Sabtu, 26 Mei 2012

Duhai Peri Kecilku


Juangkan hadirmu di dunia
Buat raga ini nyaris layangkan nyawa
Namun pesona hadirmu telah lukiskan senyum bahagia
Melodi tangisan merdu lenyapkan rasa luka

Masa silih berganti dan terus berlalu
Kau tumbuh menjelma layaknya sang peri kecil nan ayu
Curahkan air mata haru
Pandangi setiap gerikmu yang lucu

Suatu masa tiba menyapa
Memaksa kelamkan warna pandangmu dalam perihnya sakit yang kau rasa
Derita dan jerit tangis menyesakkan dada
Ciptakan ruang lara

Sang dewa maut hadir menjemputmu
Tinggalkan duka serta kenangan yang merasuk setiap kalbu
Pecahkan air mata akan kepergianmu
Namun kepergianmu telah hapuskan segala nestapamu

Created by:
Risya Rizky Nurul Qur’ani

Akhir dari Sebuah Perjuangan


            Langit di luar sana nampak mendung. Awan kelabu turut menghiasi. sang surya seakan enggan menampakkan sinarnya. Suara guntur yang menggelegar seolah mengisyaratkan pertanda hujan akan turun. Tik tik..tik.. selang beberapa detik kemudian , hujan telah membasahi segalanya. Dalam lebatnya hujan, nampaklah seorang gadis bersama tongkatnya yang tengah kebingungan mencari tempat untuk berteduh, seluruh pakaian yang ia kenakan telah basah kuyup. Tubuhnya menggigil,  ia menggigit bibirnya sendiri menahan dingin yang menusuk.
“Aku ingin pulang… tubuhku....” rintihnya. Brukk!!! Tubuh gadis itu ambruk, ia kehilangan keseimbangannya hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.

-***-

Beberapa jam kemudian, gadis itu telah sadar.
“Di mana aku ini?” Tanya gadis itu seraya meraba di sekitarnya.
“Dasar anak bodoh! Kamu bisanya hanya menyusahkan orang tua ya!”, terdengar suara makian dari seorang wanita tua yang mungkin merupakan Ibu dari gadis itu.
“Ibu… kok Ibu ada di sini? Oh ya, Bu, sekarang Lia ada di mana?” Tanya  gadis itu yang ternyata bernama Lia.
“Sekarang kamu ada di rumah sakit, untung saja ada tetangga dekat rumah yang lihat kamu tengah pingsan di pinggir jalan. Malu-maluin aja kamu! Apa kata tetangga nanti, mereka pasti bilang saya tidak becus mengurus kamu,” jelas ibu itu disusul dengan sebuah tamparan yang mendarat langsung ke pipi Lia. Lia meringis, air matanya pun bercucuran, namun ia hanya pasrah diperlakukan seperti itu. Ibunya mengajaknya pulang dengan kasar menarik lengan Lia.
“tunggu dulu, Bu… uang dan semua barang dagangan Lia ada di mana, Bu? Lia ingin membawanya pulang,” Tanya Lia.
“Semua uang hasil daganganmu Ibu pakai untuk bayar biaya perawatanmu, dan semua kripik daganganmu Ibu buang ke tong sampah, puas!” jawab ibunya. Lia hanya menghela nafas panjang tanpa berkomentar sedikit pun. Akhirnya, mereka pun meninggalkan tempat itu.

-***-

Setibanya di rumah, bukannya menyuruh Lia istirahat, malahan Lia menerima sejuta makian yang bertubi-tubi dari ibu dan kakaknya. Kemudian ibunya berkata pada Lia agar menghentikan dagangannya. Selain itu, ibunya juga berkata bahwa ia malu memiliki anak cacat seperti Lia dan tak bisa membanggakan orang tua tak seperti  kakaknya yang telah hampir berhasil menjadi seorang dokter. Bahkan parahnya, ibunya menceritakan bahwa sewaktu kecil, ibunya hampir membuangnya ke tong sampah karena tak menginginkan kehadirannya di dunia ini namun dicegah oleh ayahnya. Seketika Lia tersentak bak disambar oleh petir di siang bolong, ia tak pernah menyangka ibunya akan berkata demikian. Sejak insiden itu, Lia jarang lagi keluar dari kamarnya kecuali untuk mengerjakan tugas-tugas rumahnya sebagai anak yang harus membantu orang tua, dan tak ada secuil pun terbersit dalam hati dan pikirannya rasa benci kepada mereka. Ia tetap menyayangi mereka dengan sepenuh hati.

-***-

Rasa sepi serta hampa telah menerpa kehidupan dan kesehariannya seolah hidup sebatang kara di dunia ini. Tiada lagi canda tawa yang mewarnai hidupnya, keceriaannya telah lenyap. Sepeninggal Ayahnya, Lia tak pernah lagi merasakan hangatnya kasih sayang dari keluarga sebab cuman ayahnyalah orang di dunia ini yang paling menyayanginya. Mengajari Lia untuk berjalan sendiri dengan menggunakan sebuah tongkat dan membacakan sebuah buku cerita untuk Lia pada setiap malamnya merupakan rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh ayahnya sewaktu masih hidup. Semua kenangan itu masih tersimpan rapi dalam benaknya. Malam itu, kenangan itu terus menari-nari dalam otaknya hingga akhirnya ia pun tertidur. Dalam tidurnya, Lia bermimpi  berada di suatu tempat dan mendengar sebuah suara yang memanggil-manggil namanya, suara yang tak asing lagi di kupingnya, suara itulah yang selalu ia cari dan ia rindukan selama ini yang tak lain itu adalah suara ayahnya. Mereka pun bertemu dan saling berangkulan disertai deraian air mata dari keduanya, namun tak lama kemudian sekejap ayahnya menghilang dari dekapannya, Lia pun berteriak histeris memanggil-manggil   ayahnya seolah takut kehilangan ayahnya. Lia pun terbangun dari mimpinya, namun ia menemukan bantalnya telah basah oleh air matanya.

-***-

Keesokan harinya, Bu Risa salah satu tetangganya mampir ke rumahnya menginfokan kepada Lia tentang SLB gratis yang terletak tak jauh dari rumah sanak keluarganya yang mungkin membutuhkan sekitar 10 jam untuk sampai ke tempat itu. Ibunya yang kebetulan lewat, sangat senang dan sungguh berantusias untuk memasukkan Lia ke SLB itu sebab pikirnya dengan tiadanya Lia di rumah ini akan menghilangkan bebannya selama ini. Lia bahagia bercampur sedih sebab impiannya untuk bersekolah telah tergapai namun ia harus tinggal jauh dari ibunya. Lia tak pernah tahu tentang niat yang terselubung dibalik semua itu, andai Lia tahu yang sebenarnya, tentulah hatinya makin terluka.

-***-

Esok harinya, dengan diantarkan oleh Bu Risa yang kebetulan ingin berkunjung ke rumah sanak keluarganya, ia pun pamit kepada Ibu dan kakaknya lalu berangkat meninggalkan keduanya yang nampak bahagia dengan kepergiaan Lia. Sepanjang perjalanan, Lia tak henti-hentinya meneteskan air mata, perasaan haru dan sedih berbaur tak menentu melanda hatinya.

-***-

Setiba di SLB itu, orang-orang di sana menyambut hangat kedatangan Lia sebagai murid baru. Setelah berkenalan dengan semuanya, ia diajak  untuk mengitari seluruh ruangan dan tempat yang ada di SLB itu. Karena malam telah hampir tiba, Bu Risa pun pamit untuk pulang dan tak lupa Lia mengucapkan banyak terima kasih pada Bu Risa.

-***-

Seminggu kemudian, Lia telah dapat beradaptasi pada lingkungan sekitarnya. Bahkan Lia telah dapat menguasai huruf-huruf Braille yang telah diajarkan kepadanya, ia juga telah dapat menggunakan alat-alat elektronik seperti computer dan telepon genggam yang telah diberi semacam alat bantu khusus untuk para kaum tuna netra yaitu sebuah aplikasi yang telah diprogram untuk membacakan tulisan-tulisan yang tertera pada layar kedua alat elektronik tersebut. Program JAWS hanya diperuntukkan pada computer, sedangkan pada telepon genggam menggunakan program Talks. Meski kedua program itu berbeda, namun keduanya memiliki fungsi yang sama.

