Jumat, 16 Agustus 2013

di manakah sila kelima itu kini?

Dalam kehidupan para difabel selalu saja ada kendala-kendala dalam memperoleh hak-hak mereka sebagai rakyat Indonesia. Kendala-kendala itu ada yang kecil dan ada juga yang besar. Kendala-kendala mereka sangat beraneka ragam dimulai dari kendala hak pendidikan, hak mendapatkan layanan yang layak, dan seterusnya. Namun kali ini saya hanya ingin membahas dua kendala yang kerap menerpa para difabel khususnya para difabel netra. Kedua kendala itu adalah kendala dalam memperoleh layanan yang baik dari suatu lembaga atau instansi dan kendala dalam dunia pendidikan. Beberapa bulan yang lalu, saya dihubungi oleh salah satu sahabat senasib saya sebagai difabel netra. Dengan lirih, ia menyampaikan sebuah berita duka kepadaku. Awalnya saya mengira kalau berita itu adalah berita kematian seseorang tetapi ternyata bukan, melainkan berita bahwa kartu ATM yang ia miliki ditelan oleh mesin ATM secara tidak sengaja. Saya yang mendengarnya hanya berekspresi datar seolah sedang tak terjadi apa-apa. Saya menyikapinya seperti ini sebab kebetulan seorang temanku juga pernah mengalami kendala serupa. Ketika temanku itu mengalami kendala tersebut, ia segera melaporkan kejadian itu kepada pihak bank yang bersangkutan sekaligus mengurus pembaharuan kartu ATM untuk mengganti kartu ATM miliknya yang tertelan itu. Hanya kurun 2-3 hari, urusannya pun akhirnya beres. Saya pun menceritakan hal itu kepada sahabatku itu agar ia tidak perlu merasa khawatir. Mendengar cerita itu, ia tertawa sebentar lalu menjelaskan kepadaku bahwa kendala temanku itu memang serupa namun tidak semudah itu buat para difabel netra. Untuk memindahkan data-data yang ada pada ATM yang sebelumnya ke ATM yang baru, diperlukan sebuah tanda tangan sang pemilik kartu ATM tersebut. katanya lagi urusan temanku itu sangatlah mudah untuk diatasi sebab ia bukanlah seorang difabel netra seperti kami. Sedangkan sahabatku itu, ia adalah seorang difabel netra sepertiku. Kendala tanda tangan buat para difabel netra tentunya bukanlah kendala sepelah seperti membalikkan telapak tangan. Tanda tangan pemilik ATM haruslah persis dengan tanda tangan pada data-data sebelumnya. Dan tentunya tanda tangan yang ada pada data-data sebelumnya, khusus para difabel netra, yang menandatanganinya bukanlah dirinya sendiri melainkan ditandatangankan oleh pendampingnya. Dan parahnya, orang yang menandatangani data-data sebelumnya, kini telah berada jauh dari sahabatku itu tepatnya di provinsi yang berbeda denga sahabatku itu. Telah berkali-kali sahabatku itu menjelaskan kepada pihak bank yang bersangkutan bahwa ia adalah seorang difabel netra yang tentunya hanya dapat ditandatangankan oleh pendamping dalam urusan-urusan tertentu seperti saat ini. Hingga kini ia tidak dapat menarik uang yang ada dalam tabungannya padahal ketika itu ia sangat membutuhkan sejumlah dana untuk suatu keperluan yang sangat mendesak. Di atas adalah salah satu kendala yang kerap dihadapi oleh para difabel netra. Tidak semua bank yang ada di Indonesia yang ingin kompromi dengan keadaan para difabel netra. Prosuder yang ada sangat mengikat tanpa ada dispensasi untuk kaum tertentu seperti para difabel netra. Dan ternyata kendala seperti ini bukan hanya terjadi bank saja melainkan juga terjadi di suatu universitas. Seorang kawan saya yang juga seorang difabel netra tidak diberi kesempatan