Minggu, 26 Juli 2015

BLACK WORLD

Aku tengah menatap lautan yang memantulkan keindahan cakrawala yang nampak keemasan. Pemandangan sunset di hadapanku sama sekali tak mampu meneduhkan jiwaku, justru hal itu hanya memperburuk suasana hatiku. Angin sepoi yang membelai lembut wajah sebenarnya begitu sejuk, tapi yang terasa olehku seolah angin itu dingin dan menampar-nampar wajahku. Aku sangat ingin meneteskan air mata, berharap air mata sedikit dapat menenangkanku. Dan aku kesal sebab aku tak mampu untuk melakukannya saat ini. Aku seolah kehabisan air mata sehingga untuk mengeluarkannya pun sulit. Mencoba untuk berteriak, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah racauan yang terdengar menyedihkan. Aku terduduk di atas ribuan pasir putih yang menghambar bagai permadani yang berkilauan sambil mengacak-acak rambut panjangku. “Pelan-pelan, sayang,” Aku seketika menoleh ke samping dan mendapati sepasang suami istri yang sedang dituntun oleh sepasang anak kembar emasnya. Kedua bocah itu berjalan begitu cepat sehingga membuat kedua orangtuanya terlihat cemas. kini perhatianku teralih pada sepasang suami istri tersebut dan merasa aneh dengan tongkat yang mereka bawa. Kuamati wajah dan mata keduanya, namun aku tak menemukan sesuatu yang salah atau sesuatu yang tak sempurna di dalamnya. Kini mereka tengah berusaha mendudukkan anak-anaknya lalu ikut duduk bersamanya. Aku pun terkesima melihat sang suami itu mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya lalu sebelah tangannya terulur berusaha menggapai-gapai wajah sang istri. Setelah berhasil menyentuh wajah sang istri, sang suami itu pun menyeka peluh wanita cantik di hadapannya dengan penuh perasaan. Wanita itu hanya tersenyum dan tersipu malu lalu mengeluarkan kotak bekal yang disimpannya dalam tas selempang yang dikenakannya. Aku pun baru tersadar bahwa sepasang suami istri tersebut buta setelah mengamati seksama fokus pandangan dari kedua bola mata mereka. Aku kini kembali memerhatikan kegiatan mereka dengan ekor mataku. Si wanita sedang menyuapkan sepotong roti kepada anak lelakinya, sedangkan suaminya juga sibuk menyuapkan sepotong roti untuk anak perempuannya, tetapi sekali-kali wanita itu menyuapkan roti itu kepada suaminya dan begitu pula sebaliknya. Oh My God! Aku tak tahan dengan semua yang mereka miliki namun tak kumiliki. Aku memiliki ayah tampan namun seolah tak memilikinya. Aku memiliki ibu yang cantik tetapi seolah tiada. Mereka hanya sibuk dengan dunia bisnis yang mereka miliki dan lebih bahagia berhura-hura bersama rekan-rekan mereka masing-masing daripada mengurus atau bertamasya denganku, anak semata wayang mereka. Aku pun pernah memiliki beberapa mantan kekasih yang tampan, namun ternyata mereka hanya memilihku karena kecantikan dan kekayaan yang kumiliki. Aku belum pernah menemukan dan merasakan ketulusan yang murni untukku. namun sepasang suami istri buta itu bahkan dengan mudahnya menemukan dan memiliki cinta, kehangatan, ketulusan, dan segalanya yang kucari dalam hidupku namun tak kutemukan. Dan akhirnya tangisku pun pecah, dan aku tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku yang memandang aneh terhadapku. Mungkin mereka mengiraku gila sehingga mereka enggan mendekatiku apalagi untuk bertanya tentang apa yang sedang terjadi padaku. Tetapi ternyata aku salah, sepasang suami istri buta tersebut bersama anak-anaknya justru mendekatiku dan menanyakan keadaanku apakah aku baik-baik saja dan adakah sesuatu yang bisa mereka lakukan untukku. aku tercengang dengan sangat lalu kupeluk erat kedua lututku sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Dan tangisku membuat tubuhku terguncang-guncang. “Kenapa kakak menangis? Siapa yang sudah memukulmu?” tanya kedua bocah kembar emas itu sambil membelai rambutku yang berwarna coklat kemerahan. Aku mengangkat kepala kemudian memandang ke arah mereka sambil berusaha tersenyum. “Kakak baik-baik saja, anak-anak manis. Tak perlu khawatir, OK.” “Tetapi sepertinya kamu memiliki masalah yang cukup berat, gadis muda. Semoga kami bisa membantumu. Kamu