-***-

Tanpa terasa Lia telah setahun menempuh pendidikan di SLB itu, selama itu pula ia telah banyak mengukir prestasi dan mengharumkan nama SLB itu di tengah masyarakat berkat menjuarai beberapa lomba menulis dan mengarang yang diadakan di berbagai tempat. Hobi dan bakat menulis yang dimilikinya, telah melahirkan beberapa tulisan-tulisan karyanya yang begitu indah untuk dibaca. Lia adalah gadis cerdas yang memiliki daya tangkap yang kuat juga tekun dan merupakan seorang pekerja keras. Maka tak heran lia bisa seperti saat ini. Lia mengirimkan sebagian uang tunai hasil perlombaannya itu kepada ibu dan kakaknya dan sisanya ia sisihkan untuk ditabung agar ia dapat membeli sebuah laptop berhubung computer yang ada di SLB itu cuman satu sedangkan siswa yang ingin menggunakannya sekitar 50 siswa. Meski uang harga laptop lumayan tinggi, namun ia tetap berjuang untuk mendapatkan sebuah laptop sebab ia sangat membutuhkan benda itu sebagai media untuknya menuangkan tulisan-tulisannya itu disbanding ia harus menggunakan setumpuk kertas yang terkadang tulisannya tak dapat dibaca lagi oleh beberapa faktor.

-***-

Sebulan kemudian, tepatnya di hari Minggu yang cerah pada awal bulan Agustus, Lia kedatangan Bu Risa yang membawa sesuatu untuknya yang ternyata ialah sebuah laptop. Setelah menerima pemberian itu, Lia mematung, ia menyangka dirinya tengah bermimpi. Namun setelah Bu Risa menepuk pundaknya, barulah ia sadar bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi. Lia pun spontan mengucapkan terima kasih seraya memeluk Bu Risa. “Suami Ibu telah membeli sebuah laptop, daripada laptop itu hanya menganggur, Ibu pikir mending laptop itu buat kamu yang hobi nulis,” ujarnya merendah. Setelah memberikan laptop itu kepada Lia, Bu Risa pun segera pamit, ia nampak tergesa-gesa sebab ia telah ditunggu oleh suaminya yang telah berkali-kali membunyikan klakson dari mobilnya.

-***-

Sejak ia memiliki sebuah laptop, dengan ditemani oleh sekawan burung yang berkicau di atas pohon yang seolah bernyanyi untuknya, disertai semilir angin yang membelai wajahnya, dan dikelilingi oleh bunga-bunga yang bermekaran di sana-sini, Setiap saat jari-jemarinya seakan tak ingin berhenti bermain di atas tuts laptop yang selalu setia menemaninya untuk menuliskan segala yang bersumber dari berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari namun menarik baginya. Laptop itulah yang akan menjadi saksi bisu atas perjuangan Lia selama ini untuk menjadi seorang penulis sejati.

-***-

Seiring waktu berjalan,  hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tak terasa tahun pun silih berganti. Pada hari ini, Lia tepat menginjak usia 17 tahun, usia yang manis bagi seorang gadis seusianya. Para sahabatnya sepakat untuk menyiapkan sebuah kejutan untuknya. Seorang temannya membawanya ke taman dan mendudukkannya pada sebuah kursi kayu. Meski tak tahu apa-apa, ia hanya mengikut pada permainan temannya itu. Seketika sebuah mahkota yang terbuat dari butiran manik-manik yang telah dirancang sedemikian rupa telah terpasang manis di atas kepalanya, ia Nampak anggun dengan mahkota itu. Lalu ia dikejutkan oleh suara rentetan terompet yang membahana dari segala arah disertai sebuah lagu ulang tahun yang dinyanyikan serempak oleh seluruh temannya. Seorang dari mereka membawa sebuah kue ulang tahun yang di atasnya telah terpasang dua buah lilin sesuai usianya saat ini. Setelah meniup kedua api lilin atas permintaan para temannya itu, Lia mengucapkan banyak terima kasih atas pesta sederhana itu namun sangat berkesan dan berarti buatnya.

-***-

Malam hari pun tiba, sang bulan pun telah hadir di tengah-tengah jutaan bintang yang saling beradu untuk memancarkan kilauan sinarnya. Seperti biasanya, Lia tengah seriusnya mengerjakan tugas sekolahnya yang telah menumpuk, Lalu dilanjutkan oleh kegiatan menulis yang sering ia lakukan setiap malamnya. Uhuk..uhuk… Lia terbatuk, membuat dadanya terasa perih yang luar biasa hingga tubuhnya pun ikut terguncang. Lia meredam suara batuknya dengan menutup mulutnya dengan menggunakan salah satu tangannya agar suara batuknya itu tak mengganggu teman kamarnya yang tengah asyik tidur. Uhuk…! Seketika dari mulutnya memuncratkan cairan merah, cairan itu mengenai tangan dan tepi bibirnya. Bu Rahma istri dari kepala asrama tak sengaja menemukan Lia dangan tubuhnya yang nampak terguncang oleh batuknya. Wajahnya nampak pucat dan ia mendadak demam, dan suhu tubuhnya meningkat melebihi suhu normal pada umumnya. Ketika Bu Rahmah berniat untuk mengambil obat buat Lia, pandangannya tertuju pada bercak-bercak darah yang telah mengotori lantai yang ada  di sekitar tempat Lia duduk saat ini. Matanya terbelalak seolah ia sangat terperanjat pada apa yang baru saja ia lihat tepat di hadapannya. Seketika matanya pun tertuju pada Lia yang masih saja menutupi mulutnya seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya. Bu Rahma memandang Lia dengan seksama, nampak padanya tangan dan mulut Lia terbalur oleh tetesan darah. Ia pun meminta penjelasan pada Lia mengenai hal tersebut, Lia hanya terdiam tak tahu apa yang semestinya ia katakan pada Bu Rahma sebab ia pun tak mengerti apa yang terjadi padanya saat ini. Karena Bu Rahma terus mendesaknya, terpaksa Lia pun berbohong dengan mengatakan bahwa darah itu berasal dari gusi dan bibirnya akibat terbentur pada dinding saat ia tengah berjalan tadi. Nampaknya Bu Rahma agak ragu pada jawaban Lia, ia pun segera beranjak dari tempat itu untuk mengambil sebutir obat dan segelas air putih untuk Lia meski dalam hatinya masih menyisakan beberapa tanya.

-***-

Demikianlah hal itu sering terjadi berulang kali, selera makannya pun telah lenyap, tubuh idealnya kini berubah drastis menjadi tubuh yang tipis dan kurus, dan tak jarang ia selalu saja terjangkit oleh influenza yang hilang timbul. Ia pun memutuskan untuk mencari tahu mengenai kondisinya yang makin hari makin memburuk. Kini ia telah berada tepat di hadapan komputer milik sekolahnya yang telah dihubungkan pada sebuah modem. Setelah sejam berkutat di depan layar computer, akhirnya ia pun berhasil menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Dengan hati miris, ia pun membaca kata demi kata yang tertera pada layar computer tersebut. Ia berusaha mencerna tulisan pada artikel itu dengan seksama. Kini ia pun tahu akan kondisinya saat ini yang ternyata ia tengah mengidap sebuah penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Seusai mematikan computer itu, ia pun beranjak dari tempat itu dan kembali ke kamarnya. Di kamar, tulisan artikel tadi terus berputar-putar memenuhi ruang otaknya seakan menghantuinya. Ia sangat menyesal akan pola hidup buruk yang ia miliki dan seringnya begadang telah membuat dirinya terjangkit oleh penyakit mematikan itu. Ia pun berniat untuk meninggalkan SLB itu sebab ia tak ingin penyakitnya itu menular kepada orang di sekitarnya.

-***-

Pada esok harinya, ia pun telah siap beserta barang-barangnya yang telah ia bereskan semalam untuk meninggalkan SLB itu dengan berat hati. Dengan alasan ingin istirahat, ia pun pamit kepada para penghuni SLB itu yang nampak begitu berat melepaskan kepergian Lia disertai air sungai yang deras mengalir dari pelupuk mata mereka. Lia pun beranjak dari tempat itu dengan menumpangi sebuah bus.

-***-

Sekitar kurang lebih 10 jam kemudian, Lia pun telah tiba di muka rumahnya dengan selamat. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, ia menemukan rumahnya nampak sepi, ibu dan kakaknya pun tak ada di tempat sedangkan pintu rumahnya sama sekali tak terkunci sehingga tadi ia dengan mudahnya menerobos masuk ke dalam rumah tanpa menunggu ibu atau kakaknya untuk membukakan pintu, ia pun berpikir bahwa mungkin ibunya lagi tengah berbelanja di kios Pak Jalil yang tak jauh dari rumahnya itu. Saat Lia masuk ke kamarnya dan menuju ke tempat tidurnya, betapa terkejutnya ia menemukan kamarnya telah disulap menjadi sebuah gudang. Hatinya pun menangis sejadi-jadinya. Karena tempat itu dipenuhi oleh debu, Lia spontan terbatuk seraya keluar dari gudang itu. Pada saat yang bersamaan, ibu dan kakaknya telah datang, mereka sangat terperanjat akan kehadiran Lia yang kini berada tepat di hadapan keduanya. Tiba-tiba pandangan mereka mengarah pada lantai putih yang telah ternoda oleh tetesan-tetesan darah di sekitar Lia berpijak saat ini. Seketika itu pun Lia diusir oleh kakaknya sebab kakaknya yang merupakan seorang mahasiswa kedokteran dan tentunya ia tahu persis akan penyakit Lia itu. Ibunya yang tak tahu menahu akan penyakit itu hanya terdiam mendengar penjelasan dari kakak Lia bahwa Lia tengah mengidap penyakit Tuberklosis atau disingkat dengan nama TBC yang dengan mudah menular pada orang di sekelilingnya. Kakaknya pun menambahkan pada ibunya bahwa penyakit itu bisa mematikan penderitanya. Setelah mengetahui hal itu, ibunya pun ikut mengusirnya sebab ia takut tertular oleh  penyakit itu. Lia hanya tertunduk lesu disertai air sungai yang mengalir dari kedua matanya.Dengan langkah gontai, Lia pun menyeretkan langkahnya  meninggalkan keduanya.

