian berangkat menuju ke rumah bersalin dengan menumpangi sebuah mobil.
-***-
“Ibu…!” panggilku kegirangan.
“Eh saying.. kamu sudah datang!?” ujar Ibu seraya tersenyum manis kepadaku.
“Ibu baik-baik aja kan? Oh ya, adikku mana? Aku tak sabar pengen melihatnya!” tanyaku seraya memeluk Ibu.
“Sabar dong saying, adikmu lagi dimandiin sama perawat,” jawab Ibu dengan suara lembut.
“Aku jadi penasaran Nih, Bu! Bagaimana sih tampang adikku itu?” tanyaku.
“Mmm… gimana ya?! Wajahnya lucu, rambutnya agak keriting, dan badannya gede! Bagaimana?! Kamu sudah bisa membayangkannya kan?” jawab Ibu dengan semangat.
Tok..tok..tok… terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Aku pun bergegas menuju ke pintu dan dengan sigap membukanya. Setelah membuka pintu tersebut, kini di hadapanku berdiri seorang perawat yang tengah menimang seorang bayi yang berciri-cirikan sesuai dengan cerita dan gambaran dari Ibu barusan. Dan sangat amat yakin bahwa bayi yang ditimang oleh perawat itu adalah adikku.
“Selamat pagi, nih bayinya sudah dimandiin,” ujar sang perawat tersebut namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya tengah berdiri.
“Wah sudah dimandiin ya, Sus… silahkan masuk… saying, minggir dong, Nak! Perawatnya kan tak bisa masuk kalau kamu tetap berdiri di situ?! Beri jalan gih! Buat perawatnya,” seru Ibu.
“Ternyata benar kan?! Bayi itu adalah adikku! Wah adikku sangat menggemaskan!” gumamku dalam hati. aku pun berlari menuju kea rah Ibu dan sang perawat tersebut masuk kemudian meletakkan sang bayi itu tepat di samping Ibu.
“Wah… terima kasih ya, Sus, sudah memandikan bayi saya,” ujar Ibu kepada sang perawat tersebut.
“Uhg.. aku jadi gemes!! Lucunya adikku ini!” celotehku seraya mengecup kening adik kecilku.
“Eh tahu nggak sih kamu?! Sekrang kamu tak disayang lagi tuh sama Ayah dan Ibu kamu soalnya mereka sekarang lebih saying sama adik kecilmu itu,” celetuk Bibi menggodaku. Mendengar perkataan tersebut, spontan aku mengerinyitkan keningku lalu memandang ke arah Ayah dan Ibu.
“Tenang saja, tentulah Ayah dan Ibu masih menyayangimu dan rasa saying kami kepada kamu dan adikmu sama rata kok! Kami tak akan membeda-bedakannya, jangan didengar kata Bibimu itu, dia cumin bercanda kok!” ujar Ayah seraya mengelus-ngelus kepalaku. Setelah mendengar penuturan dari Ayah, aku merasa lega walaupun aku sempat melototin Bibi yang tadi telah sempat menggodaku agar aku merasa cemburu dan kesal. Menyaksikan hal tersebut, seluruh orang yang ada di kamar itu pun tertawa terbahak-bahak.
Hikmah:
Sebagaimana yang kita ketahui selama ini, perkataan adalah doa. Maka dari itu, janganlah berkata yang tidak-tidak yang dapat menimbulkan mudhorat buat diri sendiri ataupun orang lain di sekitar kita. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar walau perkataan itu hanya terlontarkan di hati. selain itu, de sekitar kita ada beberapa malaikat di tengah-tengah kita yang senantiasa mencatat segala perkataan kita dan biasanya mengaminkan perkataan dari manusia. Dan terkadang kita sebagai manusia biasa yang tak luput dengan sifat lupa, seringkali kita telah lupa akan perkataan kita sehingga dari perkataan kita pula sangat berpengaruh akan hari ke depan. Maka sekali lagi jagalah perkataanmu walau perkataan itu di dalam hati.
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-51808834872410230072013-08-21T01:58:00.000-07:002013-08-21T01:58:42.075-07:00Selimut dukaku dalam lebaran 2012“Jangan pulang dulu dong, Bu! Bulan ramadhan tak lama lagi, tinggallah di sini hingga lebaran nanti” bujukku manja pada nenek yang akrab dipanggil dengan Ibu dalam keluarga besarku.
“Tidak, Nak, Ibu harus pulang apalagi Ibu sakit-sakitan,” tolaknya halus sambil bersiap keluar rumah.
“Aku dan Mami kan bisa rawat Ibu juga kok! Bukan hanya tante Nelly yang bisa,” protesku. Air mataku meleleh. Dadaku pun terasa sesak oleh kepulangan Ibu.
“Kalau begitu, aku ikut ya!” rengekku.
“Tak usahlah, Nak! Bukankah kamu bertugas sebagai bendahara dalam organisasi remaja mesjid kamu, jadi kamu sangat dibutuhkan,”
Sejenak aku terdiam, lalu beranjak masuk ke kamarku. Ibu telah keluar rumah dengan dipapah oleh Om Rizal. Aku tetap di kamar, aku tak ikut mengantarkan Ibu hingga masuk ke mobil.
***
“Tak terasa ya, lebaran tak lama lagi ! Oh ya, Mam, kita jadi ke Palopo tidak?!” tanyaku pada Mami seraya mencoba baju baruku untuk lebaran nanti.
“Rencananya kita akan ke Palopo setelah lebaran sebab pernikahan Tante Astuti juga akan dilangsungkan setelah lebaran. Maka sebaiknya kita menghadiri pernikahan tante kamu dulu baru kita ke Palopo agar kita sekali jalan saja. Untuk ke Palopo, mobil yang akan kita tumpangi akan melewati kota Pinrang! Tetapi..” kalimat Mami terhenti.
“Tetapi apa ?”
“Barusan Tante Nelly menelpon Mami. Katanya perilaku Ibu akhir-akhir ini agak aneh dan beda dari selama ini. Ibu selalu diam dan saat ini Ibu mendadak tak dapat berjalan. Mami beserta tante dan semua Om kamu sangat cemas dan khawatir dengan keadaan Ibu. Jadi, mungkin kita akan ke Palopo dalam dekat ini dan kita akan lebaran di sana. Sekarang Mami lagi tunggu telpon dari Tante Nelly nih!” suara Mami terdengar parau. Andai saja aku dapat melihat seperti yang dahulu, mungkin aku akan menemukan mata Mami yang sedang berkaca-kaca. Aku segera mencopot baju baruku lalu mengembalikannya ke dalam lemari. Kriingg…Kriing… handphone Mami bordering. Mami segera beranjak keluar dari kamarku lalu menuju ke ruang keluarga tempat tadi Mami meletakkan handphonenya. Aku yang merasa ngantuk segera membaringkan diri di atas tempat tidur.
“Nurul bangun, Nak! Ayo doakan Ibu! Ibu gawat!!” panik Mami yang berusaha membangunkanku. Aku terbangun lalu duduk berusaha menenangkan hatiku.
“Kenapa Ibu tidak dibawa ke rumah sakit saja sih?!!”
“Percuma saja, Nak!” jawab Mami yang terus mondar-mandir tak menentu dengan handphone yang ia pegang erat di tangannya. Aku yang mengerti dengan kondisi saat ini tanpa dikomando lagi, aku segera mengambil beberapa lembar pakaianku lalu memasukkannya ke dalam tas. Kembali terdengar deringan handphone Mami, dan samar-samar Nampak Mami tengah serius berbicara kepada orang yang ada di seberang telpon. Aku mulai kasak-kusuk sehingga aku tak lagi memperhatikan pakaian-pakaian yang aku masukkan ke dalam tas.
“Kenapa, Dik? Kenapa dengan Ibu?! Apa??! Katakan saja, Dik! Hah.. Ibu telah tiada!! Huuu…” terdengar jerit tangis Mami. Aku pun sadar bahwa Ibu telah pergi untuk selamanya meski aku belum dapat percaya seutuhnya bahwa Ibu telah tiada. Aku terisak. Air mataku tak dapat lagi kubendung. Mami menghampiriku lalu memelukku dengan erat. Kedua hati kami terasa pedih luar biasa. Setelah itu, Mami bergegas keluar dari rumah lalu menuju ke mesjid yang terletak tepat di samping rumahku untuk menyampaikan berita duka itu kepada Papi yang tengah melaksanakan ittikaf di mesjid itu. Dalam kegelapan, Mami berusaha mencari Papi sebab saat itu keadaan tengah mati lampu. Setelah berhasil menemukan Papiku, Mami menyampaikan berita itu kepada Papi. Air mata pun jatuh dari pelupuk mata Papi.
***
“Ibu…Ibu…” tangisku pecah di hadapan mayat Ibu. Kurangkul tubuh Ibu lalu menciumi keningnya dengan penuh perasaan. Sebenarnya tubuhku terasa amat lemas bahkan aku nyaris pingsan akan tetapi aku berusaha menguatkan diriku agar dapat ikut memandikan mayat Ibu lalu juga ikut menyolatinya dan kemudian ikut mengantarkan jenazah Ibu hingga ke pemakaman.
***
Allahu Akbar… Allahu Akbar.. takbir terus berkumandang dari mesjid kecil yang terletak tak jauh dari rumah Tante Nelly. Omelan Mami memenuhi kupinku sebab aku telat sholat subuh. Seluruh sepupuku telah siap untuk ke mesjid.
“Buruan!! Entar kita tak dapat tempat lagi! Mandinya jangan lama-lama ya!” ala bisa karena biasa, pepatah itu ditujukan padaku. Di saat yang bersamaan, aku telah selesai mandi dan hujan mendadak turun dengan derasnya. Dan dua sepupuku juga membertahu bahwa tempat di dalam mesjid telah penuh. Aku pun menjadi sasaran omelan dari sepupu, tante dan mamiku.
“Kak Nurul sih Lelet!” gerutu sepupuku. Terpaksa kami melaksanakan sholat ied di dalam rumah saja yang dipimpin oleh Mamiku. Sebelum itu kami bertakbir. Setelah sholat ied telah selesai kami kerjakan, layaknya sholat ied di mesjid, Mami member ceramah kepada kami semua. Hujan pun mulai reda. Terdengar suara Imam mesjid yang baru saja memulai shalat ied. Rupanya aku dan keluargaku mengerjakan sholat ied lebih dahulu !!
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-85675688747051113342013-08-21T01:49:00.000-07:002013-08-21T01:49:15.768-07:00Bidadari dalam kehidupankuKala kilau mentari tak lagi sanggup menembus mata ini
Dan bintang-bintang di langit tiada lagi hadir menemaniku di sini
Namun bidadari nan jelita akan selalu sejati menemani
Meski raut indahnya tak lagi terlukis dalam netra ini
Wahai engkau Ibu sang bidadari penyejuk kalbu
Sungguh ayu paras nan kalbumu
Bentangkanlah sayap putih nan sucimu itu
Bawalah peri kecilmu ini ke dalam damai dan hangatnya dekapanmu
Duhai Ibu yang amat kucinta
Jangan lagi ada air bening kesedihan yang mengalir di pipimu yang merona
Kupinta janganlah engkau menatap peri kecilmu ini dengan tatapan iba
Karena aku tak ingin Ibu tenggelam dalam siksa jiwa
Tenanglah engkau duhai bidadari hati
Sebab aku akan membingkiskan sejuta cinta dan bahagia untuk menutupi luka dan lubang di hatimu saat ini
Dan takkan pernah kubiarkan lagi luka dan lubang di hatimu itu kembali menghampiri
Kuingin engkau selalu tersenyum hingga akhir nanti
Taukah engkau Ibu…
Kerongkongan hidupku selalu saja haus akan kasih sayangmu
Genggam eratlah jemariku agar Ibu dapat merasakan getaran-getaran yang memuncak dalam setiap denyut-denyut nadiku
Temanilah raga ini mengarungi pahit getirnya jalan hidup yang penuh duri nan berliku
Duhai Ibuku sang bidadari jelita
Aku tau kedua bola mata ini tak lagi berdaya
Namun aku masih dapat menyaksikan segala keindahan melalui mata Ibu yang penuh cahaya
Ibu adalah mata keduaku yang tanpanya hidupku kan terasa hampa
Wahai Ibu sang bidadari
Sosokmu takkan pernah mati di hati
Izinkanku merasakan indahnya surga di bawah telapak kakimu yang suci
Kupinta pada Sang Pemilik waktu agar cinta Ibu akan abadi di hati
Penulis:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-7836098782809362862013-08-21T00:24:00.001-07:002013-08-21T00:37:02.460-07:00Hujan RinduHujan....
Sejak tadi hingga kini masih hujan
Semua basah, sebasah mata dan hatiku
Hujan di luar sana deras
Mengapa? Kemarin-kemarin hari sangat panas tapi hari ini hujan
Namun jelas hujan ini rindu
Hujan ini adalah rinduku
Rinduku yang tak terbantahkan
Rinduku yang tak tersampai kepada dia yang tak akan pernah kembali di sini, di dunia ini
Apakah dia juga rindu sepertiku?
Aku tau itu walau dia telah jauh di sana
Hujan ini buktinya
Katakan saja sayang…
Aku dapat mendengar gaib lirih bisikmu
Bahwa engkau juga rindu padaku
Created by:
Risya Rizky Nurul Qur’ani
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-18179337999352800832013-08-16T02:38:00.000-07:002016-01-05T05:48:40.001-08:00di manakah sila kelima itu kini?Dalam kehidupan para difabel selalu saja ada kendala-kendala dalam memperoleh hak-hak mereka sebagai rakyat Indonesia. Kendala-kendala itu ada yang kecil dan ada juga yang besar. Kendala-kendala mereka sangat beraneka ragam dimulai dari kendala hak pendidikan, hak mendapatkan layanan yang layak, dan seterusnya. Namun kali ini saya hanya ingin membahas dua kendala yang kerap menerpa para difabel khususnya para difabel netra. Kedua kendala itu adalah kendala dalam memperoleh layanan yang baik dari suatu lembaga atau instansi dan kendala dalam dunia pendidikan.
Beberapa bulan yang lalu, saya dihubungi oleh salah satu sahabat senasib saya sebagai difabel netra. Dengan lirih, ia menyampaikan sebuah berita duka kepadaku. Awalnya saya mengira kalau berita itu adalah berita kematian seseorang tetapi ternyata bukan, melainkan berita bahwa kartu ATM yang ia miliki ditelan oleh mesin ATM secara tidak sengaja. Saya yang mendengarnya hanya berekspresi datar seolah sedang tak terjadi apa-apa. Saya menyikapinya seperti ini sebab kebetulan seorang temanku juga pernah mengalami kendala serupa. Ketika temanku itu mengalami kendala tersebut, ia segera melaporkan kejadian itu kepada pihak bank yang bersangkutan sekaligus mengurus pembaharuan kartu ATM untuk mengganti kartu ATM miliknya yang tertelan itu. Hanya kurun 2-3 hari, urusannya pun akhirnya beres. Saya pun menceritakan hal itu kepada sahabatku itu agar ia tidak perlu merasa khawatir. Mendengar cerita itu, ia tertawa sebentar lalu menjelaskan kepadaku bahwa kendala temanku itu memang serupa namun tidak semudah itu buat para difabel netra. Untuk memindahkan data-data yang ada pada ATM yang sebelumnya ke ATM yang baru, diperlukan sebuah tanda tangan sang pemilik kartu ATM tersebut. katanya lagi urusan temanku itu sangatlah mudah untuk diatasi sebab ia bukanlah seorang difabel netra seperti kami. Sedangkan sahabatku itu, ia adalah seorang difabel netra sepertiku. Kendala tanda tangan buat para difabel netra tentunya bukanlah kendala sepelah seperti membalikkan telapak tangan. Tanda tangan pemilik ATM haruslah persis dengan tanda tangan pada data-data sebelumnya. Dan tentunya tanda tangan yang ada pada data-data sebelumnya, khusus para difabel netra, yang menandatanganinya bukanlah dirinya sendiri melainkan ditandatangankan oleh pendampingnya. Dan parahnya, orang yang menandatangani data-data sebelumnya, kini telah berada jauh dari sahabatku itu tepatnya di provinsi yang berbeda denga sahabatku itu. Telah berkali-kali sahabatku itu menjelaskan kepada pihak bank yang bersangkutan bahwa ia adalah seorang difabel netra yang tentunya hanya dapat ditandatangankan oleh pendamping dalam urusan-urusan tertentu seperti saat ini. Hingga kini ia tidak dapat menarik uang yang ada dalam tabungannya padahal ketika itu ia sangat membutuhkan sejumlah dana untuk suatu keperluan yang sangat mendesak.
Di atas adalah salah satu kendala yang kerap dihadapi oleh para difabel netra. Tidak semua bank yang ada di Indonesia yang ingin kompromi dengan keadaan para difabel netra. Prosuder yang ada sangat mengikat tanpa ada dispensasi untuk kaum tertentu seperti para difabel netra. Dan ternyata kendala seperti ini bukan hanya terjadi bank saja melainkan juga terjadi di suatu universitas. Seorang kawan saya yang juga seorang difabel netra tidak diberi kesempatan untuk memiliki kartu mahasiswa sebab alasan dari pihak universitas tersebut mewajibkannya dapat bertanda tangan.
Mengapa kendala kecil seperti ini selalu saja dibesar-besarkan oleh beberapa instansi? Apa sulitnya cap jari atau cap jempol sebagai pengganti tanda tangan untuk mereka para difabel netra khususnya yang benar-benar total. Dimanakah pancasila yang selalu dijunjung oleh bangsa Indonesia? Sebab bukankah salah satu sila yang ada di dalam pancasila menyebutkan kalimat “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ?! jadi kini di manakah keadilan itu? Apakah sila kelima itu telah terhapus dalam kehidupan bangsa Indonesia? Beberapa instansi telah melupakan sila kelima itu yang berarti instansi itu telah mengkhianati salah satu sila yang ada dalam pancasila. Mengaku bangsa Indonesia tetapi tidak menanamkan jiwa pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi bagaimanakah nasib para difabel daksa yang tak lagi memiliki kedua tangan dan kaki? Tentu mereka akan lebih merasa kesulitan dibanding para difabel netra dalam tanda tangan.
Kendala-kendala itu tidak hanya berhenti disini saja tetapi masih ada lagi kendala-kendala yang lain. Kendala selanjutnya adalah kendala pendidikan. Kali ini saya juga akan sedikit menceritakan pengalaman pribadi saya. Pada 2011 lalu, saat itu saya baru saja menamatkan bangku SMP di salah sebuah sekolah luar biasa yang ada di kotaku. Saya pun ingin malanjutkan pendidikan saya ke jenjang pendidikan selanjutnya di SMU negeri layaknya siswa-siswa non disibilitas pada umumnya. Dengan ijazah yang ada, saya pun mendaftarkan diri dan mengikuti tes di salah satu SMU negeri yang terletak tak jauh dari kediamanku. Ketika saya ingin memasuki ruangan tes, sang pengawas ruangan tersebut keberatan saya masuk ke dalam ruangan itu dengan alasan dibilitas yang kumiliki. Saya dan Ayahku pun menghadap ke kepala sekolah SMU tersebut. setelah berbicara kepada beliau, akhirnya saya dapat mengikuti tes tetapi bukanlah di ruangan seharusnya saya sebagai calon siswa untuk mengikuti tes masuk ke sekolah itu melainkan saya ditempatkan di ruang guru. Disana saya pun mengerjakan soal-soal yang ada didampingi oleh pendamping saya yang tak lain sahabat saya sendiri. Tatkala saya asyik-asyiknya mengerjakan soal-soal itu, seorang guru dari SMU tersebut menghampiriku dengan mengatakan bahwa SMU itu tak selayaknya untuk orang sepertiku. Ia juga berkata bahwa si SMU tersebut tak ada huruf Braille. Konsentrasiku pun seketika buyar setelah mendengar perkataannya barusan. Saya pun menjelaskan kepadanya bahwa siswa sepertiku juga dapat mengikuti pelajaran di SMU negeri tersebut dengan baik bukan hanya di sekolah luar biasa saja. Setelah mendengarkan penjelasan dariku, ia pun berlalu begitu saja. Akibat hal itu, saya tak dapat mengerjakan soal-soal selanjutnya dengan baik dan tenang. Alhasil ketika hasil tes telah keluar, saya dinyatakan tidak lulus tes. Akhirnya saya kembali mendaftarkan diri di sebuah Madrasah Aliyah Negeri, lagi-lagi saya tidak diperkenankan untuk mengikuti tes di sekolah tersebut dan lagi-lagi dengan alasan yang serupa. Saya dan Ayahku pun ingin bertemu langsung dengan kepala sekolah yang ada di sekolah tersebut, karena kebetulan beliau sedang tak ada di tempat, kami pun memutuskan untuk mendatangi kediaman beliau. Disana akhirnya kami dapat menemuinya dan membahas mengenai keinginanku untuk masuk ke sekolah tersebut. beliau pun berceletuk bahwa pemerintah seharusnya memperbanyak sekolah luar biasa untuk orang sepertiku. Lagi-lagi hatiku seketika miris mendengarnya. Beliau pun kembali berkata bahwa beliau ingin mengadakan rapat terlebih dahulu bersama guru-guru yang lain mengenai kesediaan mereka akan kehadiranku yang berbeda dengan siswa-siswa yang lain juga dalam menghadapi dan mengajari siswa sepertiku. Keesokan harinya saya kembali datang ke sekolah tersebut tetapi kali ini saya bukan hanya datang bersama Ayahku tetapi juga bersama seorang kawan senasib saya yang merupakan utusan dari PERTUNI SULSEL untuk membantuku masuk ke sekolah tersebut. kami pun bertemu dan berbicara dengan sejumlah guru-guru yang memiliki peranan penting di sekolah tersebut. terlebih dahulu kawan saya memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah seorang alumni dari salah sebuah SMU negeri yang sangat dikenal sejak dulu di tengah masyarakat sekaligus seorang alumni dari salah satu Universitas ternama yang ada di kotaku. Kawanku itu juga menjelaskan kepada mereka bahwa saya juga mampu mengikuti proses belajar mengajar di sekolah tersebut dengan dibantu oleh alat-alat khusus yang kumiliki seprti laptop yang bisa kubawa kemana-mana. Atau riglet dan pen yang juga bisa membantu, qur’an Braille, dan sebagainya. Mereka pun ingin melihat bukti langsung dariku dengan memintaku untuk membaca Al-qur’an dengan baik. Saya pun menyanggupinya, di hadapan mereka saya membaca beberapa ayat-ayat yang ada dalam qur’an Braille milikku. Mereka pun terkesima melihatnya. Selanjutnya mereka ingin melihatku memainkan laptop laptop dan saya juga menyanggupi. Dengan dibantu oleh suara aplikasi JAWS beserta pengetahuan teknologi yang kumiliki, saya berhasil menunjukkan kepada mereka bahwa saya mampu seperti siswa-siswa yang lain pada umumnya. Singkat cerita, dari hasil rapat mereka saya diputuskan dapat diterima di sekolah tersebut dengan syarat saya mesti mengikuti uji coba selama sebulan. Jika saya berhasil melewatinya dengan baik, saya dapat melanjutkan pendidikanku di sekolah tersebut tetapi jika saya tidak berhasil, saya dipersilahkan keluar dari sekolah itu. Dan akhirnya saya berhasil.