untuk memiliki kartu mahasiswa sebab alasan dari pihak universitas tersebut mewajibkannya dapat bertanda tangan. Mengapa kendala kecil seperti ini selalu saja dibesar-besarkan oleh beberapa instansi? Apa sulitnya cap jari atau cap jempol sebagai pengganti tanda tangan untuk mereka para difabel netra khususnya yang benar-benar total. Dimanakah pancasila yang selalu dijunjung oleh bangsa Indonesia? Sebab bukankah salah satu sila yang ada di dalam pancasila menyebutkan kalimat “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ?! jadi kini di manakah keadilan itu? Apakah sila kelima itu telah terhapus dalam kehidupan bangsa Indonesia? Beberapa instansi telah melupakan sila kelima itu yang berarti instansi itu telah mengkhianati salah satu sila yang ada dalam pancasila. Mengaku bangsa Indonesia tetapi tidak menanamkan jiwa pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi bagaimanakah nasib para difabel daksa yang tak lagi memiliki kedua tangan dan kaki? Tentu mereka akan lebih merasa kesulitan dibanding para difabel netra dalam tanda tangan. Kendala-kendala itu tidak hanya berhenti disini saja tetapi masih ada lagi kendala-kendala yang lain. Kendala selanjutnya adalah kendala pendidikan. Kali ini saya juga akan sedikit menceritakan pengalaman pribadi saya. Pada 2011 lalu, saat itu saya baru saja menamatkan bangku SMP di salah sebuah sekolah luar biasa yang ada di kotaku. Saya pun ingin malanjutkan pendidikan saya ke jenjang pendidikan selanjutnya di SMU negeri layaknya siswa-siswa non disibilitas pada umumnya. Dengan ijazah yang ada, saya pun mendaftarkan diri dan mengikuti tes di salah satu SMU negeri yang terletak tak jauh dari kediamanku. Ketika saya ingin memasuki ruangan tes, sang pengawas ruangan tersebut keberatan saya masuk ke dalam ruangan itu dengan alasan dibilitas yang kumiliki. Saya dan Ayahku pun menghadap ke kepala sekolah SMU tersebut. setelah berbicara kepada beliau, akhirnya saya dapat mengikuti tes tetapi bukanlah di ruangan seharusnya saya sebagai calon siswa untuk mengikuti tes masuk ke sekolah itu melainkan saya ditempatkan di ruang guru. Disana saya pun mengerjakan soal-soal yang ada didampingi oleh pendamping saya yang tak lain sahabat saya sendiri. Tatkala saya asyik-asyiknya mengerjakan soal-soal itu, seorang guru dari SMU tersebut menghampiriku dengan mengatakan bahwa SMU itu tak selayaknya untuk orang sepertiku. Ia juga berkata bahwa si SMU tersebut tak ada huruf Braille. Konsentrasiku pun seketika buyar setelah mendengar perkataannya barusan. Saya pun menjelaskan kepadanya bahwa siswa sepertiku juga dapat mengikuti pelajaran di SMU negeri tersebut dengan baik bukan hanya di sekolah luar biasa saja. Setelah mendengarkan penjelasan dariku, ia pun berlalu begitu saja. Akibat hal itu, saya tak dapat mengerjakan soal-soal selanjutnya dengan baik dan tenang. Alhasil ketika hasil tes telah keluar, saya dinyatakan tidak lulus tes. Akhirnya saya kembali mendaftarkan diri di sebuah Madrasah Aliyah Negeri, lagi-lagi saya tidak diperkenankan untuk mengikuti tes di sekolah tersebut dan lagi-lagi dengan alasan yang serupa. Saya dan Ayahku pun ingin bertemu langsung dengan kepala sekolah yang ada di sekolah tersebut, karena kebetulan beliau sedang tak ada di tempat, kami pun memutuskan untuk mendatangi kediaman beliau. Disana akhirnya kami dapat menemuinya dan membahas mengenai keinginanku untuk masuk ke sekolah