-***-

Di luar sana langit jingga telah memudar, yang kini tergantikan oleh langit yang kelam namun nampak benderang sebab kilat yang menyambar-nyambar. Percikan-percikan air dari langit seakan melukiskan nestapanya serta hati yang menangis. Di tengah perjalanan, sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan angin pada jalan yang ada di hadapan Lia. Brakk…!! Lia terhempas ke pinggir jalan, darah segar mengucur dari seluruh tubuhnya, barang-barannya pun berserakan di sekitarnya. Seorang pria dengan menggunakan setelan jas hitam turun dari mobilnya, ia menghampiri Lia yang terkapar tak berdaya. Pria itu pun mengangkat tubuh serta barang-barang Lia menuju ke mobilnya. Pria itu pun memacu mobilnya dengan kecepatan kilat menuju ke rumah sakit terdekat.

-***-

Setibanya di sana, Lia pun segera ditindaki oleh dokter-dokter di  rumah sakit itu, nampaknya ia mesti dioperasi malam itu juga sebab ia mengalami pendarahan hebat dan kedua kakinya patah. Setelah pria itu menandatangani surat persetujuan tindak operasi tersebut, Lia pun dioperasi yang mungkin memakan waktu sekitar 4 jam. Sambil menunggu Lia yang tengah dioperasi, ia menghidupkan laptop milik Lia berharap dapat menemukan data identitas Lia. Sudah sejam ia mengutak-atik laptop itu, namun hasilnya nihil, usahanya sia-sia belaka. Namun ia menemukan sebuah folder yang bernama aku dan seluruh kenangan. Pria itu tercengang setelah membuka folder tersebut yang ternyata di dalamnya berisi puluhan tulisan-tulisan karya Lia. Seketika perhatiannya tertuju pada sebuah novel karya Lia yang berjudul My Life Story, ia pun segera membacanya. Beberapa jam kemudian, operasi pun telah selesai, namun Lia tengah mengalami koma. Setelah dipersilahkan oleh salah satu dokter, pria itu pun masuk untuk melihat kondisi Lia yang sangat memprihatinkan.

-***-

Telah sebulan Lia mengalami koma dan terbaring di rumah sakit, belum juga ada tanda-tanda bahwa Lia akan sadar, namun pria itu tetap setia menunggui Lia hingga akan sadar dari komanya.
“Bangunlah… aku menunggumu, kehadiranmu mengenalkanku pada cinta dan ketulusan, aku menyayangimu meski aku tak mengenalmu” bisiknya dengan lembut di kuping Lia. Seketika Lia terbangun dari komanya memecahkan keheningan ruangan tersebut. pria itu bersujud tanda syukur pada Sang Pencipta.
“Kamu siapa?” Tanya Lia yang menyadari akan kehadiran seseorang selain dirinya di ruangan tersebut. Pria itu pun memperkenalkan dirinya bahwa ia bernama Firman, tak lupa ia juga meminta maaf atas kecelakaan yang menimpa Lia tempo hari. Selain itu, Firman sempat memuji atas karya-karya Lia, dan ia menawarkan pada Lia untuk menerbitkan seluruh karya Lia sebab kebetulan ia adalah seorang penerbit. Lia tersenyum anggun, namun mendadak wajahnya berubah murung. Melihat hal itu, Firman pun menangkap bahwa Lia tengah memiliki sebuah masalah, ia pun menanyakan hal itu pada Lia dan menawarkan dirinya untuk menjadi pendengar sejati atas masalah yang tengah Lia hadapi saat ini. Sejenak Lia tertunduk, ia menitikkan air mata, ia pun menceritakan segala masalahnya. Setelah mendengar cerita dari Lia, Firman turut larut seakan dapat merasakan kesedihan Lia. Sebenarnya Firman telah mengetahui sebagian seluk-beluk kehidupan Lia dari novel My Life Story karya Lia, tapi ia hanya mengira cerita nobel itu hanyalah sebuah fiktif belaka. Kemudian mereka berdua pun terlibat dalam sebuah percakapan mengenai kehidupan mereka masing-masing. Setelah mengakhiri percakapan, Firman pun mengajak Lia untuk ikut bersamanya besok malam. Namun Lia menolak dengan alasan tak enak hati dan takut akan gunjingan dari tetangga Firman sebab ia tahu dari percakapan mereka tadi bahwa Firman  adalah orang terpandang di tengah warga sekitarnya apalagi orang tuanya telah tiada sehingga ia hanya tinggal berdua bersama seorang pembantunya. Namun Firman tetap bersikeras agar Lia bisa ikut bersamanya, ia menegaskan kepada Lia bahwa ia bukanlah orang jahat dan ia juga mengatakan bahwa ia akan menyiapkan sebuah kejutan buat Lia. Mendengar suara Firman yang memelas, Lia pun memilih untuk menyerah dan mengalah pada Firman seraya berusaha turun dari ranjang namun dicegah oleh Firman dengan mengatakan padanya bahwa ia tak bisa lagi berjalan dengan kedua kakinya itu. Lia yang telah mengetahui hal itu, hanya dapat menghela nafas panjang.

-***-

Pada esok harinya di rumah Firman, mereka disambut riuh dengan hangat oleh seluruh rekan-rekan Firman beserta anak buahnya, Lia tak menyangka akan hal itu sebab ia tak tahu apa-apa. Kemudian sejenak tiba-tiba seluruh orang yang ada di rumah itu mendadak terdiam terkecuali Firman yang ingin menyampaikan sesuatu kepada seluruh tamu, khususnya kepada Lia.
“Lia, selama aku menungguimu dalam komamu, selama itu pula aku makin tak ingin jauh darimu, aku ingin selalu menemanimu dalam sedih dan bahagiamu, hatimu sungguh cantik, dan aku telah mencintaimu dengan apa adanya, apa pun yang terjadi padamu aku tak peduli, aku merelakan diriku untukmu. Di hari berbahagia ini, di depan penghulu dan para saksi, maukah engkau menjadi pendamping dunia serta akhiratku? Aku mohon, jangan katakan tidak padaku karena hatiku akan terluka,” kata Firman dengan bersungguh-sungguh. Lia pun sesaat terdiam yang kemudian mengiyakan pernyataan dari Firman seraya tersenyum manis pada Firman. Seluruh orang yang hadir di tempat itu pun ikut terharu dan meneteskan air mata bahagia. Keduanya pun menikah dengan mahar 100 gram emas beserta seperangkat alat sholat, mereka pun sah menjadi sepasang suami istri. Ternyata Firman telah merencanakan dan mempersiapkan semua itu hanya dalam sehari.

-***-

Sang waktu pun terus bergulir, tanpa terasa telah 2 tahun mereka arungi bahtera rumah tangga bersama-sama dengan harmonis. Dengan sabar dan penuh tulus kasih sayang, Firman merawat Lia sang belahan jiwanya, ia tak pernah merasa jijik apalagi takut pada penyakit yang Lia miliki yang suatu saat bisa saja menular padanya, ia tak menghiraukan hal itu. Kondisi Lia saat ini pun berangsur telah membaik,. Namun seminggu belakangan ini, Lia merasakan ada sesuatu yang janggal, ia merasa ada seseorang yang selalu mengikutinya ke mana dan di mana pun, namun saat ia menanyakan hal itu kepada suami dan pembantunya, mereka hanya menjawab bahwa tak ada seorang pun di rumah itu selain mereka bertiga dan mereka meyakinkan pada Lia bahwa hal itu hanyalah perasaannya saja. Hingga tiba pada suatu malam, sesuatu yang ia rasakan itu terjadi. Pada malam itu, Lia dan Firman tengah asyik ngobrol membahas mengenai pameran buku yang akan diadakan oleh Firman yang di dalamnya hanyalah khusus untuk buku-buku karya Lia yang semuanya telah menjadi buku-buku terlaris di tengah publik saat ini. Karena keasyikan ngobrol hingga larut malam, Firman pun terlelap di samping Lia yang masih saja terjaga. Lia pun mengambil laptopnya yang ada tepat di atas sebuah meja kecil di samping ranjangnya, ia pun melanjutkan tulisannya yang telah hampir selesai, 2 jam kemudian novel itu pun telah selesai. Ketika Lia hendak tidur, seketika suara hatinya berbicara seakan menuntunnya agar ia segera mengambil air wudhu dan mendirikan sholat sebanyak dua raka’at. Ia pun mengikuti suara hatinya itu, dengan bersusah-payah ia pun berusaha menggapai kursi rodanya dan naik ke atasnya. Setelah mengambil air wudhu dari toilet yang ada di dalam kamarnya, ia pun sholat duduk di atas kursi rodanya itu. Setelah itu, ia pun kembali ke ranjangnya dan berbaring di atasnya. Sesosok gaib datang menghampirinya dan menyampaikan sesuatu kepada Lia. Lia yang begitu terkejut berusaha tenang, dengan lembut tanpa membangunkan suaminya itu, ia pun mengecup kening sang suami tercinta disertai air mata yang menetes dari kedua matanya. Kemudian ia mengambil telpon genggamnya itu dan menuliskan sebuah pesan yang ditujukan kepada nomor suaminya itu. Ia pun kembali berbaring di tempatnya, kedua tangannya ia tumpukkan di atas tubuhnya, dan dengan perlahan ia pun memejamkan mata seraya mengukir sebuah senyum bahagia di bibirnya.