Meski saya telah berhasil menembus sekolah itu, masih banyak sekolah negeri yang belum bisa menerima keadaan para difabel netra sepertiku. Bahkan juga ada seorang kawan sepertiku yang dimana ia telah lulus murni pada ujian SMPTN barusan juga mengalami beberapa kendala untuk memasuki jurusan pilihannya. Kebetulan ia memilih fakultas ilmu pendidikan jurusan kewarganegaraan di sebuah Universitas negeri yang ada di kotaku. Pihak Universitas mempermasalahkan tes kesehatannya hanya gara-gara ia adalah seorang difabel netra. Bahkan seorang dari mereka mempertanyakan bagaimanakah seorang difabel netra sepertinya kelak dapat mengajarkan murid-muridnya dengan kondisi seperti itu. Ia pun disarankan untuk sebaiknya ia dipindahkan saja ke jurusan pendidikan luar biasa. Dan tentulah ia tidak ingin menyerah begitu saja dengan keadaan yang terjadi, ia berjuang dan tetap bersikeras pada pilihannya hingga akhirnya ia berhasil memasuki jurusan yang ia inginkan.
Ketika saya mendengar pengalaman dari kawanku tersebut, saya hanya dapat menggelengkan kepala atas sikap dan perilakuan yang sempat diterima oleh kawanku itu. Saya berpikir patutkah seorang pengajar yang bahkan katanya mengajar di jurusan pendidikan kewarganegaraan bersikap dan berperilaku demikian? Apakah sesungguhnya ia benar-benar mengerti dan memahami akan pelajaran yang ia ajarkan kepada siswa-siswanya? Ataukah ia hanya sekedar mengajari berteorika saja tanpa ada praktek nyata dalam kehidupan sehari?
Inilah fakta yang hampir sebagian terjadi di belahan bumi Indonesia ini. Sekali lagi saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan besar yang kerap muncul dalam benakku, “Di manakah sila kelima itu kini?” hokum dan keadilan yang terjadi di Indonesia kini tengah mengalami krisis. Lantas bagaimanakah kita menyikapi dan mengatasinya? Apakah kita perlu mengadakan advokasi besar-besaran dengan demo di jalan-jalan yang hanya dapat berujung kerusuhan ataukah kita perlu bersama-sama mendatangi setiap lembaga atau instansi bersangkutan, pemerintah, atau menghadap kepada Pak Presiden ? haruskah kita selalu mengingatkan sila kelima itu kepada mereka-mereka itu? Indonesia telah lama merdeka namun kini nyatanya sebagian para difabel yang ada di Indonesia ini masih terjajah oleh sikap dan perilaku dari penjajahan sesama antarrakyat Indonesia. Apakah sebaiknya setiap daerah perlu mengadakan pengenalan sosial terhadap para difabel dan kembali mengajarkan kepada mereka mengenai sila kelima dari pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang di mana kini sila itu sebagian telah terhapus dalam jiwa-jiwa mereka sebagai bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila. Dan dari sekian pertanyaan yang terlontar hanya ada sebuah jawaban singkat yakni kesadaran diri dari setiap pribadi rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Sebab dengan adanya kesadaran diri dari setiap pribadi rakyat, sila kelima itu akan kembali mewarnai negeri ini dengan sendirinya sehingga krisis keadilan dan hukum yang melanda bangsa ini akan teratasi dengan mudah.
Created by:
(Risya Rizky Nurul Qur’ani)
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia-5.1333332999999994 119.41666669999995-5.3863777999999991 119.09394319999996 -4.8802888 119.73939019999995tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-74356886816771123322013-07-21T08:21:00.000-07:002013-07-21T08:21:14.799-07:00jangan hentikan impianku, AyahAwan mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Langit menjadi kelabu. Di kamar yang berukuran kecil ini, aku duduk di atas ranjangku yang amat empuk, sangat jauh dari hatiku yang tidak lagi empuk untuk saat ini. Telah berkali-kali aku menghapus air bening di pipiku, namun percuma saja karena air bening itu terus saja muncul. Di kupingku, suara dan kata-kata Ayah terus saja terngiang.
“Kalau Ayah sudah bilang tidak, kamu tidak usah lagi mengulang permintaanmu! Ayah juga pernah kok ikut dalam sanggar itu, dan itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Kamu itu bukan tunanetra biasa tidak seperti teman-teman kamu yang lain. Selain penglihatanmu yang bermasalah, kamu juga mengidap tumor otak! Kalau kamu kecapean atau kamu banyak berpikir, hal itu mengundang resiko besar atas kesehatanmu. Kalau kamu sakit lagi, bukan hanya dirimu yang merasakannya, tetapi kamu juga akan merepotkan orang-orang sekelilingmu. Andaikan jika kamu sakit yang repot kamu saja, tapi sayangnya yang akan repot kita juga! Sudah beberapa kali Ayah beri kesempatan untukmu, tapi nyatanya hasilnya begitu saja, tidak ada satu pun yang tuntas! Semuanya putus di tengah jalan! Hanya rasa capek dan sakit yang kamu dapatkan ditambah lagi kamu telah banyak merepotkan kita,” hardik Ayah tanpa memikirkan perasaanku. Aku hanya dapat menangis dan berusaha mengobati perasaanku sendiri. Rasanya aku hamper saja menyerah dengan semua ini. Tekanan batinku pun makin dalam.
“Bagaimana seluruhnya dapat tuntas kalau Ayah sendiri berat hati dengan semua yang ingin aku awali, sekolah contohnya. Ketika aku meminta kepada Ayah untuk menyekolahkanku, sejak awal Ayah memang langsung menolak mentah-mentah permintaanku hingga akhirnya barulah aku dapat izin untuk bersekolah atas bujukan dari Ibu, itu pun Ayah selalu mengeluh karena jarak sekolahku yang terbilang jauh. Pokoknya semua yang kuingin lakukan, tidak pernah mendapat respon yang baik dari Ayah, maka dari itu pula hasilnya semua menjadi seperti itu. Ayah tidak pernah ikhlas dengan semuanya. Mungkin jangan-jangan Ayah juga belum ikhlas menerima keadaanku bahwa puterinya ini telah resmi menjadi seorang tunanetra. Mungkin di mulutnya Ayah bilang ikhlas namun tidak senada dengan isi irama di hatinya,” pikirku dalam hati. apakah aku salah kalau aku hanya ingin masuk ke sebuah sanggar untuk memperdalam dan mengasah bakat yang kumiliki? Bagiku rasanya ini tidak adil. Ya Tuhan, aku hanya ingin mewujudkan segala mimpi dan impianku walau kedua mata ini tinggal menjadi sebuah pajangan di wajahku. Aku dan para tunanetra sedunia juga berhak mewujudkan impian masing-masing sebab kesuksesan itu milik semuanya tak terkecuali kaum disibilitas, yang penting kita memiliki kemauan dan tekad kuat serta gigih dan tak pantang menyerah juga tidak takut untuk jatuh ataupun gagal.
***
Toktok.. terdengar katukan pintu yang berasal dari ruang tamu. Aku yang tengah sarapan bersama keluarga di hari minggu yang cerah ini rupanya sudah kedatangan tamu sepagi ini.
“Ran, coba lihat siapa tuh yang datang!”
“Ibu, Rani kan tidak bisa melihat! Ibu ada-ada aja, yah palingan Rani hanya dapat mengenali suaranya! Itu pun kalau Rani kenal,” ujarku sambil berlalu menuju ke ruang tamu.
“Assalamu alaikum…” sahut lelaki dibalik pintu.
“Wa’alaikum salam, siapa ya?” tanyaku penasaran, suaranya rasanya tidak asing lagi di kupingku. Dengan perlahan aku pun membukakan pintu untuknya.
“Eh, Nak Rani! Apa kabar? Tante dan Firdaus telah datang untukmu sesuai janji anak tante kepadamu,” kata wanita di hadapanku dengan lembut dan hangat yang tidak lain ibu yang telah mengandung Sang Pangeran hatiku. Rasanya hari ini aku sangat bahagia, tapi di sisi lain aku juga merasa takut dan cemas sebab kedatangan mereka ini bukanlah kedatangan mereka untuk pertama kalinya, tetapi sudah kedatangan mereka yang kedua kalinya. Bagaimana aku tidak merasa cemas?! aku takut Ayah dan Ibu akan kembali menolak pinangannya walaupun Ayah pernah berkata bahkan berjanji kepadaku bahwa jika memang Aku dan Firdaus berjodoh, Ayah tidak akan menghalanginya. Tetapi Ayah berkata seperti itu tetap di saat aku tengah sakit parah. Aku takut itu hanyalah sekedar janji palsu agar aku dapat sembuh dan dapat tersenyum kembali setelah kejadian penolakan lamaran Firdaus yang untuk pertama kalinya yang seketika membuat jiwaku terguncang hebat hingga mengundang tumor itu datang kembali.
“Ran! Kok diam? Melamun ya? Kamu tidak mau mempersilahkan kami masuk nih?!” suara Firdaus seketika membuyarkan pikiranku.
“Eh, maaf ya, ayo silahkan masuk. Tante hanya berdua? Yang lain mana? Kok tidak diajak sekalian ke sini?”
“Oh yang lain pada masih ada di Kalimantan termasuk Ayah Firdaus. Dia belum dapat cuti dari perusahaan tempat dia bekerja. Oh ya, Ayah dan Ibu kamu mana? Kami ingin bicara,”
“Ran, siapa yang datang?” Ayah dan Ibu tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami.
“Assalamu alaikum, Pak, Bu! Maaf kami telah mengganggu pagi-pagi begini,”
“Oh tidak masalah kok, Bu! Oh ya, kalau boleh tau ada maksud apa Ibu dan Nak Firdaus berkunjung ke rumah ini?” Tanya Ayah tanpa basa-basi.
“Baiklah Pak, Bu, maksud kedatangan kami ini yaitu tidak lain untuk meminang puteri Ibu dan Bapak untuk anak saya Firdaus. Saya berharap Ibu dan Bapak sudi untuk menerima pinangan kami ini,” jawab Bu Anwar langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Sejenak suasana di ruang tamu itu menjadi dingin dan membeku. Beberapa menit kemudian, Ayah pun angkat suara dan mencairkan kebekuan suasana itu.
“Maaf sebelumnya, bukannya kami ingin menolak niat baik Ibu untuk meminang puteri kami, tetapi kami ragu dan takut kalau anak Ibu bisa saja tidak dapat menghidupi ataupun menafkahi puteri saya juga anak-anak mereka kelak apalagi mereka sama-sama tidak dapat melihat ditambah lagi pekerjaan anak Ibu belum jelas dan kalau tidak salah anak Ibu hanyalah berprofesi sebagai pemijat saja bukan?! Selain itu, puteri saya ini walaupun tidak dapat melihat, ada beberapa lelaki yang hendak meminangnya dan Alhamdulillah diantara mereka banyak yang telah memiliki usaha dan pekerjaan tetap, berpendidikan tinggi dan juga shaleh. Kami ingin puteri kami dapat bersuamikan lelaki yang dapat melihat agar ia dapat dibimbing dengan baik. Dan sebaiknya anak Ibu juga dinikahkan saja juga kepada wanita yang dapat melihat agar ia bisa dibimbing dan dibantu oleh isterinya kelak,” terang Ayah panjang lebar.
“Oh begitu ya, Pak! Baiklah kalau seperti itu menurut Bapak dan Ibu demikian. Kami tidak dapat memaksakan kehendak kami,”
“Tunggu dulu Ayah! Bukankah Ayah pernah berjanji kepada Rani bahwa Ayah tidak akan menghalangi kami apabila kami ini memang sejodoh! Kalau Ayah kembali menolak pinangan Firdaus, itu sama saja Ayah telah menghalanginya. Rani tau Ayah dan Ibu memang tidak suka dengan Firdaus karena kami sempat berpacaran setahun, itu adalah kekhilafan kami berdua sebagai manusia yang tidak pernah luput dari lupa dan salah, tetapi yang penting kami telah telah bertaubat kembali ke jalan yang lurus dan menyadari bahwa pacaran itu haram di dalam islam. Dan bukankah Allah itu Maha Pengampun, dan seperti kata-kata yang selalu Ibu ucapkan bahwa ketika kita tengah bersalah tantunya kita juga butuh untuk dimaafkan. Oh ya ada satu hal yang harus Ayah dan Ibu ketahui, Firdaus itu juga dapat sukses seperti lelaki yang lain pada umumnya sebagaimana lelaki pilihan yang menurut Ayah dan Ibu itu terbaik buat Rani. Mereka itu dapat sukses seperti saat ini karena kebetulan mereka beruntung memiliki harta yang berkecukupan sehingga mereka dapat disekolahkan ke jenjang yang tertinggi hingga mereka dapat memiliki pekerjaan yang bagus ataupun mereka juga dapat mengembangkan usaha yang didirikannya juga berkat tunjangan modal yang cukup dari orang tua mereka. Sedangkan Firdaus, dia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang berekonomi pas-pasan tetapi ia sangat sabar menjalani kehidupannya sehingga dalam usianya yang masih kecil tepatnya pada waktu kelas 4 SD, ia memilih untuk memutuskan sekolahnya di tengah jalan walau sesungguhnya ia sangat bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Sebagai anak ia sangat tau diri dan ia tak ingin menyusahkan orangtua. Ia pun bekerja di beberapa tooko dan yang paling penting baginya ialah pekerjaanya itu halal dan ia tidak mengemis-ngemis pada siapa pun. Dan hingga akhirnya di usia yang menginjak remaja, ia terpaksa kehilangan pekerjaan sekaligus penglihatannya yang seketika membuatnya sangat terpukul tetapi ia tetap bersabar yang hingga akhirnya ia dimasukkan ke dalam SLB gratis. Di sana, sambil bersekolah ia juga bekerja sebagai pemijat tetapi kini ia juga tengah sibuk berjualan ditambah lagi ia juga seorang atlet. Dan ia berencana untuk membuka panti pijat sendiri sambil ia berkuliah nanti mengambil ekstensi. Aku dan Firdaus ingin membangun semuanya dari nol hingga nantinya sukses bersama-sama. Dan aku sendiri ingin mengasah bakatku dan mengembangkan organisasi yang tengah kurintis saat ini yang insya Allah akan sukses. Jadi saya mohon, jangan hentikan segala impian Rani, aku mohon! Dan mengapa juga Ayah dan Ibu harus takut bila aku hidup bersama Firdaus? Bukankah Ayah dan Ibu tentunya sudah tau bahwa Tuhan telah mengatur dan menjamin rezeki seorang hambanya sejak ia dilahirkan hingga hamba itu meninggal?! Rezeki itu memang mesti kita jemput dengan usaha kita, dan saya tau dan sangat mengenali Firdaus sebagai seorang lelaki yang pekerja keras dan tidak suka bermalas-malasan,” mataku mulai berkaca-kaca hingga akhirnya menitikkan air bening di pipiku. Setelah sekian menit berbincang-bincang dari hati ke hati, keputusan Ayah dan Ibu tetap sama, keduanya tetap bertahan dan bersikeras hati pada pendapatnya. Dengan hati yang kecewa, Firdaus dan Ibunya akhirnya pamit untuk pulang. Aku sendiri beranjak masuk ke kamarku dan menangis sejadi-jadinya.
***
‘Dan biar cintamu… menari di hatiku.. dan menjelajahi ruang-ruang di hatiku..” terdengar nada handphoneku yang mengisyaratkan adanya sebuah panggilan masuk. Aku yang tengah tertidur seketika terbangun dan buru-buru menerima panggilan masuk di handphoneku.
“Assalamu alaikum, Ran! Ada info bagus buat kamu!” sahut seseorang di ujung telpon.
“Maaf kamu siapa ya?” tanyaku tidak dapat mengenali suara di ujung telpon itu.
“Ya ampun! Kok kamu tidak dapat mengenali suara aku sih! Baru bangun ya?! Ini aku Luthfi,”
“Oh Lutfhi ya! Sorry, iya nih aku baru bangun setelah menghabiskan sekian jam untuk menangis yang hingga akhirnya aku tertidur. Memangnya sekarang sudah jam berapa?”
“Sudah jam delapan malam Nona Rani! Hebat banget ya tidurnya!” goda Luthfi sambil cekikikan.
“Hus..! sudah, kata kamu ada info yang bagus untukku, kalau boleh tau info apaan ya?”
“Aku kan tau kalau kamu itu sangat cinta pada hal-hal yang berkaitan dengan sastra, sains apalagi kedokteran! Tapi kali ini infonya berhubungan bukan berkaitan dengan sastra, tulisan ataupun penulisan dan semacamnyalah, tetapi ini info mengenai kedokteran! Sejak kecil kamu kan sangat ingin menjadi seorang dokter tetapi kini impianmu itu terbatasi oleh ketunanetraanmu bukan?!”
“Iya..iya.. terus.. ayo lanjut!”
“Aku baru saja habis berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa kedokteran dari universitas ternama di kota kita ini. Waktu aku ditanya-tanya oleh mereka mengenai cita-cita aku, aku menjawab bahwa aku ingin menjadi psikolog maka itu tahun depan aku ingin menembak jurusan psikolog pada SMPTN nanti. Terus mereka bilang mengapa aku tidak menembak jurusan kedokteran saja, yah aku jawab seadanya bahwa aku kan seorang tunanetra dan rasanya akan sulit bahkan sangat mustahil untuk dimasuki oleh kaum tunanetra seperti kita ini. Terus mereka berkata lagi bahwa sebenarnya hal itu sangat tidak mustahil untuk kita gapai sebab di Amerika sana, terdapat beberapa dokter yang merupakan seorang tunanetra. Walaupun mereka itu bukanlah seorang dokter spesialis, tetapi setidaknya mereka dapat menjadi dokter umum ataupun menjadi dokter di laboraturium,”
“Hah?!! Masak sih?! Kok bisa? Bagaimana caranya? Semua alat-alat yang meski para dokter gunakan itu kan membutuhkan penglihatan!”
“Nah itu hebatnya! Di sana, seluruh alat-alat yang mereka gunakan itu dapat berbicara layaknya handphone ataupun laptop yang kita sering gunakan sehari-hari.,”
“Wah hebat banget ya! Tetapi bukankah di negeri kita ini Indonesia belum secanggih itu!?!”
“Nah itulah yang disayangkan oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran itu. Tetapi kalau kamu memang ingin mewujudkan impianmu, terpaksa kamu mesti ke Amerika! Hehehe…”
“Ah percuma saja! Hal itu tetap mustahil buatku. Selain aku itu masih kelas 2 SMA, ruang gerakku sangat dibatasi oelah orangtuaku. Aku saja yang ingin masuk ke dalam sebuah sanggar yang terletak lumayan jauh dari tempat tinggalku ini pun Ayah ku menolak mentah-mentah permintaanku itu, padahal tempatnya masih berada dalam kota ini! Apalagi ke Amerika?!! Yah aku sangat yakin Ayah dan Ibu tidak akan pernah setuju! Kecuali…,”
“Kecuali apa?”
“Yaa.. kecuali aku kaburlah!”
“Ugh, dasar kamu! Oh ya, sudahan dulu ya, aku belum shalat isya nih! Memangnya kamu tidak shalat ya, Ran?”
“Tidak, aku lagi berhalangan nih. Kedatangan tamu bulanan! Okey gih shalat sana!” telpon pun terputus. Kembali aku terdiam, perasaan sedih itu pun kembali hadir dan merasuk ke sukmaku. Namun seketika info yang baru saja aku dapatkan dari Luthfi, impianku untuk menjadi seorang dokter itu yang telah sekian lama kupendam dan kukubur dalam-dalam di hati dan pikiranku sekarang kembali timbul bahkan menyala-nyala di dadaku. Aku pun berpikir sebaiknya aku harus pergi dan meninggalkan rumah dan kota ini mumpun aku masih memiliki sejumlah tabungan. Aku harus berhasil meraih segala impianku.
“Maafkan Rani, Ayah, Ibu.. Rani harus pergi. Rani tidak ingin lagi merepotkan kalian, Rani tidak ingin menjadi yang sesuai kata-kata Ayah selama ini bahwa aku telah banyak merepotkan dan menjengkelkan kalian. Rani memang sebaiknya harus pergi. Dan di suatu saat nanti, Rani akan menunjukkan kepada Ayah dan Ibu bahwa Rani dapat sukses seperti mereka yang normal. Salam kasih dan saying selalu buat Ayah dan Ibu,” suara Ibu seketika bergetar setelah membaca surat itu. Seketika sekujur tubuh menjadi lemas hingga akhirnya Ibu pun jatuh pingsan.
“Ibu sudah sadar. Kurang ajar sekali anak itu! Anak itu taunya hanya menyusahkan orangtua saja!,” Ayah memaki.
“Sudahlah Ayah, kita ini memang terlalu keras dan menekan Rani. Untuk sementara sebaiknya kita berdoa saja semoga Rani baik-saja di luar sana. Hanya Allah-lah yang mampu menjaga dan melindungi Rani,”
***
Di bandara Soekarna Hatta, aku baru saja turun dari pesawat yang membawaku hingga ke tempat ini.
“Mari saya bantu, Mbak!” seorang pramugari menawarkan bantuan kepadku untuk membimbingku.
“Terima kasih ya, Mbak pramugari. Oh ya, mbak ini yang membawa makanan untuk para penumpang kan?” kataku seraya tersenyum manis kepadanya.
“Iya, kok tau sih? Mbak mengenali suara saya ya?! Oh ya, mbak mau ke mana? Biar aku bantu untuk mencari taxi untuk mbak,”
“Iya terima kasih, tapi sebaiknya tidak usah mbak, aku pengen hubungin salah seorang teman saya di kota Jakarta ini untuk menjemputku di sini sebab rencananya aku ingin menginap di rumahnya untuk sementara waktu.
“Kalau begitu, saya temanin mbak ya sampai teman mbak datang. Saya hanya khawatir mbak cumin sendirian di sini,”
“Mbak sangat baik. Terima kasih banyak, semoga Tuhan membalas kebaikan mbak,” kataku lalu memanggil handphone yang ada di sakuku.