tak perlu sungkan terhadap kami,” wanita cantik itu berusaha untuk merangkul bahuku. Jilbab birunya berkibar-kibar diterpa angin. Tiba-tiba sebuah ide menarik mengusik benakku dan aku berusaha menyuarakannya. “Apa aku boleh ikut bersama kalian? Tinggal di tempat kalian untuk seminggu ini? Aku sangat memerlukan sebuah ketenangan jiwa,” Wanita itu sejenak berpikir lalu bangkit dan berbalik ke arah suaminya yang sejak tadi berdiri di belakangnya sambil ikut mendengarkan percakapan kami. “Dengarkan kata hatimu, sayangku. Aku percaya pada keputusanmu,” ucap suaminya yang seolah tahu isi hati dan pikirannya meski wanita tersebut belum berucap sepatah kata pun. Kontak batin yang begitu erat antara keduanya membuatku makin iri. “Baiklah. Aku akan memperbolehkanya,” balas wanita itu sambil perlahan membalikkan badannya ke arahku. Aku pun tersenyum walau aku sadar ia tak akan bisa melihat senyum tulusku untuknya. “Senja tak lama lagi akan berakhir, sebaiknya kita beranjak dari tempat ini. Sekarang kalian ikut aku ke mobil. Sangat kebetulan aku memarkirnya tak jauh dari sini,” Ketika aku hendak menuntun wanita itu, ia menolaknya dan lebih memilih berjalan beriringan bersama suaminya dengan tongkat yang dimilikinya. Dengan tongkat yang mereka miliki masing-masing, alat tersebut seolah menjadi pengganti mata bagi mereka. “Gadis muda, sebaiknya kamu beriringan dengan anak-anak kami saja, biar kami saja yang di belakang agar kami mudah mengikutimu,” ujar wanita itu lagi. Dalam waktu dua puluh menit, mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah flat sederhana yang bercat kuning muda. Tak sulit untuk menemukannya sebab mereka sangat cerdik dalam menjelaskan rute menuju flat mereka. Ketika kami telah memasuki flat, aku melihat pasangan suami istri itu kini berjalan dan bergerak dengan santainya tanpa bantuan tongkat. Mereka seolah melihat segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan mereka hanya sesekali terlihat untuk meraba-raba sekitarnya. Ketika aku menanyakan hal itu pada anak perempuannya, ia hanya berkata bahwa kedua orangtuanya sudah begitu hafal segala yang ada di dalam flat mereka. Dan kini pasangan suami istri tersebut menjamuku dengan makan malam yang sederhana namun terasa nikmat karena kebersamaan yang tercipta di antara mereka. Tetapi aku sempat merasa aneh ketika sejam sebelum makan malam aku melihat mereka sedang beribadah dengan gerakan-gerakan yang menurutku sangat primitif sebab mereka harus bersujud di atas lantai. Namun yang lebih anehnya, jiwaku merasa damai dan hangat melihat semua gerakan itu. bahkan hatiku seolah tergerak untuk melakukannya namun kuurungkan. Apa yang terjadi dalam diriku saat ini sungguh membentuk sebuah tanya besar yang aku sendiri tak mampu menjawabnya. “Oh ya, sejak tadi kita belum sempat berkenalan. Namaku Izzah dan suamiku bernama Ali, sedang kedua anak kami bernama Zahrah dan Yusuf. Bagaimana denganmu?” tanyanya memutuskan lamunanku/. “Namaku Michell, dan aku tak bertuhan. Tetapi kedua orangtuaku sepertinya menuhankan kekayaan dan bisnis mereka sebab aku sering mendengar mereka mengatakan ‘Oh Tuhanku’ ketika mereka memenangkan tender atau ketika mereka melihat setumpuk uang yang banyak di brangkas mereka,” jawabku panjang lebar. Aku pun heran dengan sikapku sendiri yang begitu mudahnya menampilkan profil keluargaku yang brengsek. Lidahku seolah dituntun untuk mengatakan segalanya tentangku apa adanya. Dan aku terkejut menyadari pipiku yang basah karena linangan air mata yang tak henti setiap aku membuka satu per satu masalah yang kumiliki dan harapan-harapan yang selama ini kucari dalam hidup. Aku pun bercerita tentang ibuku yang hendak menjodohkanku dengan Mike, seorang pengusaha muda dan kaya namun seorang pemabbuk nomor satu dan senang bermain dengan pelacur-pelacur berkelas, dan aku kabur meninggalkan rumah sehingga ibukulah yang terpaksa menikah dengannya sebab ibuku ttelah rela menukarkan diriku demi mendapatkan salah satu anak cabang perusahaan milik Mike. Karena aku kabur, ibukulah yang menggantikan posisiku dan