-***-

Terdengar samar suara adzan dikumandangkan, Firman pun terbangun, ia memandang istrinya yang masih terbaring di sampingnya. Ia heran tak biasanya Lia masih tertidur jam segini, biasanya istrinyalah yang bangun terlebih dahulu untuk membangunkannya sholat subuh. Ia pun menepuk lengan Lia, namun Lia tak meresponnya, ia pun berpikir bahwa mungkin Lia sangat kecapaian, ia pun bangkit untuk mengerjakan sholat subuh. Seusai sholat, ia mengambil telpon genggamnya yang ada di saku celananya, ia pun menemukan sebuah pesan baru pada telponnya itu dan segera membacanya. Betapa terkejutnya ia membaca pesan itu, di pesan itu Lia menuliskan bahwa ia telah akan pergi untuk selamanya, dan ia berpesan agar novel terakhir yang ia buat yang berjudul Surat Untuk ibu diantarkan kepada ibunya. Selain itu, ia berpesan kepada Firman agar melanjutkan perjuangannya untuk mendirikan sebuah yayasan penyandang cacat untuk kalangan orang yang tak mampu di samping cita-citanya menjadi seorang penulis. Setelah membaca pesan itu, Firman segera merangkul Lia yang telah tak bernyawa lagi diiringi deraian air mata duka.

-***-

Setelah Lia dimakamkan, Firman segera menuju ke gedung pameran untuk meresmikan pameran tersebut sebab ia telah berjanji kepada Lia meski ia telah tiada. Beberapa jam kemudian, acara pameran itu pun berakhir. Ia pun menancapkan gas mobilnya menuju ke rumah ibu Lia. Setibanya di rumah itu, ia dibukakan pintu oleh ibu Lia dan mempersilahkan Firman untuk masuk ke dalam. Firman menolak dengan alasan terburu-buru, ia langsung memberi novel itu dan menyampaikan bahwa Lia baru saja berpulang ke rahmatullah, lalu beranjak meninggalkan rumah itu.

-***-

Karena penasaran dengan novel itu, ibu Lia pun segera membacanya. Setelah selesai membaca novel itu, ia segera berlari dari rumahnya dengan terbirit-birit bagai kesetanan, di sepanjang jalan ia tak henti-hentinya memanggil nama Lia disertai kata maaf berulang-ulang kali terlontar dari mulutnya. BRakk!!! Sebuah truk telah menabraknya, tubuhnya terlempar ke sebuah sungai yang arusnya begitu deras sehingga tubuh yang telah tak bernyawa lagi terbawa oleh arus sungai tersebut.

-***-

Sebulan kemudian, terdengar kabar bahwa mayat ibu Lia hingga kini belum ditemukan dan kakak Lia tengah di rawat di salah satu rumah sakit jiwa yang disebabkan frustasi karena tak sanggup lagi membiayai sekolah kedokterannya itu.  Pada alam yang berbeda, Lia beserta sang ayah tengah berbahagia di atas langit sana.

Sabtu, 19 Mei 2012

Oh sepatuku, mengapa sih engkau sering menyiksaku?


“Ma, beliin aku sepatu yang baru dong, soalnya sepatuku berwarna -warni nih, padahal di peraturan SD aku setiap siswa diwajibkan untuk menggunakan sepatu berwarna hitam polos,” rengekku yang saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SD dan Mama hanya tersenyum-senyum tanpa berkomentar sepatah kata pun. Pada keesokan harinya, bukannya mendapatkan sepatu baru dari Mama, beliau hanya memberiku sepasang sepatu bekas pemberian dari tetangga yang memiliki segudang sepatu bermerek. Sepatu itu memang bagus dan menarik buatku tetapi sepatu itu terhiaskan oleh garis tebal berwarna putih sehingga aku pun protes kepada Mama dengan mengatakan bahwa sepatu itu memiliki warna lain selain warna hitam. Tiba-tiba Papa menghampiri kami dan memberi sebuah solusi yang cukup unik. Papa pun mengambil sepatu itu kemudian ia mengambil sebuah spidol hitam permanen. Sret..sret… dengan serius Papa menghitamkan bagian yang putih dari sepatu itu dengan spidol tersebut dan hasilnya sepatu itu kini benar-benar telah menjadi sepasang sepatu yang berwarnakan hitam polos. Aku dan mama pun hanya tertawa melihat hal itu.
***
Seiring waktu yang terus bergulir, tak terasa kini aku telah tumbuh menjadi seorang remaja dan selama itu pula aku telah bergonta-ganti sepatu baik itu sepatu yang baru maupun yang bekas, yah.. yang penting sesuai peraturan yang ad di sekolah aku. Sebenarnya aku telah merepotkan kedua orang tuaku dengan seringnya aku meminta untuk bergonta-ganti sepatu dan bukannya aku ingin atau berniat untuk terus berkali-kali mengganti sepatuku namun dengan memiliki kaki yang berukuran panjang yang pertambahan ukurannya cukup cepat menjadi alasan dasar mengapa aku terpaksa harus selalu berganti sepatu. Bahkan jari- jemariku sempat membengkak ketika aku menggunakan sepatuku yang telah begitu sempit. Saat itu aku sengaja menahan rasa sakit tersebut tanpa melaporkan hal itu kepada orang tuaku sebab aku merasa tak enak hati kepada keduanya yang telah selalu berusaha dan berjuang untuk mendapatkan sepatu buatku. Namun ujung-ujungnya, mereka tahu akan hal tersebut setelah memperhatikan jemari kaki dan cara berjalanku yang Nampak agak perlahan-lahan dalam melangkah dan terkadang aku meringis setiap menapakkan kakiku di atas lantai, begitu pun ketika aku mengikuti pelajaran olahraga yang selalu memerintahkan kepada siswa-siswa untuk berlari-lari mengelilingi gedung sekolah yang cukup luas, oh.. sempurnalah penderitaanku. Namun dari kejadian tersebut, akhirnya kedua orang tuaku membelikanku sepasang sepatu yang berukuran lebih besar dari ukuran kakiku yang sebenarnya, hal itu bertujuan agar aku tetap merasa nyaman memakai sepatuku setiap ukuran kakiku bertambah dan juga agar tak merepotkan mereka lagi. Dan hal itu sering mereka lakukan dalam membeli sepatu buatku hingga saat ini, yah.. sudah tahu tujuan dari mereka kan?!! Hahaha…!!

Kamis, 17 Mei 2012

Robbi, pantaskah aku?