“Halo Mbak Mar, ini Rani. Sekarang Rani lagi ada di bandara nih, mbak bisa jemput Rani tidak? Rencananya Rani pengen menginap di rumah mbak untuk sementara waktu aja. Apakah mbak keberatan?”
“Oh tentunya, Ran! Dengan senang hati aku akan menjemputmu dan memperbolehkanmu untuk menginap di rumahku. Tunggu ya, aku siap-siap dulu untuk menjemputmu!” Mbak Maria pun menutup telponnya. Aku kembali berbincang-bincang dengan pramugari yang baik hati itu. Kami juga berfoto dan saling menukarkan nomor handphone masing-masing. Setengah jam kemudian, Mbak Mariah telah datang menjemputku. Aku pun berpamitan kepada pramugari itu.
“Sorry ya aku telah membuatmu lama menunggu. Wah nampaknya kamu sangat akrab ya dengan sang pramugari itu,” kata Mbak Maria membuka percakapan di dalam taxi yang kami tumpangi.
“Wah itu mah no problem mbak! Semuanya sudah tau persis keadaan jalanan di kota Jakarta ini yang terkenal dengan super macetnya. Hahaha… dan seharusnya aku yang minta maaf karena sudah repotin mbak! Aku jadi sungkan,”
“Tidak perlu sungkan, Ran! Anggap saja mbak ini adalah mbak kandungmu sendiri. Oh ya, kamu pengen buat apa jauh-jauh ke kota ini? Ada perlu?” Tanya Mbak Maria penasaran. Akhirnya aku menceritakan kronologi dan sebab mengapa aku terpaksa ke kota itu. Mbak Maria mendengarka ceritaku dengan hikmat.
“Mbak, sudah sampai,” tegur sang supir taxi.
“Oh sudah sampai rupanya! Tidak terasa ya, kita keasyikan ngobrol sih. Maaf yam as supir,” kata mbak Maria dengan ramah.
***
Telah seminggu aku tinggal di rumah mbak Maria, dalam kurun waktu itu pula segala urusanku pun telah kelar. Aku dan mbak Maria berhasil mengurus surat kepindahanku dari sekolahku yang lama yang hamper setahun aku tidak masuk sekolah akibat sakit yang kuderita. Tidak pernah kusangka dan kubayangkan kalau akhirnya aku dapat kembali bersekolah apalagi bayangan pindah ke sola yang baru dan mesti bersekolah tanpa biaya dari sedikit pun dari orangtua, tetapi aku tidak khawatir sedikit pun sebab aku telah diterima sebagai contributor alias penulis bebas di salah satu perusahaan majalah ternama di kota ini. Dan gajinya pun lumayan untuk membiayai sekolah dan kebutuhanku sehari-hari. Sekarang aku tidak lagi tinggal bersama mbak Maria melainkan kini aku telah tinggal di salah satu rumah kost-kostan yang terletak tidak jauh dari rumah mbak Maria.
***
Hari-hariku pun aku lalui dengan penuh perjuangan. Meski aku sangat sibuk dengan urusan pekerjaan dan sekolahku, aku tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim. Selain itu, organisasi yang telah kurintis tetap berjalan baik dan lancer. Aku pun juga sangat bersyukur sebab aku berhasil diterima masuk ke dalam kelas sains yang ada di sekolahku walaupun aku sejujurnya agak kesulitan, tetapi setiap membayangkan impianku itu terwujud, rasa sulit dan lelah yang kurasakan lenyap seketika.
***
8 tahun kemudian.. aku baru saja menyelesaikan tugasku di laboraturium. Terdengar seorang lelaki tengah memanggilku.
“Dr. Rani!! Ada seorang pasien tengah mencarimu!” teriak lelaki itu. Aku pun sangat terkejut sebab lelaki itu menggunakan bahasa Indonesia saat memanggilku.
“Lama tidak jumpa anda, Dr. Rani! Aku adalah seorang pasienmu yang telah bertahun-tahun engkau tinggalkan. Wahai dokter cintaku, sembuhkanlah diriku ini dengan menerima lamaranku untuk ketiga kalinya. Please…!” kata lelaki itu sambil menyerahkan setangkai mawar putih kepadaku.
“Firdaus! Benarkah kamu adalah Firdaus?!” tanyaku tak percaya.
“Tepat sekali! Aku Firdaus, sang pangeran hatimu sekaligus pasienmu yang sekian tahun meninggalkanku,”
“Subhanallah!! Allah memang Maha Kuasa. Akhirnya Dia kembali mempertemukan kita walau itu di kota Washington ini. Aku sangat terharu dengan kejutan ini. Dan sekarang aku akan menerima lamaranmu walaupun aku sedih karena Ayah dan Ibu tidak ada di sini menyaksikan saat-saat bahagiaku ini,”
“Apakah kamu tidak ingin bertanya kepadaku mengenai profesiku saat ini?”
“Mau kok! Memangnya sekarang kamu berprofesi menjadi apa?”
“Alhamdulillah, aku sudah menjadi dosen di salah satu universitas ternama di Jerman dalam bidang hubungan internasional,”
“Syukurlah kalau begitu, aku turut senang. Kalau begitu, sebaiknya kita segera mengurus pernikahan kita sebelum semuanhya terlambat,”
“Maksud apa? Apa tidak sebaiknya kita pulang ke Indonesia dulu dan menikah di sana dan tentunya kamu harus meminta restu orangtua kamu dulu?!”
“Aku takut mereka kembali menolak lamaranmu walaupun mungkin kamu itu telah sukses seperti ini. Aku sangat trauma dengan semua ini! Mungkin aku hanya dapat mengirimkan pesan kepada mereka bahwa kita akan menikah. Oh ya, bagaimana dengan orangtua kamu sendiri? Apakah dia tau mengenai hal ini?”
“Tentu, sebelum aku ke sini aku menyempatkan pulang ke Indonesia meminta doa dan restu dari keduanya. Kamu kan sudah tau bahwa orangtua aku tidak pernah menghalangi anak-anaknya yang ingin menikah dengan pilihannya sendiri selama calonnya itu orang yang baik,”
“Yah.. andai saja orangtuaku juga seperti itu, tapi sudahlah. Sekarang kita harus menyelesaikan urusan pernikahan kita ini,”
“Okay, dengan senang hati tentunya!”
***
Toktok… terdengar suara pintu diketuk. Bu Syaid yang merupakan ibu Rani bergegas membuka pintu.
“Assalamualaikum Bu!”
“Nak Firdaus! Tunggu dulu, anak kecil yang bersamamu itu anak kamu dan Rani?!”
“Iya, Bu, ini anak saya dan Rani,”
“Oh cucuku… kamu sangat ucu dan tampan saying.. wajahmu perpaduan wajah Ayah dan Ibumu. Lihat matamu, matamu sama dengan mata Ibumu. Nak Firdaus, mana Rani? Ibu sangat rindu padanya,”
“Maafkan aku, Bu.. saya tidak menyampaikan sebelumnya kepada Ibu bahwa Rani telah tiada di dunia ini. Sebelum kami menikah pun, Rani merahasiakan kepadaku bahwa tumor otaknya telah memasuki stadium akhir. Semangat besar yang ia miliki itu mampu membuatnya dapat bertahan melalui masa-masa sakitnya selama 3 tahun. Bahkan Rani tidak pernah Nampak sakit ataupun mengeluh, ia selalu ceria menjalani hari-hari bersamaku. Aku baru tau bahwa ia tengah kembali diserang oleh tumor itu ketika aku mendapatinya tergeletak pingsan di kamar mandi yang segera kularikan ke umah sakit terdekat Setelah memeriksa ecara detail kondisi Rani, dokter pun menyampaikan kepadaku bahwa umur Rani tinggal menghitung hari,”
“Jadi Rani meninggal di rumah sakit itu?”
“Iya, Bu. Setelah seminggu ia koma, pada saat yang bersamaan aku baru aja selesai mengerjakan shalat lail dan berdoa untuk kesembuhan Rani dengan curahan air mataku sebagai saksi bisu, tiba-tiba Rani bangun dari komanya dan memanggil namaku. Aku sangat bersyukur dan segera menghampirinya lalu mengecup keningnya. Kemudian ia menggenggam erat tanganku lalu berkata bahwa ia ingin tidur di pangkuanku. Aku pun elakukan sesuai permintaanya itu dengan hati-hati sebab alat-alat yang terpasang pada tubuhnya cukup banyak. Setelah itu, ia berbisik kepadaku agar aku membimbingnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum ia akan benar-benar tidur untuk selamanya. Dan Alhamdulillah, ia berhasil mengucapkannya denganfasih dan mudah,”
“Rani…” lirih Ayah Rani yang rupanya mendengar percakapan mereka sejak awal.
“Ayah.. puteri kita telah tiada..,” jerit pilu membahana di rumah itu.
“Oh ya, ini ada kejutan buat Ayah dan Ibu yang telah lama Rani siapkan dari jauh hari,” kata Firdaus seraya menyerahkan sabuah map dan sebuah amplp kepada kedua orangtua Rani.
“Apa ini, Nak?”
“Itu adalah sertifikat rumah, Rani telah membeli sebuah rumah mewah di Washington buat Ayah dan Ibu. Dan yang satunya lagi itu adalah surat undangan untuk Ayah dan Ibu untuknaik haji di tahun ini, Rani juga telah mendaftarkan nam Ayah dan Ibu sebagai calon jamaah haji untuk tahun ini. Selamat ya buat Ayah dan Ibu!” Firdaus mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan kepada keduanya dengan mata yang basah. Seketika Firdaus dirangkul erat oleh keduanya sambil mengucapkan maaf sebesarnya. Tak lama kemudian, terdengar suara benda berat dan besar baru saja terjatuh di dekatnya. Firdaus pun makin terperanjat mendengar teriakan Syafi anaknya.
“Grandma…!!”
“Ibu..!! bangun Ibu!! Ibu.. Iibuu..!!””
###
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-54341923914929733542013-02-28T21:44:00.000-08:002013-08-21T01:39:06.897-07:00Peran Pancasila dalam menyikapi arus globalisasi<a href="http://www.pusakaindonesia.org/" target="_blank"><img align="left" alt="lomba blog pusaka indonesia 2013" border="0" height="300" src="http://www.pusakaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/02/lomba_blog_pusakaid.jpg" width="300" /></a><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Beberapa
hari yang lalu ketika saya jalan-jalan ke facebook, perhatian saya tersita oleh
sebuah informasi lomba blog yang diadakan oleh kerjasama antar Yayasan Pusaka ndonesia
dan Penerbit Dapur Buku yang bertema 'Penguatan identitas bangsa dalam komunitas
global dan multikultural'.. Membaca tema lomba tersebut, dengan kening
berkerut, saya berpikir bahwa tema ini gampang-gampang susah. Saya mengatakan
demikian sebab rutinitas yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tentu
bahkan hampir sebagian sangat berkaitan yang mau tidak mau mesti menggunakan
campur tangan informasi teknologi dan sosial media. Tanpa kita sadari, kita
telah candu akan hal tersebut alias tak bisa lepas dari kehidupan kita
sehari-hari yang penggunanya itu baik dari kalangan anak-anak, remaja hingga
dewasa. Namun sayangnya hanya sedikit yang mau ikut merenungkan dampak-dampak
positif ataupun negatif dari hal tersebut. Sehingga saya sangat berterima kasih
dan mengacungkan seratus jempol buat Yayasan Pusaka Indonesia dan Penerbit
Dapur Buku yang telah mengajak saya dan yang lain untuk sejenak merenung akan
hal tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sesuai
pernyataan dan pertanyaan yang telah dikemukakan oleh lomba ini bahwa Arus
globalisasi di era teknologi informasi dan social media seperti saat ini, tentu
tak terbendung lagi. Berbagai macam budaya dan gaya hidup mewarnai dan
mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Sebagai sebuah bangsa yang punya
identitas unik, bagimanakah posisi kita di tengah arus globalisasi? Bagaimana
peran pancasila dalam menguatkan identitas bangsa kita, di tengah kepungan
komunitas global &berbagai macam budaya tersebut. Sungguh dua pertanyaan
yang saling berkaitan antara satu yang lain, begitu pun dengan jawaban-jawaban
dari kedua pertanyaan itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Untuk
pertanyaan yang pertama, saya akan menjawab dan mengatakan bahwa posisi kita
saat ini tengah berada dalam bahaya. Budaya-budaya dari luar yang masuk ke
dalam negri kita telah perlahan namun pasti mengubah bahkan menghancurkan
budaya, gaya hidup, dan pola hidup yang kita miliki. Tetapi Satu hal yang harus
kita ketahui bahwa hal itu dapat kita antisipasi jika kita memiliki filter dan
kepribadian yang kuat. Jika kita ini memang mengaku dan tahu diri bahwa kita
adalah bangsa Indonesia, kita wajib menanamkan dan mempertahankan ideologi pancasila
dalam jiwa<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan kehidupan kita
sehari-hari dimana pun kapan pun termasuk dalam arus globalisasi saat ini.
Informasi teknologi dan sosial media telah menyuguhkan kepada kita beraneka
ragam budaya, gaya hidup dan pola pikir yang berbeda-beda. Kita perlu
berhati-hati akan suguhan-suguhan tersebut sebab hal itu sangat berpengaruh
pada pribadi bangsa kita yang menjujung tinggi budaya timur bukannya
terbawa-bawa arus masuk dalam budaya barat yang cendrung berideologi liberal,
kapitalis, dan komunis. Salah satu contoh adanya pengakuan dan lampu hijau akan
hubungan seks bebas dan homo seksual dan sebagainya yang sungguh sangat
bertolak belakang oleh nilai-nilai agama dan luhur bangsa kita.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Bahkan parahnya mereka membentuk komunitas
dan mereka tak akan segan -segan melakukan perlawanan dan pembelaan mati-matian
kepada para yang kontra. Maka dari itu, kita perlu pintar memilah-milah suguhan
buat kita.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Selanjutnya
untuk pertanyaan yang kedua, saya akan menjawab sekaligus sedikit menjelaskan
akan peran pancasila dalam masalah ini. Dalam hal ini, tentu pancasila memiliki
peran yang amat besar dan kuat untuk meyikapi dengan bijaksana. Namun sebelum
membahas lebih lanjut akan hal ini, sebaiknya kita perlu terlebih dahulu
memahami makna dan tujuan sebenarnya dari pancasila. Siapa sih<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang tidak tahu dengan pancasila?! tentu kita
semua telah tahu bahkan hapal mati sejak kita sekolah dasar<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tentang kelima sila itu, tapi sayangnya
ironis masih sedikit yang memahami makna sejati dari kelima sila itu atau ada
juga yang memahami makna itu tetapi belum mampu untuk mengaplikasikannya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Jadi peran pancasila sebagai ideologi ataupun
falsafah bangsa Indonesia, tentu menjadi pegangan kuat yang fungdamental dalam
menyikapi serangan-serangan dari budaya luar bangsa kita. Seperti yang saya
katakan sebelumnya, sekali lagi, kita harus pintar memilah-milah suguhan
mengenai budaya luar beserta gaya hidup dan pola pikir yang mungkin berbeda
dengan ideologi dan nilai-nilai<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dari
pancasila. Panccasila juga akan berperan aktif yang akan menjadi tolak ukur
dalam menerima budaya-budaya luar beserta gaya hidup dan pola pikir yang ada.
Pantas dan sesuaikah dengan nilai-nilai pancasila sehingga kita dapat menerima
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari! Kalau pun ada budaya,
gaya hidup, dan pola pikir dari luar bangsa kita namun bernilai positif &
tak melenceng dari nilai-nilai pancasila? Kenapa tidak!! Tentu kita dapat
menerimanya dengan baik, begitu pun sebaliknya. Saya akan memberi contoh terkait
yang berhubungan dari setiap sila, yaitu:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">1.
Ketuhanan yang Maha Esa</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Contoh
kasus yang ada yakni adanya penyesatan agama yang mempengaruhi dan mengajak
serta untuk melenceng dari agama yang telah kita anut masing-masing. Melalui
informasi teknologi dan sosial, serangan dari beberapa budaya luar kerap
menghasut kita untuk meninggalkan agama kita selama ini, bahkan mengajak kita
untuk menjadi pengikut aliran sesat, komunis ataupun pemuja setan, dan
sebagainya. Ironisnya banyak dari kita khususnya para pemuda menjadi korban
dimana sang idola yang mereka puja itu yang rata-rata artis barat rupanya tidak
bertuhan dan ada juga yang ikut menjadi pemuja setan. Mungkin tidak perlu saya
sebutkan namanya satu persatu. parahnya karena sang idola menganut paham tersebut,
tak jarang ada dari diantara kita mengikuti jejak sang idola tersebut. Idih
amit-amit! Jangan sampai kita masuk di dalamnya. Bukankah esa itu artinya
satu?! Jadi Tuhan itu cuman satu, tidak kurang tidak lebih.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Contoh
kasus, masihkah kita mengingat kejadian yang sangat menggeramkan kaum muslimin
dengan rencana pembakaran al-qur'an? Mengapa hanya al-qur'an yang ingin
dibakar? Mengapa dengan kitab-kitab yang lain? Sungguh tindakan tersebut amat
jauh dari sila kedua ini sebab kita ketahui bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila sangat menjunjung dan menghargai toleransi antar umat dan
bertata krama ataupun beradab yang merupakan identitas dan berciri khas bangsa
Indonesia. Sebagai budaya timur, kita sangat menjujung tinggi moral, etika dan
nilai-nilai luhur yang lainya. Peristiwa itu sempat menjadi topik hangat yang
dibahas oleh banyak kalangan yang disiarkan melalui media informasi teknologi
dan sosial media.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">3.
Persatuan Indonesia</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Contoh
kasus yaitu adanya propokator dari negri lain untuk mengadu domba dan memecah
belah antar umat yang ada di Indonesia. Mereka memiliki tujuan untuk merusak
persatuan bangsa kita. Peperangan yang terjadi di Irak maupun di Palestina
memang sih sebaiknya kita perlu mengirimkan bantuan kepada para korban, tetapi
tak seharusnya kita mesti ikut-ikutan membenci ataupun memerangi kaum umat di
Indonesia yang kebetulan menganut agama yang sama dengan kaum umat agama yang
telah menyiksa kaum muslim di Irak dan Palestina sebab kaum umat yang bersangutan
yang ada di Indonesia itu pun tidak tahu menahu asbab sebab terjadinya
peperangan itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Contoh
kasus, demokrasi yang ada di negri ini telah dicemar oleh budaya luar melalui
informasi teknologi dan sosial media. Tuding menuding dari setiap pihak tak
dapat dihindari padahal seharusnnya kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya
bersikap bijaksana dalam meyikapi perseteruan antar pihak yang satu dengan yang
lain seperti antar partai dan sebagainya, bukannya saling menjatuhkan ataupun
mengompori. Apakah kita tidak malu kepada bangsa lain yang memprhatikan laju
roda pemerintahan negri kita ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Contoh
kasus, perlakuan yang kurang adil bagi para tenaga kerja Indonesia, bahkan
kerap mereka mendapatkan kekerasan dari sang majikan. Ironisnya melalui media
informasi teknologi dan sosial, kita yang semestinya bersikap tegas akan kasus
tersebut dengan mengerahkan masyarakat untuk membantunya dalam bentuk
perhatian, moril, atau materi melalui media itu, rupanya sebagian dari diantara
kita memeladani sikap keji dari beberapa majikan mereka sehingga
pembantu-pembantu yang ada di Indonesia pun juga sama mendapat perlakuan yang tidak
manusiawi layaknya para TKI yang telah menjadi korban dari sang majikannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Maka
dari itu, di tengah arus globalisasi ini, kita mesti menunjukkan dan memperkuat
identitas bangsa kita dengan mengharumkan nama bangsa Indonesia. Untuk
mengharumkannya, tentu dengan menanamkan dan mengaplikasikan nilai-nilai dari
pancasila itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan memiliki pegangan yang
kuat, tentu budaya dari luar tak akan mudah menggoyahkan ataupun mempengaruhi
dan melunturkan budaya bangsa kita yang unik ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 24.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Semoga
tulisan saya mudah dicerna, saya pun telah sengaja memilih bahasa yang agak
ringan karena saya yakin tidak semua pembaca mudah paham akan bahasa yang
tinggi ataupun berat, apalagi pengomsumsi media informmasi teknologi dan media
sosial bukanlah hanya kalangan remaja ataupun dewasa, melainkan ada adik-adik
kita yang masih berusia sekolah dasar. Semoga bermanfaat untuk kehidupan bangsa
ini.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-39739964752799619232012-05-26T08:10:00.000-07:002013-08-21T01:35:40.717-07:00Duhai Peri Kecilku<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Juangkan hadirmu di dunia</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Buat raga ini nyaris
layangkan nyawa</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Namun pesona hadirmu telah
lukiskan senyum bahagia</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Melodi tangisan merdu
lenyapkan rasa luka</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Masa silih berganti dan terus
berlalu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kau tumbuh menjelma layaknya
sang peri kecil nan ayu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Curahkan air mata haru</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pandangi setiap gerikmu yang
lucu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Suatu masa tiba menyapa</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Memaksa kelamkan warna
pandangmu dalam perihnya sakit yang kau rasa</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Derita dan jerit tangis
menyesakkan dada</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ciptakan ruang lara</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sang dewa maut hadir
menjemputmu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tinggalkan duka serta
kenangan yang merasuk setiap kalbu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pecahkan air mata akan
kepergianmu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Namun kepergianmu telah hapuskan
segala nestapamu</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Created
by:</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Risya
Rizky Nurul Qur’ani</span></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-11221911727359350052012-05-26T00:03:00.001-07:002013-08-21T01:32:41.815-07:00Akhir dari Sebuah Perjuangan<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Langit di luar
sana nampak mendung. Awan kelabu turut menghiasi. sang surya seakan enggan
menampakkan sinarnya. Suara guntur yang menggelegar seolah mengisyaratkan
pertanda hujan akan turun. Tik tik..tik.. selang beberapa detik kemudian ,
hujan telah membasahi segalanya. Dalam lebatnya hujan, nampaklah seorang gadis bersama
tongkatnya yang tengah kebingungan mencari tempat untuk berteduh, seluruh
pakaian yang ia kenakan telah basah kuyup. Tubuhnya menggigil, ia menggigit bibirnya sendiri menahan dingin
yang menusuk.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku ingin pulang… tubuhku....” rintihnya. Brukk!!! Tubuh gadis itu
ambruk, ia kehilangan keseimbangannya hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beberapa jam kemudian, gadis itu telah sadar.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Di mana aku ini?” Tanya gadis itu seraya meraba di sekitarnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Dasar anak bodoh! Kamu bisanya hanya menyusahkan orang tua ya!”,
terdengar suara makian dari seorang wanita tua yang mungkin merupakan Ibu dari
gadis itu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ibu… kok Ibu ada di sini? Oh ya, Bu, sekarang Lia ada di mana?”