ibuku ternyata sengsara hidup bersama Mike. Ibuku kerap menelpon dan bercerita panjang lebar tentang kesengsaraannya sekali dalam sehari, tentu saja ia menelpon di saat Mike sedang tak bersamanya, tepatnya saat lelaki brengsek itu berada di kantor. Dan aku bercerita pula pada mereka tentang keresahan hatiku bahwa ibuku sudah seminggu belakangan ini tak pernah menghubungiku lagi, dan itu membuatku khawatir. Ketika terakhir berbicara dengannya, ibuku mengatakan tubuhnya sudah babak belur karena kelainan seks yang dimiliki Mike. Meski selama ini ibuku jarang mempedulikanku, sebagai anak aku tetap mengkhawatirkan keadaannya dan hendak menolongnya. Tapi aku tak memiliki keberanian untuk mendatangi rumah Mike yang semewah istana itu. Jika aku nekat, bisa-bisa nasibku tak jauh berbeda dengan ibuku, bahkan bisa saja lebih buruk karena Mike sangat marah besar mengetahui aku tak sudi menikah dengannya. Sedang ayahku entah ke mana, sudah sebulan aku tak bertemu dengannya. Tapi menurut kabar burung yang kuterima dari salah satu rekan kerjanya mengatakan ayahku sedang berbulan madu dengan selingkuhannya yang sudah resmi menjadi istrinya sejak bulan lalu. Ada pula yang mengatakan ayahku akan menetap dan akan mengembangkan bisnisnya di kota Mexico bersama istri barunya yang tak akan pernah kuakui sebagai ibuku sekalipun untuk menyebutnya dengan panggilan ibu tiri. "Maaf jika kami sudah lancang menannyakan hal ini padamu. Mengapa kamu tak bertuhan? Apa karena kau tak percaya dengan keberadaan Tuhan?" selidik Izzah dengan penuh hati-hati. “Yeah. Ayah dan Ibuku bahkan tak pernah mengenalkanku tentang Tuhan. Justru mereka berkata bahwa Tuhan itu tak ada dan Tuhan itu hanyalah omong kosong yang tak bisa berbuat apa-apa untuk manusia. Dan menurut mereka, selama ini mereka merasa uang atau kekayaanlah yang mampu menolong dan membahagiakan mereka,” Ali berdehem kemudian bertanya, “Dan kau sependapat dengan mereka?” “Hmmm... awalnya sih iya. Tetapi melihat keadaan Ibu yang memprihatinkan, aku mulai meragukan pendapat mereka. Uang dan kekayaan yang dimiliki Ibuku kini tak bisa menolongnya dari cengkraman dingin Mike. Uang dan kekayaannya tak membuatnya bahagia, bahkan yang mendatanginya adalah penderitaan yang berkepanjangan,” jawabku sambil memainkan garpu kosong dengan mata terpejam. “Sulit juga menjadi seperti kalian. Saat ini aku sedang berusaha menyantap hidangan ini dengan mata terpejam dan aku sangat kesulitan untuk melakukannya. Tapi kalian hebat karena kalian terlihat mudah melakukannya. Bahkan saat pertama aku melihat kalian, di wajah kalian tak terlukis satu pun sebuah beban yang menurut penafsiranku bahwa kalian sangat menikmati hidup yang kalian miliki,” lanjutku. Mereka tertawa kecil. “Dalam Islam agama yang kami yakini, mengeluh sangat tak pantas untuk kami lakukan, sebab kami harus senantiasa bersyukur atas segala pemberian Tuhan dan yakin Tuhan lebih tahu apa yang tak kami ketahui. Dan Tuhan akan memberi apa yang manusia butuhkan, bukan yang manusia inginkan,” Izzah menerangkan itu dengan penuh karisma. Aku yang menyimaknya amat tercengang dan untuk kesekian kalinya aku meneteskan air mata. Aku bangkit dan meninggalkan acara makan malam itu dan berlari kecil menuju pintu keluar. “Kau mau ke mana, Michell? Apakah kalimatku membuatmu terluka?” Izzah dan keluarganya berusaha menyusulku. Aku mendengarnya namun kuhiraukan suara-suara mereka yang terdengar makin jauh tertinggal di belakangku. Aku terus berjalan sejauh kakiku melangkah membawaku ke suatu tempat yang cukup asing bagiku. Tubuhku masih terguncang-guncang akibat tanis yang sulit kuhentikan. Di hadapanku kini terbentang sebuah kompleks pemakaman yang sekonyong-konyong membuatku jatuh terduduk. Aku seolah kehilangan seluruh tenaga, sekalipun untuk menguraikan air mata. Dan aku melihat sosok Ibuku dengan mengenakan gaun kesayangannya yang berwarna volcado tengah melambai ke arahku di sudut kanan dari pemakaman itu. sedetik setelah menyaksikan semua itu, yang terakhir kulihat hanyalah hitam. *** Created by (writer) : Risya Fath Light