Hitamnya setangkai  bunga putih

            Kemiskinan telah merajalela di Negeri Indonesia ini. Sehingga tak ayal kemiskinan kerap kali menjadi sebuah alasan para ahli kemaksiatan untuk bertahan hidup di dunia ini. Dahulu wanita merupakan harta yang sangat berharga dan tak dapat ternilai oleh apapun. Meskipun ditukar dengan segudang berlian dan batang emas, tetap saja wanita beserta kehormatannya tak dapat disandingkan dengan semua itu sehingga para kaum wanita begitu berusaha untuk menjaga dan memelihara kehormatan mereka dengan penuh kehati-hatian. Namun sayangnya kini yang terjadi di Negri ini, kehormatan wanita telah menjadi harga mati bagi sebagian mereka, lagi-lagi dan tak lain hal itu merupakan salah satu factor dari kemiskinan sebagai dalang semua itu. Hanya untuk mencari sesuap nasi, mereka terpaksa menjajahkan diri mereka sebagai budak nafsu bagi para lelaki hidung belang yang bisanya hanya mengandalkan uang untuk mencari kenikmatan sesaat. Dengan hanya bermodal tubuh dan penampilan yang menggairahkan telah menjadi umpan bagi mereka untuk mengait dan membangkitkan hasrat para kaum lelaki yang memiliki iman lemah dan rapuh.
Dari langit biru di kota Makassar masih menyisakan percikan-percikan air  yang jatuh tepat pada permukaan bumi yang telah basah sedari tadi oleh genangan-genangan air hujan. Terlukis sebuah pelangi yang tersusun rapi oleh beberapa paduan warna dengan serasi sehingga menciptakan pemandangan yang indah nan elok. Namun keindahan itu akan bertahan tak lama lagi sebab cahaya sang fajar telah memudar hingga menjadikan langit biru tergantikan oleh langit jingga yang Nampak keemasan. Sayup-sayup terdengar suara adzan yang mengisyaratkan pertanda waktu sholat maghrib telah masuk. Seorang lelaki berseragam polisi Nampak tergesa-gesa turun dari motor patrolinya. Lelaki tampan itu memarkir motornya tepat di sekitar pekarangan sebuah mesjid besar yang ada di kota itu. Setelah mengambil air wudhu pada sebuah pancuran air yang ada di mesjid tersebut, ia segera mempercepat langkahnya untuk memasuki mesjid itu. Ia berdiri pada baris depan bersama jama’ah mesjid yang lain. Selang beberapa menit kemudian, sholat maghrib pun telah usai, namun lelaki itu saja masih duduk bersimpuh dengan tenangnya seraya menadahkan tangannya ke atas. Ia tengah berdoa dengan khusyuk disertai air mata yang jatuh berderai di atas kedua telapak tangannya. Bibirnya yang merah ranum tak henti-hentinya menuturkan untaian kata-kata dengan melodi lembut layaknya seorang kekasih yang merayu pada pujaan hatinya. Setelah mengakhiri doanya, lelaki itu mengambil sebuah qur’an yang berukuran kecil dari saku celananya yang selalu ia bawa kemana pun. Lelaki itu kemudian membaca tulisan-tulisan yang ada di dalam kitab itu dengan lantunan yang syahdu nan merdu, wajahnya Nampak berseri-seri setiap ia membaca kalimat demi kalimat seolah mengerti makna yang tersirat dalam bacaan tersebut. tanpa terasa waktu terus bergulir, lelaki itu menghentikan bacaannya tersebut dan melihat jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya yang kini telah menunjukkan pukul 19.30 pm. Ia segera bangkit dari duduknya dan menuju kea arah tempat mike terletak tepat di hadapan imam biasanya berdiri dalam memimpin sholat jama’ah. Ia berdiri di tempat itu bukanlah untuk menjadi imam sholat, akan tetapi berdiri untuk mengumandangkan adzan agar menyeru kepada seluruh orang untuk segera menunaikan sholat isya yang tak lama lagi akan dimulai. Seusai menunaikan sholat isya, tak lama kemudian satu persatu dari jama’ah tersebut meninggalkan mesjid termasuk lelaki itu.

Jalan demi jalam ia susuri ditemani oleh cahaya bulan dan sinar lampu jalan yang menerangi sepanjang jalanan kota tersebut. malam itu lelaki tersebut bertugas untuk berpatroli di sekitar salah satu pantai ternama yang ada di kota itu. Ketika ia berniat mampir di tempat itu untuk mengisi perut pada sebuah warung, ia dihampiri oleh seorang wanita cantik yang berpakaian sangat minim yang bertujuan memamerkan keindahan tubuhnya yang aduhai di hadapan lelaki tersebut. wanita itu menyangka akan menerima respon dari lelaki itu, namun ternyata perkiraannya meleset dan bahkan ia ditegur oleh lelaki itu agar mengenakan pakaian yang dapat menutup aurat. Wajah wanita itu seketika merah padam,
“Dasar pria tak dapat diuntung! Kamu tak usah munafik deh, mau berlagak sok suci di hadapanku? Tak usah ceramahin aku, padahal sebenarnya kamu itu tak jauh beda dari polisi-polisi lain yang senangnya bermain dengan beberapa wanita cantik sepertiku,” maki wanita itu seraya bergegas berlalu dari tempat itu.
Setelah menanyakan mengenai wanita itu kepada pemilik warung tersebut, barulah lelaki itu tahu bahwa wanita tersebut adalah seorang wanita tunasusila yang sering mangkal di sekitar warung itu untuk menggoda pengunjung yang sebagian merupakan kaum adam.
“Wanita itu bernama Flora, Pak!” jelas pemilik warung tersebut.
“Kasihan wanita itu, masih muda juga cantik tetapi ia harus masuk dalam dunia yang kelam,” gumam lelaki itu.
Kemudian lelaki itu segera menghabiskan seluruh makanannya lalu beranjak dari warung itu dan kembali berpatroli hingga larut malam.
-***-

“Sialan! Polisi brengsek! Gara-gara dia, aku tak dapat penghasilan malam ini!” umpatnya ketika Flora kembali ke kostnya.
Setelah berganti pakaian, ia segera membasuh wajahnya yang putih itu dengan menggunakan sabun pencuci muka lalu membilasnya. Kemudian ia berbaring pada kasur kecil yang ada di kamar kostnya itu,
“Ayah… Ibu… andai kalian masih hidup di dunia ini tentu kehidupan Flora saat ini tak seperti ini, Flora terpaksa melakukan semua ini untuk bertahan hidup dan membiayai kuliah Flora saat ini,” bisiknya lirih seraya memandangi sebingkai foto keluarga yang satu-satunya ia miliki.
Seketika ingatannya kembali pada kejadian 3 tahun silam…
-***-

Ketika itu Flora baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas yang ada di kampungnya. Di saat Flora beserta kedua orang tuanya tengah tidur pulas di rumahnya, tabung gas yang ada di dapurnya itu meledak dan ditambah lagi ibu Flora lupa bahwa ia tengah memasak sepanci nasi sehingga ia pun juga lupa mematikan kompor sebelum ia tidur bersama suami serta anaknya. Sang jago merah seketika hadir di tengah-tangah mereka dan melahap apa yang ada di sekitarnya. Flora yang terbangun oleh hawa panas yang ditimbulkan dari api segera bangkit dan mencari kedua orang tuanya yang ada di kamar mereka dan terletak tak jauh dari ruang dapur yang kini telah menjadi ruang yang mengerikan. Alangkah terkejutnya ia telah menemukan kedua orang tuanya yang tengah terbaring tak bernyawa lagi, nampaknya mereka telah banyak menghirup gas LPG dan kepulan asap yang berasal dari ruang dapur. Flora tersentak, air matanya bercucuran seraya tak melepas pelukan pada tubuh kedua orang tuanya tersebut. namun selang tak lama kemudian, salah satu tetangganya datang menghampirinya dan segera menarik Flora untuk keluar dari amukan api yang menjalar dengan cepatnya, akan tetapi Flora tak kuasa bangkit dari tempat itu seolah tubuhnya terasa begitu lemah dan kaku sehingga seorang tetangganya itu terpaksa membopongnya keluar. Hanya dalam hitungan sejam, rumah serta perabotannya telah musnah yang ditelan oleh sang jago merah. Flora hanya dapat berdiri terpaku memandang puing-puing rumahnya yang kini ada di depan matanya, ia menggeleng seakan tak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kotak abu-abu yang terbuat dari besi, ia segera mengambil kotak itu dan membukanya yang ternyata berisi lembaran-lembaran ijazah dan selembar foto keluarganya. Ia baru ingat bahwa yang menyimpan semua itu adalah ddirinya sendiri yang saat itu ia tengah sibuk menata barang-barang yang ada di lemarinya dan ia lupa memasukkan kotak itu kembali ke tempat semula. Dari kejauhan tempat Flora tengah berdiri, sepasang mata tengah memperhatikannya sedari tadi,
“Hai, Dik! Aku tahu pasti saat ini kamu lagi bersedih dan bingung kan? Tentunya kamu tak tahu harus tinggal di mana bukan?” tegur seorang pria misterius yang tengah mencoba mendekati Flora.
“Siapa kamu? Aku tak sama sekali tak mengenalmu” ujar Flora menjauhi pria asing itu.
“Tenanglah, Dik! Aku orang baik dan aku hanya berusaha untuk membantu mencari tempat tinggal yang layak untuk wanita cantik sepertimu. Ayolah mendekat denganku, jangan sungkan!” bujuk pria itu.
Seketika sebuah benda tumpul menghujam tengkuknya dari arah belakang, hujaman itu telah membuat pandangannya berkunang-kunang dan akhirnya jatuh tersungkur di atas tanah.
-***-