Tanya gadis itu yang ternyata bernama
Lia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Sekarang kamu ada di rumah sakit, untung saja ada tetangga dekat
rumah yang lihat kamu tengah pingsan di pinggir jalan. Malu-maluin aja kamu!
Apa kata tetangga nanti, mereka pasti bilang saya tidak becus mengurus kamu,”
jelas ibu itu disusul dengan sebuah tamparan yang mendarat langsung ke pipi
Lia. Lia meringis, air matanya pun bercucuran, namun ia hanya pasrah diperlakukan
seperti itu. Ibunya mengajaknya pulang dengan kasar menarik lengan Lia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“tunggu dulu, Bu… uang dan semua barang dagangan Lia ada di mana,
Bu? Lia ingin membawanya pulang,” Tanya Lia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Semua uang hasil daganganmu Ibu pakai untuk bayar biaya perawatanmu,
dan semua kripik daganganmu Ibu buang ke tong sampah, puas!” jawab ibunya. Lia
hanya menghela nafas panjang tanpa berkomentar sedikit pun. Akhirnya, mereka pun
meninggalkan tempat itu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setibanya di rumah, bukannya menyuruh Lia istirahat, malahan Lia
menerima sejuta makian yang bertubi-tubi dari ibu dan kakaknya. Kemudian ibunya
berkata pada Lia agar menghentikan dagangannya. Selain itu, ibunya juga berkata
bahwa ia malu memiliki anak cacat seperti Lia dan tak bisa membanggakan orang
tua tak seperti kakaknya yang telah hampir
berhasil menjadi seorang dokter. Bahkan parahnya, ibunya menceritakan bahwa
sewaktu kecil, ibunya hampir membuangnya ke tong sampah karena tak menginginkan
kehadirannya di dunia ini namun dicegah oleh ayahnya. Seketika Lia tersentak
bak disambar oleh petir di siang bolong, ia tak pernah menyangka ibunya akan
berkata demikian. Sejak insiden itu, Lia jarang lagi keluar dari kamarnya kecuali
untuk mengerjakan tugas-tugas rumahnya sebagai anak yang harus membantu orang
tua, dan tak ada secuil pun terbersit dalam hati dan pikirannya rasa benci kepada
mereka. Ia tetap menyayangi mereka dengan sepenuh hati.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Rasa sepi serta hampa telah menerpa kehidupan dan kesehariannya seolah
hidup sebatang kara di dunia ini. Tiada lagi canda tawa yang mewarnai hidupnya,
keceriaannya telah lenyap. Sepeninggal Ayahnya, Lia tak pernah lagi merasakan
hangatnya kasih sayang dari keluarga sebab cuman ayahnyalah orang di dunia ini yang
paling menyayanginya. Mengajari Lia untuk berjalan sendiri dengan menggunakan
sebuah tongkat dan membacakan sebuah buku cerita untuk Lia pada setiap malamnya
merupakan rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh ayahnya sewaktu masih
hidup. Semua kenangan itu masih tersimpan rapi dalam benaknya. Malam itu,
kenangan itu terus menari-nari dalam otaknya hingga akhirnya ia pun tertidur.
Dalam tidurnya, Lia bermimpi berada di
suatu tempat dan mendengar sebuah suara yang memanggil-manggil namanya, suara
yang tak asing lagi di kupingnya, suara itulah yang selalu ia cari dan ia
rindukan selama ini yang tak lain itu adalah suara ayahnya. Mereka pun bertemu
dan saling berangkulan disertai deraian air mata dari keduanya, namun tak lama
kemudian sekejap ayahnya menghilang dari dekapannya, Lia pun berteriak histeris
memanggil-manggil ayahnya seolah takut kehilangan ayahnya. Lia
pun terbangun dari mimpinya, namun ia menemukan bantalnya telah basah oleh air
matanya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Keesokan harinya, Bu Risa salah satu tetangganya mampir ke rumahnya
menginfokan kepada Lia tentang SLB gratis yang terletak tak jauh dari rumah
sanak keluarganya yang mungkin membutuhkan sekitar 10 jam untuk sampai ke
tempat itu. Ibunya yang kebetulan lewat, sangat senang dan sungguh berantusias
untuk memasukkan Lia ke SLB itu sebab pikirnya dengan tiadanya Lia di rumah ini
akan menghilangkan bebannya selama ini. Lia bahagia bercampur sedih sebab
impiannya untuk bersekolah telah tergapai namun ia harus tinggal jauh dari
ibunya. Lia tak pernah tahu tentang niat yang terselubung dibalik semua itu,
andai Lia tahu yang sebenarnya, tentulah hatinya makin terluka.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Esok harinya, dengan diantarkan oleh Bu Risa yang kebetulan ingin
berkunjung ke rumah sanak keluarganya, ia pun pamit kepada Ibu dan kakaknya
lalu berangkat meninggalkan keduanya yang nampak bahagia dengan kepergiaan Lia.
Sepanjang perjalanan, Lia tak henti-hentinya meneteskan air mata, perasaan haru
dan sedih berbaur tak menentu melanda hatinya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setiba di SLB itu, orang-orang di sana menyambut hangat kedatangan
Lia sebagai murid baru. Setelah berkenalan dengan semuanya, ia diajak untuk mengitari seluruh ruangan dan tempat
yang ada di SLB itu. Karena malam telah hampir tiba, Bu Risa pun pamit untuk
pulang dan tak lupa Lia mengucapkan banyak terima kasih pada Bu Risa.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seminggu kemudian, Lia telah dapat beradaptasi pada lingkungan sekitarnya.
Bahkan Lia telah dapat menguasai huruf-huruf Braille yang telah diajarkan
kepadanya, ia juga telah dapat menggunakan alat-alat elektronik seperti
computer dan telepon genggam yang telah diberi semacam alat bantu khusus untuk para
kaum tuna netra yaitu sebuah aplikasi yang telah diprogram untuk membacakan
tulisan-tulisan yang tertera pada layar kedua alat elektronik tersebut. Program
JAWS hanya diperuntukkan pada computer, sedangkan pada telepon genggam
menggunakan program Talks. Meski kedua program itu berbeda, namun keduanya
memiliki fungsi yang sama.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tanpa terasa Lia telah setahun menempuh pendidikan di SLB itu,
selama itu pula ia telah banyak mengukir prestasi dan mengharumkan nama SLB itu
di tengah masyarakat berkat menjuarai beberapa lomba menulis dan mengarang yang
diadakan di berbagai tempat. Hobi dan bakat menulis yang dimilikinya, telah
melahirkan beberapa tulisan-tulisan karyanya yang begitu indah untuk dibaca.
Lia adalah gadis cerdas yang memiliki daya tangkap yang kuat juga tekun dan
merupakan seorang pekerja keras. Maka tak heran lia bisa seperti saat ini. Lia mengirimkan
sebagian uang tunai hasil perlombaannya itu kepada ibu dan kakaknya dan sisanya
ia sisihkan untuk ditabung agar ia dapat membeli sebuah laptop berhubung
computer yang ada di SLB itu cuman satu sedangkan siswa yang ingin
menggunakannya sekitar 50 siswa. Meski uang harga laptop lumayan tinggi, namun
ia tetap berjuang untuk mendapatkan sebuah laptop sebab ia sangat membutuhkan
benda itu sebagai media untuknya menuangkan tulisan-tulisannya itu disbanding
ia harus menggunakan setumpuk kertas yang terkadang tulisannya tak dapat dibaca
lagi oleh beberapa faktor.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sebulan kemudian, tepatnya di hari Minggu yang cerah pada awal
bulan Agustus, Lia kedatangan Bu Risa yang membawa sesuatu untuknya yang
ternyata ialah sebuah laptop. Setelah menerima pemberian itu, Lia mematung, ia
menyangka dirinya tengah bermimpi. Namun setelah Bu Risa menepuk pundaknya,
barulah ia sadar bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi. Lia pun spontan
mengucapkan terima kasih seraya memeluk Bu Risa. “Suami Ibu telah membeli
sebuah laptop, daripada laptop itu hanya menganggur, Ibu pikir mending laptop
itu buat kamu yang hobi nulis,” ujarnya merendah. Setelah memberikan laptop itu
kepada Lia, Bu Risa pun segera pamit, ia nampak tergesa-gesa sebab ia telah
ditunggu oleh suaminya yang telah berkali-kali membunyikan klakson dari
mobilnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sejak ia memiliki sebuah laptop, dengan ditemani oleh sekawan
burung yang berkicau di atas pohon yang seolah bernyanyi untuknya, disertai
semilir angin yang membelai wajahnya, dan dikelilingi oleh bunga-bunga yang
bermekaran di sana-sini, Setiap saat jari-jemarinya seakan tak ingin berhenti bermain
di atas tuts laptop yang selalu setia menemaninya untuk menuliskan segala yang
bersumber dari berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari namun menarik baginya. Laptop
itulah yang akan menjadi saksi bisu atas perjuangan Lia selama ini untuk
menjadi seorang penulis sejati.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seiring waktu berjalan, hari
demi hari, bulan demi bulan, hingga tak terasa tahun pun silih berganti. Pada hari
ini, Lia tepat menginjak usia 17 tahun, usia yang manis bagi seorang gadis
seusianya. Para sahabatnya sepakat untuk menyiapkan sebuah kejutan untuknya. Seorang
temannya membawanya ke taman dan mendudukkannya pada sebuah kursi kayu. Meski
tak tahu apa-apa, ia hanya mengikut pada permainan temannya itu. Seketika sebuah
mahkota yang terbuat dari butiran manik-manik yang telah dirancang sedemikian
rupa telah terpasang manis di atas kepalanya, ia Nampak anggun dengan mahkota
itu. Lalu ia dikejutkan oleh suara rentetan terompet yang membahana dari segala
arah disertai sebuah lagu ulang tahun yang dinyanyikan serempak oleh seluruh
temannya. Seorang dari mereka membawa sebuah kue ulang tahun yang di atasnya
telah terpasang dua buah lilin sesuai usianya saat ini. Setelah meniup kedua api
lilin atas permintaan para temannya itu, Lia mengucapkan banyak terima kasih
atas pesta sederhana itu namun sangat berkesan dan berarti buatnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Malam hari pun tiba, sang bulan pun telah hadir di tengah-tengah
jutaan bintang yang saling beradu untuk memancarkan kilauan sinarnya. Seperti
biasanya, Lia tengah seriusnya mengerjakan tugas sekolahnya yang telah menumpuk,
Lalu dilanjutkan oleh kegiatan menulis yang sering ia lakukan setiap malamnya.
Uhuk..uhuk… Lia terbatuk, membuat dadanya terasa perih yang luar biasa hingga
tubuhnya pun ikut terguncang. Lia meredam suara batuknya dengan menutup
mulutnya dengan menggunakan salah satu tangannya agar suara batuknya itu tak
mengganggu teman kamarnya yang tengah asyik tidur. Uhuk…! Seketika dari
mulutnya memuncratkan cairan merah, cairan itu mengenai tangan dan tepi
bibirnya. Bu Rahma istri dari kepala asrama tak sengaja menemukan Lia dangan
tubuhnya yang nampak terguncang oleh batuknya. Wajahnya nampak pucat dan ia
mendadak demam, dan suhu tubuhnya meningkat melebihi suhu normal pada umumnya.
Ketika Bu Rahmah berniat untuk mengambil obat buat Lia, pandangannya tertuju
pada bercak-bercak darah yang telah mengotori lantai yang ada di sekitar tempat Lia duduk saat ini. Matanya
terbelalak seolah ia sangat terperanjat pada apa yang baru saja ia lihat tepat
di hadapannya. Seketika matanya pun tertuju pada Lia yang masih saja menutupi
mulutnya seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya. Bu Rahma memandang Lia
dengan seksama, nampak padanya tangan dan mulut Lia terbalur oleh tetesan
darah. Ia pun meminta penjelasan pada Lia mengenai hal tersebut, Lia hanya terdiam
tak tahu apa yang semestinya ia katakan pada Bu Rahma sebab ia pun tak mengerti
apa yang terjadi padanya saat ini. Karena Bu Rahma terus mendesaknya, terpaksa
Lia pun berbohong dengan mengatakan bahwa darah itu berasal dari gusi dan
bibirnya akibat terbentur pada dinding saat ia tengah berjalan tadi. Nampaknya Bu
Rahma agak ragu pada jawaban Lia, ia pun segera beranjak dari tempat itu untuk
mengambil sebutir obat dan segelas air putih untuk Lia meski dalam hatinya
masih menyisakan beberapa tanya. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Demikianlah hal itu sering terjadi berulang kali, selera makannya
pun telah lenyap, tubuh idealnya kini berubah drastis menjadi tubuh yang tipis
dan kurus, dan tak jarang ia selalu saja terjangkit oleh influenza yang hilang
timbul. Ia pun memutuskan untuk mencari tahu mengenai kondisinya yang makin
hari makin memburuk. Kini ia telah berada tepat di hadapan komputer milik
sekolahnya yang telah dihubungkan pada sebuah modem. Setelah sejam berkutat di
depan layar computer, akhirnya ia pun berhasil menemukan jawaban atas
pertanyaannya selama ini. Dengan hati miris, ia pun membaca kata demi kata yang
tertera pada layar computer tersebut. Ia berusaha mencerna tulisan pada artikel
itu dengan seksama. Kini ia pun tahu akan kondisinya saat ini yang ternyata ia
tengah mengidap sebuah penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Seusai
mematikan computer itu, ia pun beranjak dari tempat itu dan kembali ke
kamarnya. Di kamar, tulisan artikel tadi terus berputar-putar memenuhi ruang
otaknya seakan menghantuinya. Ia sangat menyesal akan pola hidup buruk yang ia
miliki dan seringnya begadang telah membuat dirinya terjangkit oleh penyakit
mematikan itu. Ia pun berniat untuk meninggalkan SLB itu sebab ia tak ingin
penyakitnya itu menular kepada orang di sekitarnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada esok harinya, ia pun telah siap beserta barang-barangnya yang
telah ia bereskan semalam untuk meninggalkan SLB itu dengan berat hati. Dengan
alasan ingin istirahat, ia pun pamit kepada para penghuni SLB itu yang nampak
begitu berat melepaskan kepergian Lia disertai air sungai yang deras mengalir
dari pelupuk mata mereka. Lia pun beranjak dari tempat itu dengan menumpangi
sebuah bus.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sekitar kurang lebih 10 jam kemudian, Lia pun telah tiba di muka
rumahnya dengan selamat. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, ia menemukan
rumahnya nampak sepi, ibu dan kakaknya pun tak ada di tempat sedangkan pintu
rumahnya sama sekali tak terkunci sehingga tadi ia dengan mudahnya menerobos
masuk ke dalam rumah tanpa menunggu ibu atau kakaknya untuk membukakan pintu,
ia pun berpikir bahwa mungkin ibunya lagi tengah berbelanja di kios Pak Jalil
yang tak jauh dari rumahnya itu. Saat Lia masuk ke kamarnya dan menuju ke
tempat tidurnya, betapa terkejutnya ia menemukan kamarnya telah disulap menjadi
sebuah gudang. Hatinya pun menangis sejadi-jadinya. Karena tempat itu dipenuhi
oleh debu, Lia spontan terbatuk seraya keluar dari gudang itu. Pada saat yang
bersamaan, ibu dan kakaknya telah datang, mereka sangat terperanjat akan
kehadiran Lia yang kini berada tepat di hadapan keduanya. Tiba-tiba pandangan mereka
mengarah pada lantai putih yang telah ternoda oleh tetesan-tetesan darah di
sekitar Lia berpijak saat ini. Seketika itu pun Lia diusir oleh kakaknya sebab kakaknya
yang merupakan seorang mahasiswa kedokteran dan tentunya ia tahu persis akan
penyakit Lia itu. Ibunya yang tak tahu menahu akan penyakit itu hanya terdiam
mendengar penjelasan dari kakak Lia bahwa Lia tengah mengidap penyakit
Tuberklosis atau disingkat dengan nama TBC yang dengan mudah menular pada orang
di sekelilingnya. Kakaknya pun menambahkan pada ibunya bahwa penyakit itu bisa
mematikan penderitanya. Setelah mengetahui hal itu, ibunya pun ikut mengusirnya
sebab ia takut tertular oleh penyakit
itu. Lia hanya tertunduk lesu disertai air sungai yang mengalir dari kedua
matanya.Dengan langkah gontai, Lia pun menyeretkan langkahnya meninggalkan keduanya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Di luar sana langit jingga telah memudar, yang kini tergantikan
oleh langit yang kelam namun nampak benderang sebab kilat yang
menyambar-nyambar. Percikan-percikan air dari langit seakan melukiskan
nestapanya serta hati yang menangis. Di tengah perjalanan, sebuah mobil dari
arah berlawanan melaju dengan kecepatan angin pada jalan yang ada di hadapan
Lia. Brakk…!! Lia terhempas ke pinggir jalan, darah segar mengucur dari seluruh
tubuhnya, barang-barannya pun berserakan di sekitarnya. Seorang pria dengan
menggunakan setelan jas hitam turun dari mobilnya, ia menghampiri Lia yang
terkapar tak berdaya. Pria itu pun mengangkat tubuh serta barang-barang Lia
menuju ke mobilnya. Pria itu pun memacu mobilnya dengan kecepatan kilat menuju
ke rumah sakit terdekat.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setibanya di sana, Lia pun segera ditindaki oleh dokter-dokter di rumah sakit itu, nampaknya ia mesti dioperasi malam
itu juga sebab ia mengalami pendarahan hebat dan kedua kakinya patah. Setelah
pria itu menandatangani surat persetujuan tindak operasi tersebut, Lia pun
dioperasi yang mungkin memakan waktu sekitar 4 jam. Sambil menunggu Lia yang tengah
dioperasi, ia menghidupkan laptop milik Lia berharap dapat menemukan data
identitas Lia. Sudah sejam ia mengutak-atik laptop itu, namun hasilnya nihil,
usahanya sia-sia belaka. Namun ia menemukan sebuah folder yang bernama aku dan
seluruh kenangan. Pria itu tercengang setelah membuka folder tersebut yang
ternyata di dalamnya berisi puluhan tulisan-tulisan karya Lia. Seketika
perhatiannya tertuju pada sebuah novel karya Lia yang berjudul My Life Story,
ia pun segera membacanya. Beberapa jam kemudian, operasi pun telah selesai, namun
Lia tengah mengalami koma. Setelah dipersilahkan oleh salah satu dokter, pria
itu pun masuk untuk melihat kondisi Lia yang sangat memprihatinkan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Telah sebulan Lia mengalami koma dan terbaring di rumah sakit,
belum juga ada tanda-tanda bahwa Lia akan sadar, namun pria itu tetap setia
menunggui Lia hingga akan sadar dari komanya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Bangunlah… aku menunggumu, kehadiranmu mengenalkanku pada cinta
dan ketulusan, aku menyayangimu meski aku tak mengenalmu” bisiknya dengan
lembut di kuping Lia. Seketika Lia terbangun dari komanya memecahkan keheningan
ruangan tersebut. pria itu bersujud tanda syukur pada Sang Pencipta.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kamu siapa?” Tanya Lia yang menyadari akan kehadiran seseorang
selain dirinya di ruangan tersebut. Pria itu pun memperkenalkan dirinya bahwa
ia bernama Firman, tak lupa ia juga meminta maaf atas kecelakaan yang menimpa
Lia tempo hari. Selain itu, Firman sempat memuji atas karya-karya Lia, dan ia
menawarkan pada Lia untuk menerbitkan seluruh karya Lia sebab kebetulan ia
adalah seorang penerbit. Lia tersenyum anggun, namun mendadak wajahnya berubah murung.
Melihat hal itu, Firman pun menangkap bahwa Lia tengah memiliki sebuah masalah,
ia pun menanyakan hal itu pada Lia dan menawarkan dirinya untuk menjadi pendengar
sejati atas masalah yang tengah Lia hadapi saat ini. Sejenak Lia tertunduk, ia
menitikkan air mata, ia pun menceritakan segala masalahnya. Setelah mendengar
cerita dari Lia, Firman turut larut seakan dapat merasakan kesedihan Lia. Sebenarnya
Firman telah mengetahui sebagian seluk-beluk kehidupan Lia dari novel My Life
Story karya Lia, tapi ia hanya mengira cerita nobel itu hanyalah sebuah fiktif
belaka. Kemudian mereka berdua pun terlibat dalam sebuah percakapan mengenai
kehidupan mereka masing-masing. Setelah mengakhiri percakapan, Firman pun
mengajak Lia untuk ikut bersamanya besok malam. Namun Lia menolak dengan alasan
tak enak hati dan takut akan gunjingan dari tetangga Firman sebab ia tahu dari
percakapan mereka tadi bahwa Firman
adalah orang terpandang di tengah warga sekitarnya apalagi orang tuanya
telah tiada sehingga ia hanya tinggal berdua bersama seorang pembantunya. Namun
Firman tetap bersikeras agar Lia bisa ikut bersamanya, ia menegaskan kepada Lia
bahwa ia bukanlah orang jahat dan ia juga mengatakan bahwa ia akan menyiapkan
sebuah kejutan buat Lia. Mendengar suara Firman yang memelas, Lia pun memilih
untuk menyerah dan mengalah pada Firman seraya berusaha turun dari ranjang
namun dicegah oleh Firman dengan mengatakan padanya bahwa ia tak bisa lagi
berjalan dengan kedua kakinya itu. Lia yang telah mengetahui hal itu, hanya
dapat menghela nafas panjang.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada esok harinya di rumah Firman, mereka disambut riuh dengan
hangat oleh seluruh rekan-rekan Firman beserta anak buahnya, Lia tak menyangka akan
hal itu sebab ia tak tahu apa-apa. Kemudian sejenak tiba-tiba seluruh orang
yang ada di rumah itu mendadak terdiam terkecuali Firman yang ingin
menyampaikan sesuatu kepada seluruh tamu, khususnya kepada Lia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Lia, selama aku menungguimu dalam komamu, selama itu pula aku
makin tak ingin jauh darimu, aku ingin selalu menemanimu dalam sedih dan
bahagiamu, hatimu sungguh cantik, dan aku telah mencintaimu dengan apa adanya,
apa pun yang terjadi padamu aku tak peduli, aku merelakan diriku untukmu. Di hari
berbahagia ini, di depan penghulu dan para saksi, maukah engkau menjadi pendamping
dunia serta akhiratku? Aku mohon, jangan katakan tidak padaku karena hatiku
akan terluka,” kata Firman dengan bersungguh-sungguh. Lia pun sesaat terdiam
yang kemudian mengiyakan pernyataan dari Firman seraya tersenyum manis pada
Firman. Seluruh orang yang hadir di tempat itu pun ikut terharu dan meneteskan
air mata bahagia. Keduanya pun menikah dengan mahar 100 gram emas beserta
seperangkat alat sholat, mereka pun sah menjadi sepasang suami istri. Ternyata
Firman telah merencanakan dan mempersiapkan semua itu hanya dalam sehari.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sang
waktu pun terus bergulir, tanpa terasa telah 2 tahun mereka arungi bahtera
rumah tangga bersama-sama dengan harmonis. Dengan sabar dan penuh tulus kasih
sayang, Firman merawat Lia sang belahan jiwanya, ia tak pernah merasa jijik
apalagi takut pada penyakit yang Lia miliki yang suatu saat bisa saja menular
padanya, ia tak menghiraukan hal itu. Kondisi Lia saat ini pun berangsur telah
membaik,. Namun seminggu belakangan ini, Lia merasakan ada sesuatu yang janggal,
ia merasa ada seseorang yang selalu mengikutinya ke mana dan di mana pun, namun
saat ia menanyakan hal itu kepada suami dan pembantunya, mereka hanya menjawab
bahwa tak ada seorang pun di rumah itu selain mereka bertiga dan mereka
meyakinkan pada Lia bahwa hal itu hanyalah perasaannya saja. Hingga tiba pada
suatu malam, sesuatu yang ia rasakan itu terjadi. Pada malam itu, Lia dan
Firman tengah asyik ngobrol membahas mengenai pameran buku yang akan diadakan
oleh Firman yang di dalamnya hanyalah khusus untuk buku-buku karya Lia yang
semuanya telah menjadi buku-buku terlaris di tengah publik saat ini. Karena
keasyikan ngobrol hingga larut malam, Firman pun terlelap di samping Lia yang
masih saja terjaga. Lia pun mengambil laptopnya yang ada tepat di atas sebuah
meja kecil di samping ranjangnya, ia pun melanjutkan tulisannya yang telah
hampir selesai, 2 jam kemudian novel itu pun telah selesai. Ketika Lia hendak
tidur, seketika suara hatinya berbicara seakan menuntunnya agar ia segera
mengambil air wudhu dan mendirikan sholat sebanyak dua raka’at. Ia pun
mengikuti suara hatinya itu, dengan bersusah-payah ia pun berusaha menggapai
kursi rodanya dan naik ke atasnya. Setelah mengambil air wudhu dari toilet yang
ada di dalam kamarnya, ia pun sholat duduk di atas kursi rodanya itu. Setelah
itu, ia pun kembali ke ranjangnya dan berbaring di atasnya. Sesosok gaib datang
menghampirinya dan menyampaikan sesuatu kepada Lia. Lia yang begitu terkejut
berusaha tenang, dengan lembut tanpa membangunkan suaminya itu, ia pun mengecup
kening sang suami tercinta disertai air mata yang menetes dari kedua matanya.