Suara hempasan pintu telah membuat Flora terjaga, ia menemukan dirinya tengah berada di sebuah ruangan yang tepatnya bisa dikatakan sebuah kamar tidur sebab di kamar itu telah tersedia sebuah ranjang besar beserta perabotannya. Cat kuning telah mewarnai seluruh dinding yang ada di kamar itu. Ia begitu terkejut mendapatkan dirinya yang telah berganti kostum dengan mengenakan sebuah gaun tidur yang terbuat dari sutra. Sebuah cermin yang ada tepat di hadapannya memantulkan bayangan dirinya yang telah terdandan sedemikian rupawan.
“Wah, kini kamu Nampak lebih cantik dengan penampilan itu, tak salah si Roni membawa seorang gadis sepertimu,” ujar seorang ibu tua yang saat ini tengah berdiri di depan pintu kamar.
“Kamu siapa? Mengapa kalian membawaku ke tempat ini? Aku ingin pergi dari sini!”
Flora berusaha lari menuju ke pintu, namun usahanya sia-sia belaka, ia dihadang oleh dua pria yang berbadan besar dan berotot kekar. Ibu tua beserta kedua pria itu serempak tertawa terbahak-bahak menyaksikan usaha Flora yang tak berhasil keluar dari kamar itu.
“Bersikap manislah kamu sebab tak lama lagi, seseorang lelaki akan datang menghampirimu dan kamu harus melayaninya dengan memuaskan tamu itu, ngerti kamu!” tegas ibu itu seraya menjambak rambut Flora dengan kasar.
Mereka pun meninggalkan Flora sendirian yang tengah menangis terisak-isak di atastempat tidur. Flora masih saja terus menangis, ia tak rela kehormatannya harus diambil dengan paksa oleh orang asing yang sama sekali ia tak kenal sebelumnya. Tak lama kemudian seorang pria masuk ke kamar itu dan mendekati Flora yang tengah duduk menghayal di atas tempat tidur tersebut.
“Hai cantik! Orang baru ya? Nampaknya kamu seorang gadis yang masih perawan, yuk aku ajarin kamu cara bercinta dengan baik,” rayu pria itu seraya mendorong tubuh Flora lalu menindihnya.
“Lepas! Lepaskan aku! Aku bukan seorang pelacur, aku mohon lepaskan aku!”
Flora meronta-ronta berusaha mendorong tubuh pria itu, namun Flora kalah, tubuhnya terlalu lemah untuk menyingkirkan tubuh pria itu.

Sejam kemudian, pria itu telah kelelahan dan hingga akhirnya tertidur. Sementara itu, Flora segera masuk ke dalam toilet yang ada di kamar tersebut. di dalam toilet, ia membersihkan seluruh tubuhnya dengan diguyur oleh air shower yang terpasang di dinding toilet itu tepatnya berada di atasnya.
“Duniaku telah hancur… aku telah ternoda, hina, dan telah menjadi sampah masyarakat, kehormatan Flora telah lenyap Ayah… Ibu…” ucapnya dengan terisak.
Begitulah yang terjadi dalam kehidupannya, telah banyak air mata yang harus ia kuras atas penderitanya itu. Kini hidupnya bagai berada dalam penjara, ia tak bisa ke mana-mana apalagi untuk kabur dari rumah itu. Selain itu, ia sama sekali tak pernah diupah oleh sang ibu germo yang begitu galak.
-***-

“Huh…! Akhirnya aku berhasil,” kata Flora dengan wajah penuh kemenangan.
Ia berhasil kabur dari rumah tersebut ketika seluruh penghuni rumah tengah lengah. Flora kabur dengan membawa sejumlah uang yang ia curi dari kamar sang germo serta kotak abu-abu miliknya.
“Untung saja si bang Roni tak meninggalkan kotak ini, tapi bodohnya kenapa ya ia harus memberi kotak ini kepada germo sialan itu ya?! Tapi syukurlah, kotak ini berhasil kembali ke genggamanku. Dengan ijazah dan sejumlah uang yang ada, aku akan melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan, aku akan melakukan segala cara untuk mendapat impianku!” gumamnya pada dirinya sendiri.
Sekitar 2 jam kemudian setelah berkeliling menyelusuri jalan kota yang begitu ramai, ia berhasil menemukan sebuah kost dengan harga yang lumayan murah. Malam itu Flora terpaksa berbaring di atas lantai yang begitu dingin tanpa menggunakan sehelai alas, namun ia mengabaikan rasa dingin yang melanda sekujur tubuhnya sebab sedari tadi ia telah terlalu kecapaian.

Pada keesokan harinya, Flora menuju ke sebuah universitas yang ada di kota dan mendaftarkan dirinya untuk menjadi salah satu mahasiswa di universitas tersebut. semestinya Flora saat ini telah menjadi seorang mahasiswa angkatan tahun lalu, sayangnya karena peristiwa yang menimpanya telah menghambat langkahnya untuk melanjutkan pendidikannya. Namun ia berpikir bahwa tak ada kata terlambat untuk menggapai semua itu. Setelah menyelesaikan seluruh urusannya di universitas tersebut, ia beranjak meninggalkan tempat itu. Di perjalanan menuju pulang, ia mampir ke sebuah pasar yang tak jauh dari kostnya untuk membeli beberapa barang buat kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebulan kemudian setelah mengikuti beberapa tes yang ada di universitas itu, akhirnya hasil tes tersebut diumumkan pada hari ini. Dengan berdesak-desakan  bersama beberapa calon mahasiswa yang lain, Flora berusaha mengamati dan mencari nomor ujian beserta namanya pada sebuah kertas yang terpasang lebar pada papan pengumuman yang ada di universitas itu.
“Flora Putri Cantika… yes! Namaku berada di deretan yang teratas.” Teriaknya kegirangan membuat orang-orang di sekitarnya menjadi sewot.
“Eh mbak ini, kalau lagi senang, jangan teriak kencang-kencang di dekat kuping kami dong! Berisik tau!” tegur salah seorang dari mereka.
Flora hanya cengingisan dan segera meminta maaf kepada mereka. Ketika Flora hendak pulang, seorang wanita seusianya dengan suara lantang memanggilnya, ia seketika menoleh kea rah sumber suara tersebut.
“Kamu Flora bukan?!” Tanya wanita itu memastikan seraya menghampiri Flora.
“Iya, aku Flora. Ohya, kalau tak salah kamu salah satu tetangga kost aku kan?” jawabnya dengan memperhatikan seksama wajah wanita itu.
“Seratus buat kamu. Tapi ngomong-ngomong kamu juga kuliah di sini? Dan tentunya kamu seorang mahasiswa baru kan? Ohya, kayaknya kamu belum tahu nama aku kan! Kenalin nama aku Lolita, kamu bisa manggil aku Loli,”
“Iya, Loli, senang berkenalan denganmu, tapi kamu tahu nama aku dari mana?”
“Aku tahu nama kamu dari ibu pemilik kost, katanya kamu juga kuliah di tempat ini, dia memberitahu hal itu kepadaku sebab beliau juga tahu kalau aku kuliah di sini,”
Setelah ngobrol panjang lebar, mereka memutuskan untuk pulang bareng dan kebetulan si Loli memiliki sebuah motor yang selalu ia gunakan untuk ke mana pun, termasuk ke kampus.
-***-

Tak seperti biasanya Flora tampak murung dan lebih banyak diam dari sebelumnya. Di sebuah taman yang ada di kampusnya, Flora duduk manis di atas sebuah bangku panjang, pandangannya kosong seraya memainkan ujung rambutnya yang berwarna kecokelatan.
“Hei Flo! Pagi gini kamu udah ngelamun, mau jadi apa kamu?” ujar Loli membuyarkan lamunan Flora.
“mmm… gak kok, aku lagi sumpek nih! Aku lagi punya masalah,”
“Masalah apa, Flo? Kamu bilang aja mengenai masalah kamu itu, siapa tahu aku bisa bantu,”
Sejenak Flora terdiam, kemudian menatap wajah sahabatnya itu dalam-dalam seraya menghela nafas panjang,
“Duit simpananku semuanya udah habis membiayai kuliah dan kebutuhanku sehari-hari. Aku tak tahu harus mencari duit di mana coba? Duit curian itu udah ludes!”
“Duit curian???!! Kamu udah nyolong? Maksud kamu, aku tak ngerti, Flo!”
Loli makin bingung, hingga akhirnya dengan berat hati Flora menceritakan segala kejadian yang pernah ia alami.
“Flo, aku turut sedih setelah mendengar kejadian yang menimpamu, tapi… saat ini aku belum bisa membantu kamu, maaf ya, Flo… belakangan ini, pelanggan aku lagi sepi nih!” ujar Loli yang seketika merangkul tubuh Flora.
“Iya, gak apa-apa kok, Lo! Kamu tak usah merasa bersalah gitu deh, tapi ngomong-ngomong apa maksud kamu dengan pelanggan? Kamu berdagang, bisnis atau semacamnya, seperti itu bukan?!” tanyanya penasaran.
“Aku jual diri, Flo! Tapi bedanya, aku gak dipegang oleh germo seperti kisah kamu itu, aku menawarkan diriku kepada lelaki hidung belang yang ada di sekitar pantai,” jawabnya seraya memalingkan wajahnya dari Flora.
“Hah!! Apa??!! Kamu menjual diri kamu sendiri?! Gila kamu, Lo!”
“Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini, kedua orang tuaku udah lama bercerai, dan aku sendiri tak dipedulikan lagi oleh mereka, Flo! Siapa lagi yang harus biayain hidup dan kuliah aku kalau bukan aku sendiri!! Kamu harus tahu dan ngerti bahwa dunia untuk seperti kita-kita ini begitu keras, Flo! Kita harus bisa berdiri di muka bumi ini dengan kaki kita sendiri, camkan itu!” tegas Loli sembari meninggalkan Flora yang Nampak bimbang setelah mendengar perkataan dari sahabatnya.
-***-

Di dalam kamar, Flora tengah terbaring di kasur seraya membuka lembaran demi lembaran dari catatan kuliahnya namun tak ada satu pun yang masuk di otaknya. Saat ini pikirannya melayang, kata-kata dari Loli terus terngiang di telinganya.
“Gila! Kepala aku rasnya pengen pecah!” keluh Flora ketus.
Flora segera bangkit dan menuju ke kamar Loli yang tak jauh dari kamarnya itu. Setelah mengetuk pintu kamar Loli berkali-kali, namun tak ada jawaban.
“Mungkin Loli masih marah ya sama aku? Aku telah nyesal berkata demikian. Loli! Bukain dong pintunya, aku mohon…” pintanya memelas.
Seketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang membuatnya terkejut dan terlonjak.
“Flora! Ngapain kamu berdiri di situ? Kurang kerjaan saja kamu!”
“Ya ampun… Loli! Kamu udah buat jantungku hamper copot, tahu nggak sih! Aku udah sejam berdiri di depan kamar kamu, rupanya kamu tak ada di dalam,”
“Oh gitu ya, tapi kamu nggak bilang sih kalau kamu mau mampir ke kamar aku atau kenapa kamu nggak hubungi handphone aku aja?”
“Lupa aku, tapi ngomong-ngomong… kamu dari mana aja? Kamu pulang selarut malam gini,”
Seketika suasana menjadi hening, Loli hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ia tak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan dari sahabatnya yang telah menanti sebuah jawaban darinya. Angin malam yang menghembus kencang menampar wajah keduanya dan juga membuat rambut-rambut mereka terbang kesana-kemari mengikuti aliran angin yang begitu dingin.
“Aku… aku…” ucap Loli dengan terbata-bata memcahkan keheningan.
“Sudahlah Loli, aku udah mengerti, kok! Kalau kamu nggak bisa menjawab pertanyaan itu, sudahlah kamu tak perlu menjawabnya,” ujar Flora seraya merangkul sahabatnya itu yang nampaknya telah meneteskan air mata.
“Aku… aku hamil, Flo…” ucap Loli lirih dalam sela tangisnya yang makin menderu.
“Hah!! Kamu hamil??!! Siapa ayah dari anak yang kamu kandung itu, Lo?!” tanyanya dengan wajah pucat.
“Aku sendiri tak tahu siapa ayah dari anak ini, karena… aku udah melakukan hal itu bersama beberapa lelaki yang aku juga tak mengenalnya sama sekali, aku hanya dibayar untuk memuaskan nafsu mereka, kamu sendiri tahu mengenai hal itu kan?!”
“Kalau kejadiannya telah seperti ini, apa boleh buat, aku akan membantumu untuk bersama mengurus anak ini. Aku tak tega melihat kamu membesarkan anak ini kelak tanpa seorang ayah yang tak jelas asal--usulnya,” jelasnya seraya menyeka air mata Loli.
“Terima kasih ya, Flo! Selama ini kamu udah baik ama aku seperi kamu memperlakukan saudara kamdung kamu sendiri,”
“Loh, kita kan emang udah bersaudara?! Hahahaha….” Hiburnya disertai gelak tawa dari keduanya.
-***-

9 bulan kemudian…

“Aduh Flo… sakit banget, Flo! Aku udah tak tahan, nih!”
“Sabar dulu ya… udah hampir sampai kok! Kamu harus bertahan sayang,:
tak lama kemudian, mereka telah sampai di sebuah rumah sakit bersalin yang terletak di pusat kota. Dengan dibantu oleh seorang dokter beserta perawat yang ada, sang bayi yang berjenis kelamin laki-laki itu berhasil dikeluarkan dari perut Loli. Namun sayangnya, Loli tak dapat diselamatkan. Kata dokter yang baru saja keluar dari ruang bersalin, Loli mengalami pendarahan yang cukup hebat dalam melahirkan bayi tersebut. mendengar hal itu, Flora seketika masuk ke ruangan itu tanpa menunggu dipersilahkan oleh sang dokter. Dalam ruangan itu, ia menemukan Loli yang tengah terbujur kaku di sebuah pembaringan. Menyaksikan sahabatnya yang tak bernafas lagi di hadapannya telah membuatnya shok, wajahnya mendadak pucat pasi dan sekujur tubuhnya bergetar seakan terguncang oleh gempa yang dahsyat.
“Lo! Loli..! bangun, Lo! Bangun… anak kamu udah lahir! Kamu harus melihatnya, ia sangat lucu dan juga tampan, kamu harus bangun untuk melihatnya! Bangun! Loliiii…” jeritnya pilu seraya terus mengguncang-guncang tubuh sahabatnya itu disertai deraian air mata yang tak henti-hantinya mengalir membasahi kedua pipinya.
Kemudian Flora mengambil bayi tersebut dari tangan sang perawat lalu mengecupnya dengan penuh kasih sayang.
“Loli, aku berjanji kepadamu bahwa aku akan mengurus anak kamu dengan tulus kasih saying layaknya anak kandungku sendiri, aku tak akan membiarkan seorang pun melukainya, aku akan melindunginya dengan jiwa dan ragaku!” tegasnya dengan suara lantang.
-***-

Sepeninggalan Loli, beban hidup yang dimiliki oleh Flora makin berat sebab ia harus membiayai hidup dan kuliahnya beserta anak Loli yang juga membutuhkan asupan gizi yang cukup. Kini ia telah bekerja keras tiap malamnya sebagai pelayan pada sebuah kafe untuk memenuhi semua kebutuhan hidup sehari-hari. Tak jarang ia menitip anak Loli kepada ibu kost yang baik hati itu apabila ia hendak pergi bekerja atau ke kampus. Namun sayangnya, meski ia telah membanting tulang untuk menafkahi hidup mereka, uang yang ia miliki tak dapat mencukupi kebutuhan mereka sebab gaji yang ia terima tiap bulannya hanyalah Rp. 500.000,00 saja. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain yang bergaji lumayan untuk memenuhi segala kebutuhan. Telah sebulan ia berkeliling kota untuk mencari dan melamar pekerjaan di beberapa tempat yang ada di kota, namun hasilnya nihil dan sia-sia belaka. Kini ia tengah menapaki jalan yang ada di pinggir pantai di bawah teriknya sang mentari, ia telah berputus asa seraya terus mengayunkan langkahnya tanpa arah yang tak pasti. Di hadapannya bayangan Loli, Ayah, dan Ibunya terus menari-nari lalu diganti oleh baying-bayang anak Loli yang tengah menangis, hingga akhirnya semua bayangan itu lenyap seketika disusul oleh sebuah bunyi dedebuk.
-***-