Kemudian ia mengambil telpon genggamnya itu dan menuliskan sebuah pesan yang
ditujukan kepada nomor suaminya itu. Ia pun kembali berbaring di tempatnya,
kedua tangannya ia tumpukkan di atas tubuhnya, dan dengan perlahan ia pun
memejamkan mata seraya mengukir sebuah senyum bahagia di bibirnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Terdengar
samar suara adzan dikumandangkan, Firman pun terbangun, ia memandang istrinya
yang masih terbaring di sampingnya. Ia heran tak biasanya Lia masih tertidur
jam segini, biasanya istrinyalah yang bangun terlebih dahulu untuk
membangunkannya sholat subuh. Ia pun menepuk lengan Lia, namun Lia tak
meresponnya, ia pun berpikir bahwa mungkin Lia sangat kecapaian, ia pun bangkit
untuk mengerjakan sholat subuh. Seusai sholat, ia mengambil telpon genggamnya
yang ada di saku celananya, ia pun menemukan sebuah pesan baru pada telponnya
itu dan segera membacanya. Betapa terkejutnya ia membaca pesan itu, di pesan
itu Lia menuliskan bahwa ia telah akan pergi untuk selamanya, dan ia berpesan agar
novel terakhir yang ia buat yang berjudul Surat Untuk ibu diantarkan kepada ibunya.
Selain itu, ia berpesan kepada Firman agar melanjutkan perjuangannya untuk
mendirikan sebuah yayasan penyandang cacat untuk kalangan orang yang tak mampu
di samping cita-citanya menjadi seorang penulis. Setelah membaca pesan itu,
Firman segera merangkul Lia yang telah tak bernyawa lagi diiringi deraian air
mata duka.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setelah Lia dimakamkan,
Firman segera menuju ke gedung pameran untuk meresmikan pameran tersebut sebab ia
telah berjanji kepada Lia meski ia telah tiada. Beberapa jam kemudian, acara
pameran itu pun berakhir. Ia pun menancapkan gas mobilnya menuju ke rumah ibu
Lia. Setibanya di rumah itu, ia dibukakan pintu oleh ibu Lia dan mempersilahkan
Firman untuk masuk ke dalam. Firman menolak dengan alasan terburu-buru, ia
langsung memberi novel itu dan menyampaikan bahwa Lia baru saja berpulang ke
rahmatullah, lalu beranjak meninggalkan rumah itu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Karena penasaran dengan novel
itu, ibu Lia pun segera membacanya. Setelah selesai membaca novel itu, ia
segera berlari dari rumahnya dengan terbirit-birit bagai kesetanan, di
sepanjang jalan ia tak henti-hentinya memanggil nama Lia disertai kata maaf
berulang-ulang kali terlontar dari mulutnya. BRakk!!! Sebuah truk telah
menabraknya, tubuhnya terlempar ke sebuah sungai yang arusnya begitu deras
sehingga tubuh yang telah tak bernyawa lagi terbawa oleh arus sungai tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sebulan kemudian, terdengar kabar bahwa mayat ibu Lia hingga kini
belum ditemukan dan kakak Lia tengah di rawat di salah satu rumah sakit jiwa
yang disebabkan frustasi karena tak sanggup lagi membiayai sekolah
kedokterannya itu. Pada alam yang
berbeda, Lia beserta sang ayah tengah berbahagia di atas langit sana.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-21994930609591319972012-05-19T21:37:00.000-07:002013-08-21T01:26:26.337-07:00Oh sepatuku, mengapa sih engkau sering menyiksaku?<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ma, beliin aku sepatu yang
baru dong, soalnya sepatuku berwarna -warni nih, padahal di peraturan SD aku
setiap siswa diwajibkan untuk menggunakan sepatu berwarna hitam polos,”
rengekku yang saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SD dan Mama hanya
tersenyum-senyum tanpa berkomentar sepatah kata pun. Pada keesokan harinya,
bukannya mendapatkan sepatu baru dari Mama, beliau hanya memberiku sepasang
sepatu bekas pemberian dari tetangga yang memiliki segudang sepatu bermerek.
Sepatu itu memang bagus dan menarik buatku tetapi sepatu itu terhiaskan oleh garis
tebal berwarna putih sehingga aku pun protes kepada Mama dengan mengatakan
bahwa sepatu itu memiliki warna lain selain warna hitam. Tiba-tiba Papa menghampiri
kami dan memberi sebuah solusi yang cukup unik. Papa pun mengambil sepatu itu
kemudian ia mengambil sebuah spidol hitam permanen. Sret..sret… dengan serius
Papa menghitamkan bagian yang putih dari sepatu itu dengan spidol tersebut dan
hasilnya sepatu itu kini benar-benar telah menjadi sepasang sepatu yang
berwarnakan hitam polos. Aku dan mama pun hanya tertawa melihat hal itu.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seiring waktu yang terus
bergulir, tak terasa kini aku telah tumbuh menjadi seorang remaja dan selama
itu pula aku telah bergonta-ganti sepatu baik itu sepatu yang baru maupun yang
bekas, yah.. yang penting sesuai peraturan yang ad di sekolah aku. Sebenarnya
aku telah merepotkan kedua orang tuaku dengan seringnya aku meminta untuk
bergonta-ganti sepatu dan bukannya aku ingin atau berniat untuk terus
berkali-kali mengganti sepatuku namun dengan memiliki kaki yang berukuran
panjang yang pertambahan ukurannya cukup cepat menjadi alasan dasar mengapa aku
terpaksa harus selalu berganti sepatu. Bahkan jari- jemariku sempat membengkak
ketika aku menggunakan sepatuku yang telah begitu sempit. Saat itu aku sengaja
menahan rasa sakit tersebut tanpa melaporkan hal itu kepada orang tuaku sebab
aku merasa tak enak hati kepada keduanya yang telah selalu berusaha dan
berjuang untuk mendapatkan sepatu buatku. Namun ujung-ujungnya, mereka tahu
akan hal tersebut setelah memperhatikan jemari kaki dan cara berjalanku yang
Nampak agak perlahan-lahan dalam melangkah dan terkadang aku meringis setiap
menapakkan kakiku di atas lantai, begitu pun ketika aku mengikuti pelajaran
olahraga yang selalu memerintahkan kepada siswa-siswa untuk berlari-lari
mengelilingi gedung sekolah yang cukup luas, oh.. sempurnalah penderitaanku.
Namun dari kejadian tersebut, akhirnya kedua orang tuaku membelikanku sepasang
sepatu yang berukuran lebih besar dari ukuran kakiku yang sebenarnya, hal itu
bertujuan agar aku tetap merasa nyaman memakai sepatuku setiap ukuran kakiku
bertambah dan juga agar tak merepotkan mereka lagi. Dan hal itu sering mereka
lakukan dalam membeli sepatu buatku hingga saat ini, yah.. sudah tahu tujuan
dari mereka kan?!! Hahaha…!!</span></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-64898135090609503712012-05-17T07:15:00.000-07:002012-05-26T08:56:43.737-07:00Robbi, pantaskah aku?<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2018910809587811342" name="OLE_LINK4"></a><a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2018910809587811342" name="OLE_LINK3"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">BAB I</span></b></a></div>
<div align="center" class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Hitamnya
setangkai bunga putih</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Kemiskinan telah
merajalela di Negeri Indonesia ini. Sehingga tak ayal kemiskinan kerap kali
menjadi sebuah alasan para ahli kemaksiatan untuk bertahan hidup di dunia ini.
Dahulu wanita merupakan harta yang sangat berharga dan tak dapat ternilai oleh apapun.
Meskipun ditukar dengan segudang berlian dan batang emas, tetap saja wanita
beserta kehormatannya tak dapat disandingkan dengan semua itu sehingga para
kaum wanita begitu berusaha untuk menjaga dan memelihara kehormatan mereka
dengan penuh kehati-hatian. Namun sayangnya kini yang terjadi di Negri ini,
kehormatan wanita telah menjadi harga mati bagi sebagian mereka, lagi-lagi dan
tak lain hal itu merupakan salah satu factor dari kemiskinan sebagai dalang
semua itu. Hanya untuk mencari sesuap nasi, mereka terpaksa menjajahkan diri
mereka sebagai budak nafsu bagi para lelaki hidung belang yang bisanya hanya
mengandalkan uang untuk mencari kenikmatan sesaat. Dengan hanya bermodal tubuh
dan penampilan yang menggairahkan telah menjadi umpan bagi mereka untuk mengait
dan membangkitkan hasrat para kaum lelaki yang memiliki iman lemah dan rapuh.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dari langit biru di kota Makassar masih menyisakan
percikan-percikan air yang jatuh tepat
pada permukaan bumi yang telah basah sedari tadi oleh genangan-genangan air
hujan. Terlukis sebuah pelangi yang tersusun rapi oleh beberapa paduan warna
dengan serasi sehingga menciptakan pemandangan yang indah nan elok. Namun
keindahan itu akan bertahan tak lama lagi sebab cahaya sang fajar telah memudar
hingga menjadikan langit biru tergantikan oleh langit jingga yang Nampak
keemasan. Sayup-sayup terdengar suara adzan yang mengisyaratkan pertanda waktu
sholat maghrib telah masuk. Seorang lelaki berseragam polisi Nampak
tergesa-gesa turun dari motor patrolinya. Lelaki tampan itu memarkir motornya
tepat di sekitar pekarangan sebuah mesjid besar yang ada di kota itu. Setelah
mengambil air wudhu pada sebuah pancuran air yang ada di mesjid tersebut, ia
segera mempercepat langkahnya untuk memasuki mesjid itu. Ia berdiri pada baris
depan bersama jama’ah mesjid yang lain. Selang beberapa menit kemudian, sholat
maghrib pun telah usai, namun lelaki itu saja masih duduk bersimpuh dengan
tenangnya seraya menadahkan tangannya ke atas. Ia tengah berdoa dengan khusyuk
disertai air mata yang jatuh berderai di atas kedua telapak tangannya. Bibirnya
yang merah ranum tak henti-hentinya menuturkan untaian kata-kata dengan melodi
lembut layaknya seorang kekasih yang merayu pada pujaan hatinya. Setelah
mengakhiri doanya, lelaki itu mengambil sebuah qur’an yang berukuran kecil dari
saku celananya yang selalu ia bawa kemana pun. Lelaki itu kemudian membaca
tulisan-tulisan yang ada di dalam kitab itu dengan lantunan yang syahdu nan
merdu, wajahnya Nampak berseri-seri setiap ia membaca kalimat demi kalimat
seolah mengerti makna yang tersirat dalam bacaan tersebut. tanpa terasa waktu
terus bergulir, lelaki itu menghentikan bacaannya tersebut dan melihat jam
tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya yang kini telah
menunjukkan pukul 19.30 pm. Ia segera bangkit dari duduknya dan menuju kea arah
tempat mike terletak tepat di hadapan imam biasanya berdiri dalam memimpin
sholat jama’ah. Ia berdiri di tempat itu bukanlah untuk menjadi imam sholat,
akan tetapi berdiri untuk mengumandangkan adzan agar menyeru kepada seluruh
orang untuk segera menunaikan sholat isya yang tak lama lagi akan dimulai.
Seusai menunaikan sholat isya, tak lama kemudian satu persatu dari jama’ah
tersebut meninggalkan mesjid termasuk lelaki itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Jalan demi jalam ia susuri ditemani oleh cahaya bulan dan sinar
lampu jalan yang menerangi sepanjang jalanan kota tersebut. malam itu lelaki
tersebut bertugas untuk berpatroli di sekitar salah satu pantai ternama yang
ada di kota itu. Ketika ia berniat mampir di tempat itu untuk mengisi perut
pada sebuah warung, ia dihampiri oleh seorang wanita cantik yang berpakaian
sangat minim yang bertujuan memamerkan keindahan tubuhnya yang aduhai di
hadapan lelaki tersebut. wanita itu menyangka akan menerima respon dari lelaki
itu, namun ternyata perkiraannya meleset dan bahkan ia ditegur oleh lelaki itu
agar mengenakan pakaian yang dapat menutup aurat. Wajah wanita itu seketika
merah padam,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Dasar pria tak dapat diuntung! Kamu tak usah munafik deh, mau
berlagak sok suci di hadapanku? Tak usah ceramahin aku, padahal sebenarnya kamu
itu tak jauh beda dari polisi-polisi lain yang senangnya bermain dengan
beberapa wanita cantik sepertiku,” maki wanita itu seraya bergegas berlalu dari
tempat itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setelah menanyakan mengenai wanita itu kepada pemilik warung
tersebut, barulah lelaki itu tahu bahwa wanita tersebut adalah seorang wanita tunasusila
yang sering mangkal di sekitar warung itu untuk menggoda pengunjung yang
sebagian merupakan kaum adam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Wanita itu bernama Flora, Pak!” jelas pemilik warung tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kasihan wanita itu, masih muda juga cantik tetapi ia harus masuk
dalam dunia yang kelam,” gumam lelaki itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Kemudian lelaki itu segera menghabiskan seluruh makanannya lalu
beranjak dari warung itu dan kembali berpatroli hingga larut malam.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Sialan! Polisi brengsek! Gara-gara dia, aku tak dapat penghasilan
malam ini!” umpatnya ketika Flora kembali ke kostnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setelah berganti pakaian, ia segera membasuh wajahnya yang putih
itu dengan menggunakan sabun pencuci muka lalu membilasnya. Kemudian ia
berbaring pada kasur kecil yang ada di kamar kostnya itu,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ayah… Ibu… andai kalian masih hidup di dunia ini tentu kehidupan
Flora saat ini tak seperti ini, Flora terpaksa melakukan semua ini untuk
bertahan hidup dan membiayai kuliah Flora saat ini,” bisiknya lirih seraya memandangi
sebingkai foto keluarga yang satu-satunya ia miliki.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seketika ingatannya kembali pada kejadian 3 tahun silam…</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ketika itu Flora baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Atas yang ada di kampungnya. Di saat Flora beserta kedua orang tuanya
tengah tidur pulas di rumahnya, tabung gas yang ada di dapurnya itu meledak dan
ditambah lagi ibu Flora lupa bahwa ia tengah memasak sepanci nasi sehingga ia
pun juga lupa mematikan kompor sebelum ia tidur bersama suami serta anaknya.
Sang jago merah seketika hadir di tengah-tangah mereka dan melahap apa yang ada
di sekitarnya. Flora yang terbangun oleh hawa panas yang ditimbulkan dari api
segera bangkit dan mencari kedua orang tuanya yang ada di kamar mereka dan
terletak tak jauh dari ruang dapur yang kini telah menjadi ruang yang
mengerikan. Alangkah terkejutnya ia telah menemukan kedua orang tuanya yang
tengah terbaring tak bernyawa lagi, nampaknya mereka telah banyak menghirup gas
LPG dan kepulan asap yang berasal dari ruang dapur. Flora tersentak, air
matanya bercucuran seraya tak melepas pelukan pada tubuh kedua orang tuanya
tersebut. namun selang tak lama kemudian, salah satu tetangganya datang
menghampirinya dan segera menarik Flora untuk keluar dari amukan api yang
menjalar dengan cepatnya, akan tetapi Flora tak kuasa bangkit dari tempat itu
seolah tubuhnya terasa begitu lemah dan kaku sehingga seorang tetangganya itu
terpaksa membopongnya keluar. Hanya dalam hitungan sejam, rumah serta
perabotannya telah musnah yang ditelan oleh sang jago merah. Flora hanya dapat
berdiri terpaku memandang puing-puing rumahnya yang kini ada di depan matanya,
ia menggeleng seakan tak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba
pandangannya tertuju pada sebuah kotak abu-abu yang terbuat dari besi, ia
segera mengambil kotak itu dan membukanya yang ternyata berisi
lembaran-lembaran ijazah dan selembar foto keluarganya. Ia baru ingat bahwa
yang menyimpan semua itu adalah ddirinya sendiri yang saat itu ia tengah sibuk
menata barang-barang yang ada di lemarinya dan ia lupa memasukkan kotak itu
kembali ke tempat semula. Dari kejauhan tempat Flora tengah berdiri, sepasang
mata tengah memperhatikannya sedari tadi,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hai, Dik! Aku tahu pasti saat ini kamu lagi bersedih dan bingung
kan? Tentunya kamu tak tahu harus tinggal di mana bukan?” tegur seorang pria
misterius yang tengah mencoba mendekati Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Siapa kamu? Aku tak sama sekali tak mengenalmu” ujar Flora
menjauhi pria asing itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Tenanglah, Dik! Aku orang baik dan aku hanya berusaha untuk
membantu mencari tempat tinggal yang layak untuk wanita cantik sepertimu.
Ayolah mendekat denganku, jangan sungkan!” bujuk pria itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seketika sebuah benda tumpul menghujam tengkuknya dari arah
belakang, hujaman itu telah membuat pandangannya berkunang-kunang dan akhirnya
jatuh tersungkur di atas tanah.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Suara hempasan pintu telah membuat Flora terjaga, ia menemukan
dirinya tengah berada di sebuah ruangan yang tepatnya bisa dikatakan sebuah
kamar tidur sebab di kamar itu telah tersedia sebuah ranjang besar beserta
perabotannya. Cat kuning telah mewarnai seluruh dinding yang ada di kamar itu.
Ia begitu terkejut mendapatkan dirinya yang telah berganti kostum dengan
mengenakan sebuah gaun tidur yang terbuat dari sutra. Sebuah cermin yang ada
tepat di hadapannya memantulkan bayangan dirinya yang telah terdandan
sedemikian rupawan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Wah, kini kamu Nampak lebih cantik dengan penampilan itu, tak salah
si Roni membawa seorang gadis sepertimu,” ujar seorang ibu tua yang saat ini
tengah berdiri di depan pintu kamar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kamu siapa? Mengapa kalian membawaku ke tempat ini? Aku ingin
pergi dari sini!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Flora berusaha lari menuju ke pintu, namun usahanya sia-sia belaka,
ia dihadang oleh dua pria yang berbadan besar dan berotot kekar. Ibu tua
beserta kedua pria itu serempak tertawa terbahak-bahak menyaksikan usaha Flora
yang tak berhasil keluar dari kamar itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Bersikap manislah kamu sebab tak lama lagi, seseorang lelaki akan
datang menghampirimu dan kamu harus melayaninya dengan memuaskan tamu itu,
ngerti kamu!” tegas ibu itu seraya menjambak rambut Flora dengan kasar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Mereka pun meninggalkan Flora sendirian yang tengah menangis
terisak-isak di atastempat tidur. Flora masih saja terus menangis, ia tak rela
kehormatannya harus diambil dengan paksa oleh orang asing yang sama sekali ia
tak kenal sebelumnya. Tak lama kemudian seorang pria masuk ke kamar itu dan
mendekati Flora yang tengah duduk menghayal di atas tempat tidur tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hai cantik! Orang baru ya? Nampaknya kamu seorang gadis yang masih
perawan, yuk aku ajarin kamu cara bercinta dengan baik,” rayu pria itu seraya
mendorong tubuh Flora lalu menindihnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Lepas! Lepaskan aku! Aku bukan seorang pelacur, aku mohon lepaskan
aku!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Flora meronta-ronta berusaha mendorong tubuh pria itu, namun Flora
kalah, tubuhnya terlalu lemah untuk menyingkirkan tubuh pria itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sejam kemudian, pria itu telah kelelahan dan hingga akhirnya
tertidur. Sementara itu, Flora segera masuk ke dalam toilet yang ada di kamar
tersebut. di dalam toilet, ia membersihkan seluruh tubuhnya dengan diguyur oleh
air shower yang terpasang di dinding toilet itu tepatnya berada di atasnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Duniaku telah hancur… aku telah ternoda, hina, dan telah menjadi
sampah masyarakat, kehormatan Flora telah lenyap Ayah… Ibu…” ucapnya dengan
terisak.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Begitulah yang terjadi dalam kehidupannya, telah banyak air mata
yang harus ia kuras atas penderitanya itu. Kini hidupnya bagai berada dalam
penjara, ia tak bisa ke mana-mana apalagi untuk kabur dari rumah itu. Selain
itu, ia sama sekali tak pernah diupah oleh sang ibu germo yang begitu galak.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Huh…! Akhirnya aku berhasil,” kata Flora dengan wajah penuh
kemenangan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ia berhasil kabur dari rumah tersebut ketika seluruh penghuni rumah
tengah lengah. Flora kabur dengan membawa sejumlah uang yang ia curi dari kamar
sang germo serta kotak abu-abu miliknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Untung saja si bang Roni tak meninggalkan kotak ini, tapi bodohnya
kenapa ya ia harus memberi kotak ini kepada germo sialan itu ya?! Tapi
syukurlah, kotak ini berhasil kembali ke genggamanku. Dengan ijazah dan
sejumlah uang yang ada, aku akan melanjutkan pendidikanku ke jenjang
perkuliahan, aku akan melakukan segala cara untuk mendapat impianku!” gumamnya
pada dirinya sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sekitar 2 jam kemudian setelah berkeliling menyelusuri jalan kota
yang begitu ramai, ia berhasil menemukan sebuah kost dengan harga yang lumayan
murah. Malam itu Flora terpaksa berbaring di atas lantai yang begitu dingin
tanpa menggunakan sehelai alas, namun ia mengabaikan rasa dingin yang melanda
sekujur tubuhnya sebab sedari tadi ia telah terlalu kecapaian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada keesokan harinya, Flora menuju ke sebuah universitas yang ada
di kota dan mendaftarkan dirinya untuk menjadi salah satu mahasiswa di universitas
tersebut. semestinya Flora saat ini telah menjadi seorang mahasiswa angkatan
tahun lalu, sayangnya karena peristiwa yang menimpanya telah menghambat
langkahnya untuk melanjutkan pendidikannya. Namun ia berpikir bahwa tak ada
kata terlambat untuk menggapai semua itu. Setelah menyelesaikan seluruh
urusannya di universitas tersebut, ia beranjak meninggalkan tempat itu. Di
perjalanan menuju pulang, ia mampir ke sebuah pasar yang tak jauh dari kostnya
untuk membeli beberapa barang buat kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebulan
kemudian setelah mengikuti beberapa tes yang ada di universitas itu, akhirnya
hasil tes tersebut diumumkan pada hari ini. Dengan berdesak-desakan bersama beberapa calon mahasiswa yang lain, Flora
berusaha mengamati dan mencari nomor ujian beserta namanya pada sebuah kertas
yang terpasang lebar pada papan pengumuman yang ada di universitas itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Flora Putri Cantika… yes! Namaku berada di deretan yang teratas.”
Teriaknya kegirangan membuat orang-orang di sekitarnya menjadi sewot.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Eh mbak ini, kalau lagi senang, jangan teriak kencang-kencang di
dekat kuping kami dong! Berisik tau!” tegur salah seorang dari mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Flora hanya cengingisan dan segera meminta maaf kepada mereka.
Ketika Flora hendak pulang, seorang wanita seusianya dengan suara lantang
memanggilnya, ia seketika menoleh kea rah sumber suara tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kamu Flora bukan?!” Tanya wanita itu memastikan seraya menghampiri
Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Iya, aku Flora. Ohya, kalau tak salah kamu salah satu tetangga
kost aku kan?” jawabnya dengan memperhatikan seksama wajah wanita itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Seratus buat kamu. Tapi ngomong-ngomong kamu juga kuliah di sini?
Dan tentunya kamu seorang mahasiswa baru kan? Ohya, kayaknya kamu belum tahu
nama aku kan! Kenalin nama aku Lolita, kamu bisa manggil aku Loli,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Iya, Loli, senang berkenalan denganmu, tapi kamu tahu nama aku
dari mana?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku tahu nama kamu dari ibu pemilik kost, katanya kamu juga kuliah
di tempat ini, dia memberitahu hal itu kepadaku sebab beliau juga tahu kalau
aku kuliah di sini,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Setelah ngobrol panjang lebar, mereka memutuskan untuk pulang
bareng dan kebetulan si Loli memiliki sebuah motor yang selalu ia gunakan untuk
ke mana pun, termasuk ke kampus.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tak seperti biasanya Flora tampak murung dan lebih banyak diam dari
sebelumnya. Di sebuah taman yang ada di kampusnya, Flora duduk manis di atas
sebuah bangku panjang, pandangannya kosong seraya memainkan ujung rambutnya
yang berwarna kecokelatan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hei Flo! Pagi gini kamu udah ngelamun, mau jadi apa kamu?” ujar
Loli membuyarkan lamunan Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“mmm… gak kok, aku lagi sumpek nih! Aku lagi punya masalah,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Masalah apa, Flo? Kamu bilang aja mengenai masalah kamu itu, siapa
tahu aku bisa bantu,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sejenak Flora terdiam, kemudian menatap wajah sahabatnya itu
dalam-dalam seraya menghela nafas panjang,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Duit simpananku semuanya udah habis membiayai kuliah dan
kebutuhanku sehari-hari. Aku tak tahu harus mencari duit di mana coba? Duit
curian itu udah ludes!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Duit curian???!! Kamu udah nyolong? Maksud kamu, aku tak ngerti,
Flo!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Loli makin bingung, hingga akhirnya dengan berat hati Flora
menceritakan segala kejadian yang pernah ia alami.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Flo, aku turut sedih setelah mendengar kejadian yang menimpamu,
tapi… saat ini aku belum bisa membantu kamu, maaf ya, Flo… belakangan ini,
pelanggan aku lagi sepi nih!” ujar Loli yang seketika merangkul tubuh Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Iya, gak apa-apa kok, Lo! Kamu tak usah merasa bersalah gitu deh,
tapi ngomong-ngomong apa maksud kamu dengan pelanggan? Kamu berdagang, bisnis
atau semacamnya, seperti itu bukan?!” tanyanya penasaran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku jual diri, Flo! Tapi bedanya, aku gak dipegang oleh germo
seperti kisah kamu itu, aku menawarkan diriku kepada lelaki hidung belang yang
ada di sekitar pantai,” jawabnya seraya memalingkan wajahnya dari Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hah!! Apa??!! Kamu menjual diri kamu sendiri?! Gila kamu, Lo!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini, kedua orang tuaku
udah lama bercerai, dan aku sendiri tak dipedulikan lagi oleh mereka, Flo!
Siapa lagi yang harus biayain hidup dan kuliah aku kalau bukan aku sendiri!!
Kamu harus tahu dan ngerti bahwa dunia untuk seperti kita-kita ini begitu
keras, Flo! Kita harus bisa berdiri di muka bumi ini dengan kaki kita sendiri,
camkan itu!” tegas Loli sembari meninggalkan Flora yang Nampak bimbang setelah
mendengar perkataan dari sahabatnya.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Di dalam kamar, Flora tengah terbaring di kasur seraya membuka
lembaran demi lembaran dari catatan kuliahnya namun tak ada satu pun yang masuk
di otaknya. Saat ini pikirannya melayang, kata-kata dari Loli terus terngiang
di telinganya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Gila! Kepala aku rasnya pengen pecah!” keluh Flora ketus.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Flora segera bangkit dan menuju ke kamar Loli yang tak jauh dari
kamarnya itu. Setelah mengetuk pintu kamar Loli berkali-kali, namun tak ada
jawaban.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Mungkin Loli masih marah ya sama aku? Aku telah nyesal berkata demikian.
Loli! Bukain dong pintunya, aku mohon…” pintanya memelas.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang membuatnya
terkejut dan terlonjak.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Flora! Ngapain kamu berdiri di situ? Kurang kerjaan saja kamu!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ya ampun… Loli! Kamu udah buat jantungku hamper copot, tahu nggak
sih! Aku udah sejam berdiri di depan kamar kamu, rupanya kamu tak ada di
dalam,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Oh gitu ya, tapi kamu nggak bilang sih kalau kamu mau mampir ke
kamar aku atau kenapa kamu nggak hubungi handphone aku aja?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Lupa aku, tapi ngomong-ngomong… kamu dari mana aja? Kamu pulang
selarut malam gini,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Seketika suasana menjadi hening, Loli hanya terdiam tanpa menjawab
pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ia tak tahu harus berkata apa untuk
menjawab pertanyaan dari sahabatnya yang telah menanti sebuah jawaban darinya.
Angin malam yang menghembus kencang menampar wajah keduanya dan juga membuat rambut-rambut
mereka terbang kesana-kemari mengikuti aliran angin yang begitu dingin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku… aku…” ucap Loli dengan terbata-bata memcahkan keheningan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Sudahlah Loli, aku udah mengerti, kok! Kalau kamu nggak bisa
menjawab pertanyaan itu, sudahlah kamu tak perlu menjawabnya,” ujar Flora
seraya merangkul sahabatnya itu yang nampaknya telah meneteskan air mata.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku… aku hamil, Flo…” ucap Loli lirih dalam sela tangisnya yang
makin menderu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hah!! Kamu hamil??!! Siapa ayah dari anak yang kamu kandung itu,
Lo?!” tanyanya dengan wajah pucat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku sendiri tak tahu siapa ayah dari anak ini, karena… aku udah
melakukan hal itu bersama beberapa lelaki yang aku juga tak mengenalnya sama
sekali, aku hanya dibayar untuk memuaskan nafsu mereka, kamu sendiri tahu
mengenai hal itu kan?!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kalau kejadiannya telah seperti ini, apa boleh buat, aku akan
membantumu untuk bersama mengurus anak ini. Aku tak tega melihat kamu membesarkan
anak ini kelak tanpa seorang ayah yang tak jelas asal--usulnya,” jelasnya
seraya menyeka air mata Loli.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Terima
kasih ya, Flo! Selama ini kamu udah baik ama aku seperi kamu memperlakukan
saudara kamdung kamu sendiri,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Loh,
kita kan emang udah bersaudara?! Hahahaha….” Hiburnya disertai gelak tawa dari
keduanya.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">9 bulan
kemudian…</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Aduh
Flo… sakit banget, Flo! Aku udah tak tahan, nih!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Sabar
dulu ya… udah hampir sampai kok! Kamu harus bertahan sayang,:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">tak lama
kemudian, mereka telah sampai di sebuah rumah sakit bersalin yang terletak di
pusat kota. Dengan dibantu oleh seorang dokter beserta perawat yang ada, sang
bayi yang berjenis kelamin laki-laki itu berhasil dikeluarkan dari perut Loli.
Namun sayangnya, Loli tak dapat diselamatkan. Kata dokter yang baru saja keluar
dari ruang bersalin, Loli mengalami pendarahan yang cukup hebat dalam
melahirkan bayi tersebut. mendengar hal itu, Flora seketika masuk ke ruangan
itu tanpa menunggu dipersilahkan oleh sang dokter. Dalam ruangan itu, ia
menemukan Loli yang tengah terbujur kaku di sebuah pembaringan. Menyaksikan
sahabatnya yang tak bernafas lagi di hadapannya telah membuatnya shok, wajahnya
mendadak pucat pasi dan sekujur tubuhnya bergetar seakan terguncang oleh gempa
yang dahsyat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Lo!
Loli..! bangun, Lo! Bangun… anak kamu udah lahir! Kamu harus melihatnya, ia
sangat lucu dan juga tampan, kamu harus bangun untuk melihatnya! Bangun!
Loliiii…” jeritnya pilu seraya terus mengguncang-guncang tubuh sahabatnya itu
disertai deraian air mata yang tak henti-hantinya mengalir membasahi kedua
pipinya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kemudian
Flora mengambil bayi tersebut dari tangan sang perawat lalu mengecupnya dengan
penuh kasih sayang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Loli,
aku berjanji kepadamu bahwa aku akan mengurus anak kamu dengan tulus kasih
saying layaknya anak kandungku sendiri, aku tak akan membiarkan seorang pun
melukainya, aku akan melindunginya dengan jiwa dan ragaku!” tegasnya dengan
suara lantang.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sepeninggalan
Loli, beban hidup yang dimiliki oleh Flora makin berat sebab ia harus membiayai
hidup dan kuliahnya beserta anak Loli yang juga membutuhkan asupan gizi yang
cukup. Kini ia telah bekerja keras tiap malamnya sebagai pelayan pada sebuah
kafe untuk memenuhi semua kebutuhan hidup sehari-hari. Tak jarang ia menitip
anak Loli kepada ibu kost yang baik hati itu apabila ia hendak pergi bekerja
atau ke kampus. Namun sayangnya, meski ia telah membanting tulang untuk
menafkahi hidup mereka, uang yang ia miliki tak dapat mencukupi kebutuhan
mereka sebab gaji yang ia terima tiap bulannya hanyalah Rp. 500.000,00 saja.
Akhirnya ia pun memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain yang bergaji
lumayan untuk memenuhi segala kebutuhan. Telah sebulan ia berkeliling kota
untuk mencari dan melamar pekerjaan di beberapa tempat yang ada di kota, namun
hasilnya nihil dan sia-sia belaka. Kini ia tengah menapaki jalan yang ada di
pinggir pantai di bawah teriknya sang mentari, ia telah berputus asa seraya
terus mengayunkan langkahnya tanpa arah yang tak pasti. Di hadapannya bayangan
Loli, Ayah, dan Ibunya terus menari-nari lalu diganti oleh baying-bayang anak
Loli yang tengah menangis, hingga akhirnya semua bayangan itu lenyap seketika disusul
oleh sebuah bunyi dedebuk.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">-***-</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Oh
rupanya Mbak sudah sadar toh! Nih diminum dulu air putihnya biar mbak lebih
baikan,” ujar seorang gadis belia seraya memberikan segelas air untuknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Terima
kasih ya, tapi kamu siapa? Aku ada di mana? Kenapa aku bisa berada di tempat
ini?” Tanya Flora kebingungan mendapati dirinya berada di sebuah rumah
berukuran kecil yang hanya terbuat oleh bilah-bilah bamboo.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Aku
Lila, sekarang mbak ada di tempat karja aku yang terletak tak jauh dari pantai
tempat aku tadi menemukan mbak yang tengah pingsan, tapi syukurlah mbak taka
pa-apa,” jawabnya dengan ramah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Hah?!!
Tempat kerja katamu?! Kamu kerja apa di tempat ini? Ada-ada aja kamu! Oh ya
sekali lagi aku ucapin terima kasih yak arena kamu telah menolongku,” tanya
Flora heran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Sungguh,
Mbak! Aku lagi nggak bercanda, dulu sih aku bekerja di tempat ini bersama salah
satu rekanku, tapi…” kata gadis itu seraya tak melanjutkan kata-katanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Tapia
pa? ayo katakana!” desak Flora yang tengah penasaran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Tapi ia
tiba-tiba menghilang tanpa jejak dengan mengandung sebuah benih di perutnya
tanpa mengetahui Ayah dari benih itu, akan tetapi, dari info yang aku dapat dari
rekanku yang lain, katanya ia telah lama mati ketika melahirkan seorang bayi.
Ya… maklumlah, Mbak! Tapi Mbak sendiri lagi ngapain berjalan-jalan di pinggir
pantai siang bolong gini?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Apa??!!
Siapa nama rekan kamu itu?” Tanya Flora yang seketika melototi gadis tersebut
seraya menaruh sebuah kecurigaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Wah
tenang, Mbak! Jangan galak gitu dong, aku kan jadi ngeri sendiri! Mmm.. nama
rekan aku itu Lita, lengkapnya Lolita! Tapi di kampusnya ia dipanggil Loli,
nama Lita sengaja ia gunakan untuk menyamarkan dirinya, oh ya sekarang giliran
Mbak! Pertanyaanku belum dijawab tuh!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bagai
disambar petir di siang bolong, Flora seketika tersentak seakan aliran darahnya
mendadak terhenti. Dadanya sesak setelah mendengar sebuah nama yang telah
tertanam amat dalam di hatinya. Tak terasa air matanya meluber di mana-mana
seraya menggigit bibirnya untuk membendung sebuah perasaan yang kini tengah
mengamuk di hatinya. Suara gadis itu yang telah berkali-kali memanggilnya, tak
ia hiraukan seolah tuli dengan keheningan yang ia ciptakan sendiri untuknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Sudah
nangisnya, Mbak? Kok nampaknya amat sedih mendengar nama itu, apakah Mbak
mengenalnya?” kata gadis itu menenangkan Flora seraya menyodarkan sehelai
tissue kepadanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Iya,
dia sahabat dekatku dan saat ini akulah yang mengurus anaknya sesuai janjiku
kepadanya, tapi aku tengah pusing dan bingung untuk menafkahi anak itu sebab
aku juga harus membiayai kuliahku. Aku telah bekerja di sebuah kafe, tapi gaji
dari tempat itu tak mencukupi kami berdua! Maka dari itu aku telah sebulan
mencari pekerjaan di mana-mana namun aku gagal mendapatkannya,” jawabnya mencairkan
kebekuan yang ada.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Kenapa
kamu nggak bekerja seperti yang aku dan Loli lakukan tiap harinya? Lumayan loh
hasilnya, apalagi kamu tuh memiliki paras yang cantik! Kamu bisa pasang harga
tinggi!” usulnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Tapi
aku takut…,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Kamu
tak usah takut, aku akan membantumu,” ujar gadis itu berusaha meyakinkan Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sesaat
Flora termenung hingga akhirnya ia menggangguk pelan meski raut wajahnya
melukiskan keterpaksaan. Lalu ia menatap kosong pada langit-langit rumah itu
seraya tersenyum pahit. Tak lama kemudian, ia pamit kepada sang gadis sebab ia
telah merasa lebih baikan.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Toktok…
toktok…</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Terdengar
suara ketukan dari luar kamar Flora. Ia pun meletakkan bayi itu di atas kasur
lalu menuju kea rah pintu. Dibalik gorden ia mengintip ke luar kamar yang
Nampak remang. Matanya pun menangkap sosok gadis bersama seorang pria yang
bertubuh besar. Meski ia Nampak ragu, akhirnya ia memberanikan diri untuk
membuka pintu tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Lila!
Ngapain kamu ada di sini? Ini kan udah larut malam!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Kamu
lupa ya? Hari itu kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu pengen bekerja kan?
Gimana sih kamu!?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Oh iya,
aku lupa! Masuk yuk, kita bicara di dalam aja, nggak enak sama penghuni kost
yang lain,” ujar Flora mempersilahkan kedua tamunya itu untuk masuk.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Kayaknya…
Bapak nggak usah masuk ya, tolong tunggu di luar aja, sebentar aja kok, Pak!”
pinta Lila kepada Pria itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Begitu
ya, iya tapi jangan lama-lama ya… soalnya aku udah nggak tahan nih melihat
teman kamu itu,” ujar bapak itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Setelah
Lila menutup pintu kamar itu, ia segera membisikkan sesuatu kepada Flora.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Pria
itu adalah tamu pertama kamu loh, dia tuh tajir banget loh! Aku aja yang telah
menunjukkan kamu aja, aku udah dibayar 500.000! bayangkan aja, banyak kan!?