“Oh rupanya Mbak sudah sadar toh! Nih diminum dulu air putihnya biar mbak lebih baikan,” ujar seorang gadis belia seraya memberikan segelas air untuknya.
“Terima kasih ya, tapi kamu siapa? Aku ada di mana? Kenapa aku bisa berada di tempat ini?” Tanya Flora kebingungan mendapati dirinya berada di sebuah rumah berukuran kecil yang hanya terbuat oleh bilah-bilah bamboo.
“Aku Lila, sekarang mbak ada di tempat karja aku yang terletak tak jauh dari pantai tempat aku tadi menemukan mbak yang tengah pingsan, tapi syukurlah mbak taka pa-apa,” jawabnya dengan ramah.
“Hah?!! Tempat kerja katamu?! Kamu kerja apa di tempat ini? Ada-ada aja kamu! Oh ya sekali lagi aku ucapin terima kasih yak arena kamu telah menolongku,” tanya Flora heran.
“Sungguh, Mbak! Aku lagi nggak bercanda, dulu sih aku bekerja di tempat ini bersama salah satu rekanku, tapi…” kata gadis itu seraya tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapia pa? ayo katakana!” desak Flora yang tengah penasaran.
“Tapi ia tiba-tiba menghilang tanpa jejak dengan mengandung sebuah benih di perutnya tanpa mengetahui Ayah dari benih itu, akan tetapi, dari info yang aku dapat dari rekanku yang lain, katanya ia telah lama mati ketika melahirkan seorang bayi. Ya… maklumlah, Mbak! Tapi Mbak sendiri lagi ngapain berjalan-jalan di pinggir pantai siang bolong gini?”
“Apa??!! Siapa nama rekan kamu itu?” Tanya Flora yang seketika melototi gadis tersebut seraya menaruh sebuah kecurigaan.
“Wah tenang, Mbak! Jangan galak gitu dong, aku kan jadi ngeri sendiri! Mmm.. nama rekan aku itu Lita, lengkapnya Lolita! Tapi di kampusnya ia dipanggil Loli, nama Lita sengaja ia gunakan untuk menyamarkan dirinya, oh ya sekarang giliran Mbak! Pertanyaanku belum dijawab tuh!”
Bagai disambar petir di siang bolong, Flora seketika tersentak seakan aliran darahnya mendadak terhenti. Dadanya sesak setelah mendengar sebuah nama yang telah tertanam amat dalam di hatinya. Tak terasa air matanya meluber di mana-mana seraya menggigit bibirnya untuk membendung sebuah perasaan yang kini tengah mengamuk di hatinya. Suara gadis itu yang telah berkali-kali memanggilnya, tak ia hiraukan seolah tuli dengan keheningan yang ia ciptakan sendiri untuknya.
“Sudah nangisnya, Mbak? Kok nampaknya amat sedih mendengar nama itu, apakah Mbak mengenalnya?” kata gadis itu menenangkan Flora seraya menyodarkan sehelai tissue kepadanya.
“Iya, dia sahabat dekatku dan saat ini akulah yang mengurus anaknya sesuai janjiku kepadanya, tapi aku tengah pusing dan bingung untuk menafkahi anak itu sebab aku juga harus membiayai kuliahku. Aku telah bekerja di sebuah kafe, tapi gaji dari tempat itu tak mencukupi kami berdua! Maka dari itu aku telah sebulan mencari pekerjaan di mana-mana namun aku gagal mendapatkannya,” jawabnya mencairkan kebekuan yang ada.
“Kenapa kamu nggak bekerja seperti yang aku dan Loli lakukan tiap harinya? Lumayan loh hasilnya, apalagi kamu tuh memiliki paras yang cantik! Kamu bisa pasang harga tinggi!” usulnya.
“Tapi aku takut…,”
“Kamu tak usah takut, aku akan membantumu,” ujar gadis itu berusaha meyakinkan Flora.
Sesaat Flora termenung hingga akhirnya ia menggangguk pelan meski raut wajahnya melukiskan keterpaksaan. Lalu ia menatap kosong pada langit-langit rumah itu seraya tersenyum pahit. Tak lama kemudian, ia pamit kepada sang gadis sebab ia telah merasa lebih baikan.
-***-

Toktok… toktok…
Terdengar suara ketukan dari luar kamar Flora. Ia pun meletakkan bayi itu di atas kasur lalu menuju kea rah pintu. Dibalik gorden ia mengintip ke luar kamar yang Nampak remang. Matanya pun menangkap sosok gadis bersama seorang pria yang bertubuh besar. Meski ia Nampak ragu, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut.
“Lila! Ngapain kamu ada di sini? Ini kan udah larut malam!”
“Kamu lupa ya? Hari itu kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu pengen bekerja kan? Gimana sih kamu!?”
“Oh iya, aku lupa! Masuk yuk, kita bicara di dalam aja, nggak enak sama penghuni kost yang lain,” ujar Flora mempersilahkan kedua tamunya itu untuk masuk.
“Kayaknya… Bapak nggak usah masuk ya, tolong tunggu di luar aja, sebentar aja kok, Pak!” pinta Lila kepada Pria itu.
“Begitu ya, iya tapi jangan lama-lama ya… soalnya aku udah nggak tahan nih melihat teman kamu itu,” ujar bapak itu.
Setelah Lila menutup pintu kamar itu, ia segera membisikkan sesuatu kepada Flora.
“Pria itu adalah tamu pertama kamu loh, dia tuh tajir banget loh! Aku aja yang telah menunjukkan kamu aja, aku udah dibayar 500.000! bayangkan aja, banyak kan!? Jangan lupa, kamu harus memasang harga yang tinggi ya… gih buruan sana! Dandan yang cantik,”
“Tapi bagaimana dengan Nino? Anak itu nggak ada yang menjaganya,”
“Ya ampun… itu sih mudah, serahkan masalah itu kepadaku, biar aku yang menjaganya, okey!”
“Udah Belom?! Buruan dikit dong, aku udah digigit nyamuk nih!” desak pria itu yang telah berulang-ulang mengetuk pintu kamar tersebut.
Selang beberapa menit kemudian, Flora telah selesai, ia Nampak manis dengan gaun ungu yang ia kenakan saat ini. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai dengan indahnya, namun ia masih meras canggung juga risih mengenakan gaun itu sebab gaun itu begitu ketat dan pendek sehingga menonjolkan keindahan tubuhnya yang sangat ideal.
“Wah… you are so seksy…” ujar pria itu dengan tatapan Liarnya seolah ingin menelanjangi Flora seketika itu pula.
Menyaksikan hal itu, Flora merasa geram akan kelakuan pria itu, rasanya ia begitu ingin menamparnya tapi ia berusaha mengendalikan emosinya yang telah sampai ke ubun-ubunnya. Dengan menghela sebuah nafas panjang, ia pun berangkat bersama pria itu meninggalkan tempat tersebut dengan menumpangi sebuah mobil mewah milik sang pria. Tak terasa mereka telah tiba pada sebuah hotel berbintang, mereka pun masuk dan memesan sebuah kamar untuk keduanya. Sepanjang malam itu, Flora memuaskan hasrat pria itu dengan berat hati. pada esok harinya, mereka meninggalkan hotel.
-***-

“Wah… hasilnya lumayan juga ya, Li! Dengan pendapatan sebanyak gini, aku dapat membiayai hidup aku dan Nino!” seru Flora kegirangan seraya melompat kesana-sini.
“Benar kan yang kukatakan, dengan modal paras kamu yang cantik itu mengundang rejeki yang melimpah buat kamu dan Nino!” ujar Lila membenarkan perkataannya sendiri.
“Iya sih, meski awalnya pekerjaan ini sangat sulit bagiku sebab aku telah menghilangkan harga diriku sendiri dan aku harus menanggalkan rasa malu yang begitu besar yang ada dalam diriku, namun kini akhirnya aku udah merasa terbiasa dengan semua ini, bahkan aku tak canggung lagi untuk menawarkan diriku kepada seluruh lelaki manapun yang tengah berkeliaran di sekitar pantai,” ucapnya lalu meletakkan tubuh Nino ke dalam gendongannya.
“Baguslah…” sahut Lila singkat.
“Tapi satu hal yang harus kamu ketahui bahwa aku tetap saja tak menikmati pekerjaan ini, aku hanya menikmati hasilnya saja,” jelasnya namun lirih.
“Maksud kamu?!!” Tanya Lila seraya mengerinyitkan dahinya.
“Maksud aku tuh, aku tak seperti wanita malam yang lainnya, kamu tahu kan sebagian dari mereka menikmati pekerjaannya tersebut. Yah… seperti pepatah gitu, sambil menyelam minum air, nah kamu udah ngerti kan maksud aku!”
“Iya, Flo! Aku udah ngerti Bu guru Flora yang cantik!” ejek Lila.
“Hahaha… kamu bisa aja! Ohya, tapi kamu tahu nggak?! Setelah aku udah berhasil lulus menjadi seorang dokter nanti, mungkin aku ingin berhenti dari pekerjaan ini loh!”
Flora tersenyum puas membayangkan dirinya mengenakan sebuah jas dokter di sebuah rumah sakit. Ia nammpak berwibawa dengan pakaian tersebut.
“Jadi selama ini ternyata kamu mengambil jurusan kedokteran di kampus kamu?! Aku tak menyangka bahwa kamu nekat juga ya, padahal kondisi dan keuangan hidup kamu cukup memprihatinkan. Flora!... Flo, kamu ngelamun ya?!” ujar Lila merasa bahwa lawan bicaranya saat ini tak  meresponnya.
“Hah… apa yang kamu katakana barusan? Coba kamu ulang!” ujar Flora yang baru saja bangun dari lamunannya.
“Enak aja! Nggak ada siaran ulang, tahu nggak sih kamu!”
Lila melotot lalu berusaha mencubit lengan Flora namun tak berhasil sebab Flora dengan gesitnya menghindari cubitan Lila yang terkenal perih. Nino yang tengah tertidur nyenyak dalam gendongan Flora seketika meraung kesakitan, ternyata ketika Lila berusaha untuk mencubit lengan Flora, tanpa sengaja dia telah mencubit betis Nino yang terletak tepat di dekat lengan Flora. Alhasil, tangisan sang anak tersebut tak kunjung reda. Berbagai cara yang telah mereka lakukan untuk mendiamkannya.
“Cupcup..cup… diam ya saying…” mereka terus saja berkomat-kamit di hadapan Nino. Setengah jam kemudian, Nino pun terdiam dari tangisannya lalu tertidur. Lila pun meminta maaf atas kekacauan yang telah ia buat dengan tangannya.
-***-

(nantikan kelanjutan bab selanjutnya dalam novel karyaku ini, hanya ada di_createdbyrisya.blogspot.com)