Jangan lupa, kamu harus memasang harga yang tinggi ya… gih buruan sana! Dandan
yang cantik,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Tapi
bagaimana dengan Nino? Anak itu nggak ada yang menjaganya,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Ya
ampun… itu sih mudah, serahkan masalah itu kepadaku, biar aku yang menjaganya,
okey!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Udah
Belom?! Buruan dikit dong, aku udah digigit nyamuk nih!” desak pria itu yang
telah berulang-ulang mengetuk pintu kamar tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Selang
beberapa menit kemudian, Flora telah selesai, ia Nampak manis dengan gaun ungu
yang ia kenakan saat ini. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai dengan
indahnya, namun ia masih meras canggung juga risih mengenakan gaun itu sebab gaun
itu begitu ketat dan pendek sehingga menonjolkan keindahan tubuhnya yang sangat
ideal.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Wah…
you are so seksy…” ujar pria itu dengan tatapan Liarnya seolah ingin
menelanjangi Flora seketika itu pula.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Menyaksikan
hal itu, Flora merasa geram akan kelakuan pria itu, rasanya ia begitu ingin
menamparnya tapi ia berusaha mengendalikan emosinya yang telah sampai ke
ubun-ubunnya. Dengan menghela sebuah nafas panjang, ia pun berangkat bersama
pria itu meninggalkan tempat tersebut dengan menumpangi sebuah mobil mewah
milik sang pria. Tak terasa mereka telah tiba pada sebuah hotel berbintang,
mereka pun masuk dan memesan sebuah kamar untuk keduanya. Sepanjang malam itu,
Flora memuaskan hasrat pria itu dengan berat hati. pada esok harinya, mereka
meninggalkan hotel.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">-***-</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Wah… hasilnya
lumayan juga ya, Li! Dengan pendapatan sebanyak gini, aku dapat membiayai hidup
aku dan Nino!” seru Flora kegirangan seraya melompat kesana-sini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Benar
kan yang kukatakan, dengan modal paras kamu yang cantik itu mengundang rejeki
yang melimpah buat kamu dan Nino!” ujar Lila membenarkan perkataannya sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Iya
sih, meski awalnya pekerjaan ini sangat sulit bagiku sebab aku telah
menghilangkan harga diriku sendiri dan aku harus menanggalkan rasa malu yang
begitu besar yang ada dalam diriku, namun kini akhirnya aku udah merasa
terbiasa dengan semua ini, bahkan aku tak canggung lagi untuk menawarkan diriku
kepada seluruh lelaki manapun yang tengah berkeliaran di sekitar pantai,”
ucapnya lalu meletakkan tubuh Nino ke dalam gendongannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Baguslah…”
sahut Lila singkat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Tapi
satu hal yang harus kamu ketahui bahwa aku tetap saja tak menikmati pekerjaan
ini, aku hanya menikmati hasilnya saja,” jelasnya namun lirih.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Maksud
kamu?!!” Tanya Lila seraya mengerinyitkan dahinya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Maksud
aku tuh, aku tak seperti wanita malam yang lainnya, kamu tahu kan sebagian dari
mereka menikmati pekerjaannya tersebut. Yah… seperti pepatah gitu, sambil
menyelam minum air, nah kamu udah ngerti kan maksud aku!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Iya,
Flo! Aku udah ngerti Bu guru Flora yang cantik!” ejek Lila.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Hahaha…
kamu bisa aja! Ohya, tapi kamu tahu nggak?! Setelah aku udah berhasil lulus
menjadi seorang dokter nanti, mungkin aku ingin berhenti dari pekerjaan ini
loh!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Flora
tersenyum puas membayangkan dirinya mengenakan sebuah jas dokter di sebuah
rumah sakit. Ia nammpak berwibawa dengan pakaian tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Jadi
selama ini ternyata kamu mengambil jurusan kedokteran di kampus kamu?! Aku tak
menyangka bahwa kamu nekat juga ya, padahal kondisi dan keuangan hidup kamu
cukup memprihatinkan. Flora!... Flo, kamu ngelamun ya?!” ujar Lila merasa bahwa
lawan bicaranya saat ini tak
meresponnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Hah…
apa yang kamu katakana barusan? Coba kamu ulang!” ujar Flora yang baru saja
bangun dari lamunannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Enak
aja! Nggak ada siaran ulang, tahu nggak sih kamu!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Lila
melotot lalu berusaha mencubit lengan Flora namun tak berhasil sebab Flora
dengan gesitnya menghindari cubitan Lila yang terkenal perih. Nino yang tengah
tertidur nyenyak dalam gendongan Flora seketika meraung kesakitan, ternyata
ketika Lila berusaha untuk mencubit lengan Flora, tanpa sengaja dia telah
mencubit betis Nino yang terletak tepat di dekat lengan Flora. Alhasil,
tangisan sang anak tersebut tak kunjung reda. Berbagai cara yang telah mereka
lakukan untuk mendiamkannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">“Cupcup..cup…
diam ya saying…” mereka terus saja berkomat-kamit di hadapan Nino. Setengah jam
kemudian, Nino pun terdiam dari tangisannya lalu tertidur. Lila pun meminta
maaf atas kekacauan yang telah ia buat dengan tangannya.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">-***-</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">(nantikan kelanjutan bab selanjutnya dalam
novel karyaku ini, hanya ada di_createdbyrisya.blogspot.com)</span></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-27049528572751056862012-05-10T05:21:00.002-07:002013-08-21T01:19:15.231-07:00Pesona Sang Raja Kecil<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Telah sedari tadi Putri terus saja
memandangi sebuah foto berukuran dompet yang ada di tangannya. Nampaknya foto
itu telah usang dimakan oleh waktu. Foto itu telah merebut perhatiannya dari pelajaran
yang dibawakan oleh sang dosen yang telah sejam berkomat-kamit di depan kelas,
namun tak sekali pun Putri menyimak pelajaran tersebut. Tanpa menyadari
kesalahan yang telah ia buat, sang dosen dapat menangkap dan menyaksikan tingkah
laku Putri dari balik kacamatanya walau tempat duduk Putri berada di pojok
belakang. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Gawat! Putri terancam berada di ujung
tanduk, sekarang dosen menuju ke tempat Putri,” bisik Monika sahabat Putri, ia
tak tahu harus berbuat apa untuk menolong sahabatnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Putri! Karena foto ini telah
mengalihkan perhatan kamu pada palajaran yang saya bawa, foto ini saya sita
untuk selama-lamanya!” bentak sang dosen dengan kasar menarik foto itu dari
genggaman Putri. Bagai disambar petir di siang bolong, Putri terkejut bukan
main.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Maaf, Pak… Putri tak bermaksud…”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kamu tak usah membela diri! Jelas-jelas
kamu telah bersalah, kamu masih saja mau mengelak dari kesalahanmu!” potong
sang dosen. Karena takut kehilangan foto tersebut, Putri meminta kepada sang
dosen untuk mengembalikan foto itu kepadanya dengan wajah dan suara memelas. Meski
melihat linangan air mata Putri, hati sang dosen tak sedikit pun tersentuh.</span></div>
<div style="border-color: -moz-use-text-color -moz-use-text-color windowtext; border-style: none none dotted; border-width: medium medium 3pt; padding: 0in 0in 1pt;">
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kamu dapat mengambil foto ini tapi
dengan syarat kamu harus keluar dari ruangan saat ini juga dan kamu tak boleh
mengikuti pelajaran saya selama sebulan penuh! Dan satu lagi, sekarang kamu
harus membersihkan pekarangan fakultas ini, setuju?” ujarnya dengan menatap
tajam ke arah Putri yang telah nampak terkulai lemas di hadapannya. Sejenak
Putri terdiam, tampaknya ia tengah berpikir keras, ia menimbang segala resiko
yang akan terjadi dari setiap keputusan yang akan dipilihnya. Tak lama kemudian
ia mengangguk pelan menandakan bahwa ia
menyanggupi persyaratan itu. Setelah mendapatkan foto itu kembali, Putri pun
beranjak meninggalkan ruangan dengan menatap lurus ke arah pintu tanpa menoleh
sana-sini.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hei Put, aku boleh lihat nggak foto
yang menjadi biang kerok hingga kamu dihukum seperti ini?” Tanya Monika ketika
ia menghampiri Putri yang tengah sibuk membersihkan pekarangan. Tanpa
berlama-lama, Putri pun menyodorkan foto itu kepada Monika. Setelah mengamati
foto itu lekat-lekat, Monika pun tertawa terpingkal-pingkal.</span></div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ini kan hanya foto dua orang anak
kecil?!. Dan jangan bilang bahwa anak perempuan itu adalah kamu ya?!” Monika
mencoba menerka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Iya, itu aku saat masih berusia 7
tahun,” jawabnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Terus… anak lelaki itu siapa?” tanyanya
penuh selidik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Dia mantan tetanggaku sekaligus sahabat
dan kakak kelasku waktu kami masih di Sekolah dasar, namanya Raja. Meski usia
kami terpaut jauh, tapi kami begitu akrab. Dan ketika ia tamat dari sekolah
dasar, ia beserta keluarganya pindah ke luar negeri,” ucapnya lirih. Monika
hanya terdiam menyimak cerita dari sahabatnya yang telah mulai meneteskan air
mata.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"> “Dia
sangat berkesan di hatiku, selain anaknya baik hati, pintar dan berprestasi di
sekolah, ia telah menyelamatkan nyawaku. Saat itu aku tengah menyebrangi sebuah
jalan dan tiba-tiba dari arah yang tak terduga, sebuah truk besar nyaris
menabrakku. Melihat bahaya yang ada di depan matanya, ia seketika mendorongku
menuju ke pinggir jalan. Aku pun selamat dari maut tersebut, namun Raja sempat
terluka sebab ia terjatuh ketika berusaha menyelamatkanku. Semenjak itulah aku
terpesona kepadanya dan jatuh cinta untuk pertama kalinya meski waktu itu aku
belum pantas untuk mengenal cinta. Sesuai dengan namanya, ia telah merajai
seluruh hati dan cintaku,” sambungnya dengan bercerita panjang lebar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Oh ya, Ngomong-ngomong, dosen tadi
sempat nggak melihat foto ini?” tanyanya. Putri hanya menggeleng, dan tiba-tiba
handphone Monika berbunyi. “New Message”, Monika segera membaca pesan yang masuk
di handphonenya. Setelah membaca pesan tersebut, mendadak Monika segera pamit
pada Putri, ia tampak terburu-buru. Saat ditanya oleh Putri, ia hanya
mengatakan bahwa ia memiliki sebuah urusan mendadak yang harus ia tuntaskan
hari itu juga.</span></div>
<div style="border-color: -moz-use-text-color -moz-use-text-color windowtext; border-style: none none dotted; border-width: medium medium 3pt; padding: 0in 0in 1pt;">
<div align="center" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"> “Mas,
pesan seporsi ya…” pesannya pada penjual mie ayam yang ada di hadapannya
sembari duduk di sebuah pos tak jauh dari sekitar pekarangan buatnya melepaskan
lelah. Dari kejauhan, ia melihat sang dosen yang telah menghukumnya keluar
meninggalkan kampus. Tak lama berselang dengan keluarnya sang dosen, sebuah
mobil hitam memasuki wilayah fakultas
dan berhenti tepat di samping pos tempat Putri tengah beristirahat. Dari mobil
tersebut, keluarlah seorang pemuda berperawakan jangkung, lalu pemuda tersebut juga
memesan menu serupa dengannya dan duduk tepat di sebelahnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Eh… Den ganteng, kok baru muncul sih?
Pengen jemput Pak Sastro ya? Yah.. Den telat tuh, baru saja saya melihat Pak
Sastro keluar meninggalkan kampus ini,” ujar Si Mas dengan ramah. mendengar
nama Pak Sastro disebut, seketika membuat Putri tersedak dan tak sengaja hal
itu mengundang perhatian sang pemuda.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kamu baik-baik saja?” Tanya sang pemuda
dengan nada khawatir seraya menyodorkan segelas air putih untuknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Terima kasih,” ujarnya singkat setelah
meminum air tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Mahasiswa baru ya?” tanyanya. Putri
hanya menggangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Ketika Putri hendak membayar,
dirogohnya saku roknya akan tetapi ia tak menemukan dompetnya. Di acaknya
seluruh isi tasnya, namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan dompetnya.
Kepanikan pun menyerangnya hingga akhirnya ia pun tersadar dan mengingat bahwa
dompetnya ketinggalan di kost. Pemuda yang telah sedari tadi memperhatikan kesibukan
Putri, menebak bahwa gadis di sebelahnya tengah kehilangan sesuatu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kenapa, Dik? Ada masalah?” tanyanya
ramah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Aku baru sadar bahwa dompetku
ketinggalan di kosanku. Aku bingung sebab aku tak dapat membayar makanan ini
dan aku tak bisa pulang tanpa uang sepersen pun,” bisiknya tak ingin hal itu
kedengaran sampai di telinga sang Mas penjual.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Tenang saja, biar aku yang membayar
semuanya dan aku bersedia untuk mengantarkanmu pulang, lagian aku nggak jadi
pulang bersama pamanku yang telah sedari tadi meninggalkan kampus ini,” ujarnya
tersenyum simpul. Tik..tik.. tanpa terduga air dari langit biru turun dengan
derasnya sehingga Putri spontan mendekap erat badannya dengan kedua tangan agar
mengurangi rasa dingin yang melanda sekujur tubuhnya. Pemuda itu pun melepas
jaket biru yang ia kenakan dan memberi jaket tersebut kepada Putri untuk
mengenakannnya. Awalnya Putri menolak, akhirnya ia pun mau mengenakan jaket
tersebut setelah terus didesak oleh pemuda itu.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Terima kasih ya atas tumpangannya,”
ujar Putri ketika ia telah tiba di depan kostnya. Pemuda tersebut hanya
tersenyum kecil seraya mengedipkan sebelah matanya kemudian berlalu meninggalkan
tempat tersebut.</span></div>
<div style="border-color: windowtext -moz-use-text-color; border-style: dotted none; border-width: 3pt medium; padding: 1pt 0in;">
<div align="center" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ya ampun… jaket pemuda itu! Aku lupa
mengembalikannya!” pekiknya saat ia telah masuk di kamarnya. Setelah memeriksa
seluruh saku yang ada di jaket tersebut, ia menemukan dompet kulit milik pemuda
tadi yang berisi sejumlah uang dan sebuah KTP tanpa memperhatikan tulisan yang
ada di kartu tersebut. Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sebuah foto yang ada
di dalam dompet itu. Ia mengeluarkan foto tersebut dari dompet dan berusaha
mengamatinya. Matanya terbelalak setelah mengetahui bahwa anak perempuan yang
ada di foto itu adalah gambaran dirinya yang tengah memegang setangkai bunga
matahari. Bukan hanya itu, di belakang foto tersebut tertulis dua buah kata
yang seketika membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan dua buah kata itu juga telah menghipnotis
dirinya serasa melayang di antara awan-awan
putih.</span></div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“First love… apakah pemuda itu adalah
Raja?” tanyanya agak ragu. Ia pun mengambil KTP milik pemuda tadi untuk
memastikan bahwa dugaannya tak meleset.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Raja Mahatir… ooh tidak! Pemuda itu
ternyata Raja yang selama ini kucari dan kurindukan. Ooh Tuhan… ternyata dia
juga mencintaiku seperti aku mencintainya,” ucapnya dengan suara yang gemetar.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Berhari-hari Putri menanti kehadiran
Raja di pos tempat mereka dipertemukan berharap ia dapat berjumpa kembali
dengan Raja sang kekasih hatinya dan ia juga ingin mengembalikan jaket
tersebut. namun usahanya sia-sia belaka. Ia sempat merasa menyesal mengapa pada
hari itu ia tak meminta nomor telepon darinya. Jangankan nomor telepon, namanya
pun tak sempat ia tanyakan. “Oh betapa bodohnya diriku ini…’ makinya dalam
hati.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Ya ampun Putri! Kenapa kamu tak menemui
Pak Sastro aja?” usul Monika. Tanpa berpikir panjang, mereka pun menuju ke
ruangan Pak Sastro.</span></div>
<div style="border-color: windowtext -moz-use-text-color; border-style: dotted none; border-width: 3pt medium; padding: 1pt 0in;">
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kalian mencari siapa? Pak Sastro ya? Kalau
kalian tengah mencari beliau, maaf sebelumnya, beliau sedang berada di luar
kota. Katanya sih, setelah mengikuti dua hari penataran di sebuah kota, beliau
langsung menuju ke tempat salah sanak keluarganya sebab Raja keponakan
tersayangnya yang merupakan pilot sebuah pesawat mengalami kecelakaan dan
hingga saat ini Raja belum ditemukan, beberapa info yang ada kemungkinan besar
ia tewas dalam kecelakaan tersebut,” jelas seorang dosen wanita. Mendengar
berita duka tersebut, jiwa Putri terasa terguncang, air matanya pun berderai
jatuh hingga ke lantai. Ia tak pernah
menyangka bahwa ia Tuhan sempat mempertemukan mereka di luar dugaan dan di luar
dugaan pula ia harus menerima kenyataan bahwa Raja sang pujaan hatinya telah
pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Put, sebagai anggota organisai pencinta alam, kamu
harus ikut kegiatan camping yang diadakan oleh organisasi kita dan info itu
telah sampai ke kita sejak dua minggu yang lalu. Dan semoga dengan mengikuti
kegiatan tersebut, kamu dapat mengobati kesedihan yang mendalam di hatimu,”
ujar Monika yang tengah berkunjung ke kost Putri yang mendadak sakit setelah
mendengar berita duka kemarin yang disampaikan oleh seorang dosen wanita. Putri
hanya mengangguk pelan tanpa melontarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Saat
ini tampaknya ia kurang bergairah mengerjakan segala aktifitas sehari-harinya
termasuk makan dan minum. Melihat kondisi sahabatnya yang memburuk, Monika memutuskan
untuk menginap semalam di kos Putri.</span></div>
</div>
<div style="border-color: -moz-use-text-color -moz-use-text-color windowtext; border-style: none none dotted; border-width: medium medium 3pt; padding: 0in 0in 1pt;">
<div align="center" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: center;">
<br /></div>
</div>
<div style="border-color: windowtext -moz-use-text-color; border-style: dotted none; border-width: 3pt medium; padding: 1pt 0in;">
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada keesokan harinya, Putri telah siap untuk
mengikuti kegiatan camping. Dengan mengenakan jaket biru milik Raja,
keceriannya telah pulih. Menyadari akan hal itu, Monika spontan tersenyum
menyaksikan gaya dan penampilan sahabatnya yang nampak lucu dengan jaket Raja
yang berukuran besar, terpaut sangat jauh berbeda dengan postur tubuh Putri
yang begitu mungil.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Itu baru sahabatku..” celetuk Monika. Mereka
pun menyantap sarapan bersama-sama sebelum mereka meninggalkan kosan tersebut.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: center;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">***</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ketika tiba di lokasi perkemahan yang terletak
berada di tengah hutan, Putri meminta izin kepada ketua rombongan untuk meneguk
air sungai yang terletak tak jauh dari lokasi perkemahan tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Kita semua lupa sih membawa persediaan air,
tapi untunglah letak sungai tak terlalu jauh dari lokasi perkemahan kita ya..,”
ujar salah seorang anggota rombongan Putri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Saat Putri baru saja hendak meneguk air sungai
tersebut, terdengar suara seorang lelaki tengah menyerunya. Ia pun sangat
terperanjat mendengar suara itu dan spontan ia menoleh ke arah sumber suara
tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Raja!!!” ucapnya tak percaya melihat Raja yang
kini telah berdiri di hadapannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Hei, kamu kok tahu namaku? Padahal hari itu aku
tak sempat memperkenalkan namaku kepadamu?! Oh atau kamu tahu dari KTP yang ada
di dompetku yang ada di saku jaketku kan? Aku nggak sempat mengambil jaket itu soalnya
esok harinya aku harus menjalankan tugasku sebagai pilot hingga pesawatku
mengalami kecelakaan, namun untung aku dapat selamat dan terdampar di hutan
ini. Aku yakin, seluruh keluargaku pasti telah mengira bahwa aku telah tewas.
Aku ingin pulang, tapi saat itu aku tak tahu arah untuk keluar dari hutan ini.
Tapi.. syukurlah kamu udah hadir membantuku, kamu mau kan membantuku?” jelasnya
panjang lebar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">“Tentu Raja, aku seorang Putri Dinda Dewi akan
selalu ada untukmu,” jawabnya dengan deraian air mata. Mendengar nama itu, Raja
seketika terkesima dan sejenak tertegun memandang wajah Putri dalam-dalam.
Setelah membuktikan bahwa ia adalah Putri yang Raja maksud dengan memberikan sebuah
foto masa kecil mereka, Raja pun yakin dan sadar bahwa gadis yang kini tengah
berdiri di hadapannya adalah gadis yang selama ini ia cari dan ia rindukan. Seketika
mereka pun berpelukan disertai deraian air mata bahagia, tak kuasa membendung
segala perasaan keduanya yang telah lama terpendam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: right;">
<span style="font-family: "Arial Black","sans-serif"; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Created by:</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="border: medium none; line-height: 150%; padding: 0in; text-align: right;">
<b><i><u><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Risya Rizky Nurul Qur’ani</span></u></i></b></div>
</div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-89153246169897386222012-05-07T19:08:00.000-07:002013-08-21T01:13:31.465-07:00Membahagiakan Ayah dan Bunda<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Setinggi sang bintang yang ada di langit sana</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Takkan setinggi asa di dalam hatiku</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Duhai Ayah dan Bunda yang terkasih…</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tahukah kau…</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Amat ingin hatiku melukis dan mengukirkan kebahagiaan di dalam
hidupmu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Meski telah kutemukan diri ini tak sesempurna dulu lagi</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Meski mata tiada lagi sanggup menikmati elok parasmu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Namun semua itu takkan mampu memadamkan kobaran api cita di dalam
dadaku</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Walau ku tak mampu lagi tuk menjadi seorang dokter harapan Ayah dan
Bunda</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tapi ku mampu tuk mengobati segala duka di dalam hatimu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dan ku akan ganti duka itu menjadi sebuah suka dan kebahagiaan yang
akan sangat berarti dalam setiap lembar hidupmu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jangan sedih ataupun risau</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ayah.. Bunda…</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hapuslah air mata kesedihanmu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dan dengarkanlah janjiku bahwa..</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ku akan ganti semua air mata kesedihan dengan sebuah air mata haru</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dan kan mengukir senyum di bibirmu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Lihatlah Ayah… Bunda…</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Keterbatasanku ini bukanlah penghalang tuk gapai impian dan citaku</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hari demi hari</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Waktu demi waktu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kan kulalui semua itu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Walau peluh membasahi tubuh</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kan ku habiskan seluruh masa hidupku hanya tuk membahagiakan dirimu</span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Created by:</span></i></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Risya Rizky Nurul Qur’ani</span></i></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-23464881815428680702012-05-07T18:59:00.000-07:002012-05-26T09:02:53.716-07:00Bagaimana Menjadi Seorang Ikhwan dan Akhwat sejati?<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> :Eh Romi! Hai Bro! Wah asyik banget
nih ngerokoknya?!” sapa Alexa seraya mencubit lengan Romi dan duduk tepat di
samping Romi. “Iya nih, mau coba lo? Asyik loh, keren loh kalo cewek tuh
ngerokok kayak cewek-cewek di barat gitu loh!” rayu Romi seraya menyodorkan
sebatang rokok pada Alexa. “Ee… Boleh nih? Yah… Kebetulan gue lagi frustasi
nih, secara gitu! Gue baru aja diputusin ma pacar gue, katanya dia dah gak
level ma gue, padahal gue kan cantik, apa lagi yang kurang dari gue coba?!”
kata Alexa sambil memainkan batang rokok yang ada di tangannya. :Sebenarnya gue
tau kok kenapa pacar lo putusin lo, melihat penampilan lo itu… hm.. kurang
seksi! Lihat aja tuh rok kamu, naikkan dikit dong hingga di atas lutut kamu!
Trus bajunya, baju lo tuh gombrang banget kayak ibu-ibu aja! Ketatin dong!
Supaya kelebihan dalam tubuhmu itu Nampak indah dan seksi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Nah itulah tadi Sekilas kehidupan
remaja saat ini, mereka selalu menjadi korban gaya hidup barat yang bisa mengikis
akhlak mereka perlahan-lahan namun pasti. Tak ada lagi jarak antara pemuda dan
pemudi, hal itu telah dianggap wajar bagi sebagian mereka. Tubuh mereka yang
harus mereka tutupi malahan mereka pertunjukkan dengan terbuka tanpa merasa
malu ataupun risih. Last but not list, itulah yang terjadi dalam remaja kita
saat ini, dalam mencari jati diri, mereka selalu ingin mencoba-coba dan
melakukan hal-hal yang baru dan menantang bagi mereka tanpa memikirkan resiko
yang bisa menghancurkan masa depan mereka sendiri. Selalu ingin dipuji dan
memuji, itulah karakter remaja putra dan putrid, remaja putra selalu memuji
kelebihan yang dimiliki seorang cewek sedangkan remaja putrid sangat senang
ketika dipuji oleh lawan jenisnya, mungkin hal itu jadi kesenangan tersendiri bagi
mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Tahukah
kamu? Sebenarnya dalam islam sangatlah berbeda antara cowok-cewek dan
ikhwan-akhwat.Mungkin kalian berkata dan bertanya-tanya”Kok bisa? Kirain sama!
Cuma bedanya hanya factor bahasa, ikhwan-akhwat berasal dari bahasa arab!:</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Nah, kita bahas bersama ya…</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Bagi
yang menganggap itu sama, maaf… itu adalah salah besar! Perbedaannya sangat
jauh, perbedaan antara cowok-cewek dan ikhwan-akhwat terletak pada gaya hidup
dan etika. Cowok dan cewek berjalan di atas muka bumi dengan gaya parlente, sibuk
mengurusi penampilan, dan selau mengikuti hawa nafsunya, sedangkan ikhwan dan
akhwat berjalan di atas muka bumi dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Pakaian yang tertutup dan sopan,
santun, lembut, tegas, dan memiliki pendirian dan prinsip yang kuat sesuai
ajaran al-qur’an dan sunnah adalah gambaran dan cerminan akhlak seorang ikhwan
ataupun akhwat. Namun sayangnya, untuk mendapatkan ikhwan dan akhwat yang sejati
di Indonesia sangatlah minim, mungkin perbandingannya antara 1 dan 10, jauh banget ya…</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Di
berita baik dalam media cetak dan media elektronik, sangat sering kita jumpai
permasalahan pergaulan bebas seperti masalah seks, narkoba, judi dsb, bagaimana
tidak?! Pakaian yang minim masih saja dipakai kemana-mana, mengomsumsi narkoba
hingga over dosis, mabuk-mabukan hingga akhirnys terjadinya perkelahian sesama
ataupun antar kelompok yang berujung kematian. Coba kita piker, siapa yang
mengundang ataupun mencari—cari masalah dan bencana?! Kita sendirilah yang
membuat diri kita tertimpa celaka. Seperti pepatah yang mengatakan, ‘Lebih
mencegah daripada mengobati’. Siapa yang tidak mengetahui makna pepatah
tersebut, mungkin anak usia sekolah dasar pun mengetahui maknanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Maka dari itu, untuk menjadi seorang
ikhwan dan akhwat sejati yang kaffah, kita harus senantiasa beretika sesuai
ajaran al-qur’an dan sunnah. Sulit sih… tapi tak ada salahnya untuk kita
mencobanya, tak ada yang sulit kalau ada kemauan untuk berubah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Takkan berubah suatu kaum jika bukan
dirinyalah sendiri yang mengubahnya </span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Selain
itu, tentulah kita sebagai ikhwan dan sejati ingin meraih kesuksesan, bukan
hanya kesuksesan di dunia tetapi juga kesuksesan di akhirat. Untuk meraihnya,
pastilah kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan mengerjakan
kebaikan di mana pun dan kapan pun. <i>Man
jaddah wa jaddah artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh niscaya dialah
yang a kan mendapatkannya.</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jadi… keputusan dan keberhasilan ada di
tanganmu, dan tentunya dengan usaha dan doa yang akhirnya Allah yang menentukannya,
kalaupun kamu gagal, janganlah putus asa karena itu hanyalah sebuah ujian
untukmu menjadi lebih baik, kegagalan adalah cambuk untuk mendapatkan
kesuksesan. Selain itu, Allah telah menyediakan 2 jalan bagi manusia, jalan
kiri menuju ke neraka dan kanan untuk menuju surge, so… silahkan memilih dan
menentukan nasib dan jalanmu sendiri…</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Penulis:</span></i></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Risya Rizky Nurul Qur’ani</span></i><span style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-39585967202294858942012-05-06T06:39:00.000-07:002013-08-21T01:29:40.513-07:00Keajaiban itu datang menghampiriku<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Perkenalkan namaku Risya, aku adalah
seorang putrid dari pasangan suami istri yang bernama M. Syair dan Risma Ria.
Sekarang ini, aku ingin berbagi pengalaman kepada kalian. . .</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Saat
aku masih duduk di bangku SMP tepatnya
di salah satu </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pesantren, aku memiliki beberapa
taman dan kakak senior yang bersikap kurang baik terhadapku. Entah apa salah dan dosaku
terhadap mereka, yah. . . mungkin karena aku sangat dekat dengan guru-guruku di
sekolah, selain itu mungkin karena aku juga disenangi oleh sebagian kakak-kakak
senior di asrama. Awalnya sih, mereka baik terhadapku, malahan mereka
mengajakku masuk ke dalam geng mereka. Namun aku molaknya dengan alas an aku
ingin berteman dengan semua orang dan
aku nggak suka pilih-pilih teman. Selain itu, di pesantren aku terkenal rajin
beribadah, sholat dhuha, tahajjuddan puasa senin kamis tak pernah bolong, aku
juga sering mewakili sekolah dalm lomba-lomba antar sekolah. Mungkin karena
itulah mereka iri terhadapku mereka juga sering memgejekku sok cantik, sok
alim, sok pintar,dsb. Kalau ada tugas atau ulangan, mereka mendekatiku tapi di luar itu mereka sering
menjahatiku, bahkan salah satu temanku pernah membuang buku cetakku di tempat
sampah belakang sekolah. Ditambah lagi aku punya sahabat yang sering menusukku
dari belakang, di depanku sangat manis tapi di belakangku dia
menjelek-jelekkanku. aAkhirnya, aku sudah tak tahan lagi dan ingin pindah dari
pesanten itu. Apalagi seniorku sering main tangan, satu yang berbuat semua kena
imbasnya. Sempurnalah penderitaanku.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Seiring
waktu, aku merasa ada yang aneh dalam diriku, aku sering sakit-sakitan,
kepalaku sering terasa sakit, mataku terasa kabur dan aku sering merasa lemas
dan ngantuk yang berlebihan. Akhirnya, aku berkonsultasi kepada Pembina dan
dokter yang ada di pesantrenku. Mereka hanya memberiku obat sakit kepala dan
dokter juga menyaranku untuk memeriksa mataku karena dia hanya mengira mataku
membutuhkan kacamata . Aku pun memberitahukan hal itu kepada ayahku dan aku
juga berkata kepadanya bahwa aku ingin pindah sekolah. Namun ayahku tidak mempercayaiku dan dia
hanya mengira aku berpura-pura sakit agar bisa pindah dari pesantren itu. Aku
pun hanya bisa bersabar, dan hal itu terulang kembali tapi bedanya hal itu
terjadi di sekolahku, aku jarang lagi mengerjakan tugas sebagai seksi madding
di sekolah dan seniorku barkata bahwa aku hanya berpura-pura sakit dan
mengiraku malas hingga akhirnya aku dikeluarkan dari seksi madding dan
memindahkanku ke seksi yang lebih berat lagi yaitu seksi ibadah. Sekali lagi,
aku hanya bisa berusaha sabar dan menguatkan hati, aku hanya bisa curhat kepada
Allah dalm setiap tahajjudku karena hanya dia yang mengerti perasaanku.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Pada
saat seminggu sebelum lebaran idul adha, aku demam tapi semalam sebelum lebaran
idul adha tiba aku merasa lebih baikan sehingga esok paginya aku berniat untuk
mandi dan bersiap-siap ke mesjid. Tiba-tiba. . . tubuhku terasa menggigil yang
luar biasa tapi aku tetap memaksakan diri untuk pergi ke mesjid, akhirnya
tubuhku membungkuk menahan dingin dan gemetaran ketika aku sholat. Seminggu
kemudian, aku kembali masuk sekolah, tapi dua hari kemudian aku sakit kembali
dan akupun pulang kembali ke rumahku, dan ternyata hari itu adalah hari
terakhir aku di bersekolah di pesantren itu. Hampir setiap hari kepalaku merasa
sakit dan aku hanya mengkonsumsi obat sakit kepala seperti di pesantren hingga
hal itu menyebabkan lambungku sakit dan sering merasa mual dan muntah. Lama
kelamaan, keadaanku makin memburuk tiap harinya, penglihatanku menjadi dua
sehingga aku sering menutup salah satu mataku dalam mengerjakan segalanya.
Ayahku pun membawaku ke dokter mata dan dokter mengatakan bahwa mataku
baik-baik saja akan tetapi dia menyarankanku ke dokter bagian saraf juga
menyarankan untuk melakukan scan kepala dan rongseng. Setelah melakukan segala
saran dokter, hasil foto scan dan rongseng itu diberikan kepada dokter.
Ternyata. . . alangkah terkejutnya aku dan ayahku mendengar perkataan dokter
yang mengatakan bahwa aku positif mengidap tumor otak, “Ya Allah. . .!!”
pekikku dalam hati.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Setibannya
di rumah, ayahku menyampaikan hal itu kepada ibuku tetapi ibuku tetap berusaha
tenang dan menguatkan hatinya. Hari demi hari aku habiskan hanya dengan
menjalani pengobatan medis dan herbal, salah satnya aku mengikuti bekam dan
Alhamdulillah penglihatanku yang tadinya dua menjadi normal kembali meski
penglihatanku masih agak kabur. Akan tetapi, kondisi tubuhku makin hari makin
tak karuan, bahkan saat aku dibonceng oleh ayahku untuk cek up ke rumahsakit,
aku pingsan di atas motor sehingga tubuhku terseret-seret di jalan dan ayahku
tak menyadari hal itu, ayahku baru sadar ketika seorang ibu-ibu memberitahukan
kepada ayahku bahwa aku dalam keadaan tak sadar. Ayah dan ibu tadi bersama-sama
membawaku pulang ke rumah dan di rumah aku terkejut mendapatkan diriku sudah
ada di rumah dan ibuku menceritakan hal yang menimpaku tadi. Tak lama setelah
kejadian itu, aku dilarikan ke rumah sakit karena kondisiku yang sangat
memperhatinkan, dan dokter-dokter di rumahsakit menyarankan kepada orang tuaku
agar dilakukan operasi yang mungkin membutuhkan waktu tiga sampai empat jam
dengan resiko yang besar antara lain penglihatanku bisa hilang, aku bisa
lumpuh, dan aku bisa mengalami pendarahan. Orangtuaku pun meminta saran kepada
sanak keluargaku dan mereka mengatakan tuk mengeluarkanku dari rumahsakit dan
mencoba berobat dengan jalan alternative dengan alas an ada salah satu
keluargaku bisa sembuh setelah malakukan pengobatan alternative. Akhirnya, aku
pun pulang kembali ke rumah tanpa membawa tangan kosong.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Namun
sayangnya setelah menjalani pengobatan alternative itu, kondisiku makin buruk
sebelumnya. Hingga akhirnya tepat pada
tanggal 25 juni 2007 yang dimana hari itu adalah hari ulang tahunku yang genap
berusia 14 tahun tiba, keluargaku mengadakan syukuran sore itu dan aku
mengundang sahabat-sahabatku agar dating ke rumahku. Hari pun menjelang
maghrib, tiba-tiba kepalaku terasa ingin meledak, rasa sakit yang saat itu
melebihi sakit sebelumnya, aku tak bisa lagi mengkontrol diriku, aku
mengerang—ngerang kesakitan dan tanganku reflex menarik-narik rambutkau sendiri
dan menendang-lemari besar di dekatku hingga lemari besar itu bergetar. :Gelap!
Gelap! Kenapa jadi gelap?!” tanyaku kepada semua keluargaku tetapi semuanya
hanya menangis menyaksikan kondisiku bahkan salah satu tanteku mengira aku
sudah hamper mati karena penglihatanku tiba-tiba gelap, ayah dan ibuku
menenangkanku hingga akhirnya aku tertidur. Hingga esoknya, aku terbangun dan
melihat plafon rumah yang berwarna putih akan tetapi ketika aku bangkit untuk
duduk, penglihatanku kembali gelap. Aku pun sadar bahwa aku telah kehilangkan
penglihatanku. Aku merasa sedih tetapi aku ikhlas menerima keadaanku bahkan aku
tak mengeluarkan setetes pun air mata, aku berusaha bersabar, tegar dan
menguatkan hatiku. Ibuku yang mendapatiku telah terbangun menanyakan kabarku,
aku hanya tersenyum dan menyembunyikan kesedihanku tetapi perasaan seorang ibu
tak bisa dibohongi. Ia tau bahwa aku lagi bersedih. “Kenapa, Nak?”
tanyanya dengan nada yang lembut, aku
hanya mengatakan kepada ibuku bahwa aku tak bisa melihat lagi, ia pun memelukku
dan berkata “Sabar ya, Nak. Anakku pasti kuat!” dan aku yakin di balik mataku
yang gelap ibuku tengah mengeluarkan air mata tanpa membertahu hal itu
kepadaku.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Waktu
demi waktu kulalui tanpa penglihatan, sekali lagi keadaanku makin terpuruk.
Tumor itu bukan lagi menyerang saraf mataku tetapi telah menyerang saraf
motorikku yang membuat tubuhku lumpuh total. Awalnya hanya kakiku yang tak bisa
jalan, kemudian itu aku tak bisa duduk, bila tubuhku ingin di dudukkan. . .
tubuhku reflex jatuh dan terasa sakit, dan makin parah lagi tubuhku tak bisa
dibalik baik ke kiri maupun ke kanan dan tubuhku makin kaku. Ketika ibuku
menyuapku, ia melihat pipiku tembeb seperti orang yang lagi sakit gigi,
ternyata makanan yang ia suap kepadaku tiga hari yang lalu tinggal berkumpul di
pipiku, ternyata semua sebagian fungsi tubuhku sudah tak berfunsi, sehingga
semua aktifitasku dilakukan di atas tempat tidur, bahkan buang air saja di luar
kesadaranku, telinga dan mulutku pun terganggu, kata-kata hanya erangan sakit
yang selalu terlontar dari mulutku. Duniaku menjadi terbalik, pagi menjadi
malam dan malam menjadi pagi, pagi aku tertidur pulas sedangkan malamnya aku
tidak bisa tidur dan penyakitku itu dating biasanya saat malam telah tiba,
kasihan ayah dan ibuku yang merawatku harus mengganggu malam istirahatnya, apa
boleh buat karena semua itu bukan kehendak kita semua.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Tepat
padda pertengahan bulan September 2007, melihat diriku yang tak kunjung
membaik, spontan aku berkata :Ibu. . . Ayah. . masukkan aku ke rumahsakit, aku
bersedia dioperasi”, pintaku kepada ibu dan ayahku. Mereka pun membawaku ke
rumahsakit, di rumahsakit kedua orangtuaku disalahkan oleh dokter-dokter di
rumahsakit tersebut, salah satu dokter dari mereka berkata “Kenapa baru
sekarang kalian membawa anak kalian?! Dari dulu kami sampaikan bahwa anak
kalian harus dioperasi! Ini sangat beeresiko dan kami tak bisa menjamin nyawa
anak kalian, sekarang cepat berpikir dan ambil keputusan” dan salah satu dokter
yang lain berkata :Sekarang anak ibu ibarat lilin, ia hidup tapi hidupnya tak
berkualitas, dan lama kelamaan lilin itu akan redup” tuturnya bijaksama kepada
ibuku, ibuku pun terhentak mendengar perkataan sang dokter. Tampa berpikir
panjang lagi, mereka menandatangani penyetujuan tindak operasi. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Para
dokter menyampaikan kepada orangtuaku bahwa tumorku itu sudah menguasai seluruh
otak kiriku dan tumor itu menuju ke otak kanan, berarti tumor itu akan melewati
batang otak dan jika tumor itu telah berada di batang otak, aku akan meninggal,
dan operasi kali ini adalah operasi besar dan memakan waktu sekitar 5 jam dan
sangat beresiko. Kedua orangtuaku telah pasrah dan ikhlas atas apa pun yang
terjadi, seluruh keluarga, sahabat-sahbat, dan hamper seluruh warga di
kompleksku mendoakanku dengan khusu’ bahkan ada yang mengeluarkan air mata
ketika mendoakanku.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Keajaiban
pun dating sat per satu, ketika aku dioperasi suasana yang terjadi adalah
suasana yang sangat tenang, kantong darah yang disiapkan empat kantong, yang
terpakai hanya dua kantong dan operasi berjalan dengan lancer dan sukses bahkan
aku dioperasi hanya memakan waktu 4 jam, subhanallah. . . Selain itum aku hanya
membutuhkan waktu 24 jam sehingga esoknya aku sudah siuman. Tapi lucunya,
ketika aku siuman aku berteriak ingin pulang dan mencari orangtuaku sehingga
dokter pun menegurku dan melarangku rebut, tanganku juga diikat karena aku
salalu ingin menggaruk-garuk kepalaku padahal di kepalaku banyak perbannya. Tak
lama kemudian, aku dipindahkan ke kamar perawatan dan di saat keluargaku lagi
lengah, tiba-tiba aku bisa duduk membuat mereka terkejut melihatku bisa duduk kembali.
Keajaiban dating lagi, luka bekas jahitanku sangat cepat kering, bahkan aku
bisa berdiri kembali meski harus dipegang, maklum karena kakiku mengecil lama
tak digunakan berbulan-bulan dan akhirnya aku pun diperbolehkan pulang setelah
dirawat seminggu sesudah operasi. Sebelum pulang, dokter memerintahkan
untuk kembali melakukan foto scan untuk
melihat dan mengetahui keadaan otakku. Ternyata masih ada sisa-sisa tumor itu
dan dokter tidak bisa membersihkannya dengan tuntas karena sangat sulit
membedakan antara sel otak dan sel tumor, kalau dibersihkan semua bisa-bisa
terjadi kesalahan yang fatal.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Mengetahui
hal tersebut, kedua orangtuaku makin memanjangkan doa dan tahajjudnya karena
mereka takut kalau sisa-sisa tumor itu kembali seperti yang dulu. Beberapa
minggu kemudian, dokter kembali memerintahkan untuk mengadakan foto scan ulang,
dan hasilnya sungguh luar biasa! Otakku bersih total dari sisa sel-sel tumor. Sekali
lagi, keajaiban itu dating menghampiriku. Meski aku belum bisa melihat kembali,
aku sangat bersyukur karena Allah masih memberikanku kesempatan untuk hidup
karena dokter pernah berkata jarang penderita tumor otak bisa bertahan hidup
lama. Namun bagiku tak ada yang mustahil jika Allah berkehendak.</span></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-24038373946249508252012-05-06T02:33:00.000-07:002012-05-26T09:09:27.428-07:00Bagaimana Menjadi Warga Indonesia Yang Baik<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Indonesia
adalah salah satu Negara yang berdemokrasi yang memiliki beberapa pulau yang
banyak dibanding Negara-negara yang lain. Selain itu, Indonesia juga terkenal
dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Oleh karena itu, pada masa penjajahan
Indonesia termasuk salah satu Negara sasaran yang diincar-incar oleh kaum
penjajah, ditambah lagi sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
saat itu sangat rendah. Akhirnya, kaum penjajah berhasil memjajah Indonesia dan
merampas hak-hak yang dimiliki oleh bangsa Indonesia secara membabibuta, bahkan
hampir seluruh pulau–pulau yang ada di Indonesia berhasil dikuasai oleh kaum
penjajah. Hingga akhirnya, bangsa Indonesia geram atas tindak-tanduk yang diperbuat
oleh kaum penjajah. Olehnya itu, bangsa Indonesia bertekad dan berusaha untuk
bersatu mengusir dan menghapuskan penjajahan di atas muka bumi Indonesia serta
bertekad dan berusaha untuk memerdekakan Republik Indonesia. Dan akhirnya,
seluruh pengorbanan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia baik itu berupa materi
maupun nyawa tidak si-sia, bangsa Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan
Negara Indonesia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kini,
Indonesia telah merdeka. Namun sayangnya tidak untuk bangsa Indonesia, mengapa?
Karena masih banyak kita jumpai kemiskinan yang merajalela, masalah-masalah
keasusilaan, pemimpin-pemimpin yang munafik, dan masih banyak lagi yang tidak
bisa diungkapkan. Padahal kita harusnya bersyukur atas kemerdekaan Indonesia
dan berterima kasih kepada Allah dan pahlawan-pahlawan yang telah banyak
berjasa kepada bangsa Indonesia dengan jalan tetap mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Bagaimana kita bisa mempertahankan kemerdekaan Indonesia? Sedangkan
kini sangat banyak kita jumpai bentrok-bentrok dan pelakunya itu bukanlah orang
asing melainkan sesama bangsa Indonesia dan hal itu sangatlah memalukan. Dengan
kata lain, kita masih terjajah di Negara sendiri. Apakah kita tidak malu dan
tidak merasa bersalah terhadap peahlawan-pahlawan yang telah berjasa terhadap
kita semua? Jangankan malu dan merasa bersalah, pada diri kita sendiri saja
kita tak merasa malu dan tidak merasa bersalah sedikitpun dan salah satu penyebabnya
adalah menyelepehkan aturan-aturan yang telah ditetapkan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Keadilan
di Indonesia saat ini telah menjadi harga mati, yang salah dibenarkan dan yang
benar disalahkan, bagaimana kebenaran itu terungkap sedangkan saat ini
kebenaran selalu dibungkam. Saat ini di Indonesia, segalanya bisa dibeli dengan
uang, apapun itu. Maka dari itu, sering kita jumpai yang lemah selalu ditindas
oleh yang berkuasa tanpa menghargai perasaan orang lain dan selalu saja mereka
mengambil hak-hak yang bukan merupakan miliknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kita
sebagai warga Indonesia yang baik, harus menghentikan semuanya dengan cara
member contoh yang baik terhadap masyarakat di mana pun kita berada., mematuhi
segala aturan bukan karena takut dihukum tapi mematuhi segala aturan karena
kesadaran diri sendiri. Saling menghargai, rendah hati, adil, bijaksan, jujur,
dan amanah adalah sikap dan sifat yang harus kita miliki sebagai warga
Indonesia yang baik. Kalau semua itu telah kita miliki, pasti kehidupan bangsa
Indonesia akan makmur, damai, dan sejahtera. Oleh karena itu, mulai detik ini
kita harus berusaha berubah menjadi yang lebih baik, mulai dari diri sendiri
dan seterusnya. Kalu bukan kita yang mulai, siapa lagi?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Created
by:</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Risya
Risky Nurul Qur’ani</span></div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-4706642707596588782012-04-29T09:59:00.000-07:002013-08-21T01:10:36.038-07:00Senja di kalbu<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent>
</m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">
Biaskan warna sukma</div>
<div class="MsoNormal">
Pudarkan langit jiwa</div>
<div class="MsoNormal">
Hambarkan rasa kasih yang terlebur oleh masa</div>
<div class="MsoNormal">
Larutkan duka dalam sela hati yang berselimut hampa</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Mengikis cinta antara dua insan yang terpadu</div>
<div class="MsoNormal">
Membungkam nurani yang terpaku membisu</div>
<div class="MsoNormal">
Lahirkan kemunafikan kalbu</div>
<div class="MsoNormal">
Menjelma bagai hantu</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Surutkan gelora</div>
<div class="MsoNormal">
Goreskan luka</div>
<div class="MsoNormal">
Cipratkan lara yang menghiasi suasana</div>
<div class="MsoNormal">
Robohkan dinding cinta yang dahulu setia</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Created by”</div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Risya Rizky Nurul
Qur’ani</div>risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2018910809587811342.post-50397596790206507682012-04-29T09:35:00.003-07:002015-04-07T07:47:11.481-07:00Sang Wanita PejuangkuGulita telah merampas cahaya pandangku
Tapaki terjal atas tajamnya kerikil tanpa malu
Berbagai nestapa menerpa tak surutkan kesetiaanmu
Kau masih tetap denganku bersama taklukkan sang benalu
Di hadapan mereka engkau tersenyum begitu manis
Meski sesungguhnya hatimu tengah menangis
Siratkan kalbu yang teriris
Buah hati tercinta menderita telah membuat hatimu miris
Untaian kata cinta yang terlontar dari bibirmu
Membakar naluriku gapai cita serta asaku
Kau juangkan hidupku agar aku mampu
Mampu menjadi seorang wanita pejuang layaknya dirimu duhai ibu sang penyejuk kalbu
Created by”
Risya Fath Light
risya Fath Light_gulita dibalik lembaran goresan penakuhttp://www.blogger.com/profile/10238307426251051374noreply@blogger.com0