tersebut. beliau pun berceletuk bahwa pemerintah seharusnya memperbanyak sekolah luar biasa untuk orang sepertiku. Lagi-lagi hatiku seketika miris mendengarnya. Beliau pun kembali berkata bahwa beliau ingin mengadakan rapat terlebih dahulu bersama guru-guru yang lain mengenai kesediaan mereka akan kehadiranku yang berbeda dengan siswa-siswa yang lain juga dalam menghadapi dan mengajari siswa sepertiku. Keesokan harinya saya kembali datang ke sekolah tersebut tetapi kali ini saya bukan hanya datang bersama Ayahku tetapi juga bersama seorang kawan senasib saya yang merupakan utusan dari PERTUNI SULSEL untuk membantuku masuk ke sekolah tersebut. kami pun bertemu dan berbicara dengan sejumlah guru-guru yang memiliki peranan penting di sekolah tersebut. terlebih dahulu kawan saya memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah seorang alumni dari salah sebuah SMU negeri yang sangat dikenal sejak dulu di tengah masyarakat sekaligus seorang alumni dari salah satu Universitas ternama yang ada di kotaku. Kawanku itu juga menjelaskan kepada mereka bahwa saya juga mampu mengikuti proses belajar mengajar di sekolah tersebut dengan dibantu oleh alat-alat khusus yang kumiliki seprti laptop yang bisa kubawa kemana-mana. Atau riglet dan pen yang juga bisa membantu, qur’an Braille, dan sebagainya. Mereka pun ingin melihat bukti langsung dariku dengan memintaku untuk membaca Al-qur’an dengan baik. Saya pun menyanggupinya, di hadapan mereka saya membaca beberapa ayat-ayat yang ada dalam qur’an Braille milikku. Mereka pun terkesima melihatnya. Selanjutnya mereka ingin melihatku memainkan laptop laptop dan saya juga menyanggupi. Dengan dibantu oleh suara aplikasi JAWS beserta pengetahuan teknologi yang kumiliki, saya berhasil menunjukkan kepada mereka bahwa saya mampu seperti siswa-siswa yang lain pada umumnya. Singkat cerita, dari hasil rapat mereka saya diputuskan dapat diterima di sekolah tersebut dengan syarat saya mesti mengikuti uji coba selama sebulan. Jika saya berhasil melewatinya dengan baik, saya dapat melanjutkan pendidikanku di sekolah tersebut tetapi jika saya tidak berhasil, saya dipersilahkan keluar dari sekolah itu. Dan akhirnya saya berhasil. Meski saya telah berhasil menembus sekolah itu, masih banyak sekolah negeri yang belum bisa menerima keadaan para difabel netra sepertiku. Bahkan juga ada seorang kawan sepertiku yang dimana ia telah lulus murni pada ujian SMPTN barusan juga mengalami beberapa kendala untuk memasuki jurusan pilihannya. Kebetulan ia memilih fakultas ilmu pendidikan jurusan kewarganegaraan di sebuah Universitas negeri yang ada di kotaku. Pihak Universitas mempermasalahkan tes kesehatannya hanya gara-gara ia adalah seorang difabel netra. Bahkan seorang dari mereka mempertanyakan bagaimanakah seorang difabel netra sepertinya kelak dapat mengajarkan murid-muridnya dengan kondisi seperti itu. Ia pun disarankan untuk sebaiknya ia dipindahkan saja ke jurusan pendidikan luar biasa. Dan tentulah ia tidak ingin menyerah begitu saja dengan keadaan yang terjadi, ia berjuang dan tetap bersikeras pada pilihannya hingga akhirnya ia berhasil memasuki jurusan yang ia inginkan. Ketika saya mendengar pengalaman dari kawanku tersebut, saya hanya dapat menggelengkan kepala atas sikap dan perilakuan yang sempat diterima oleh kawanku itu. Saya berpikir patutkah seorang pengajar yang bahkan katanya mengajar di jurusan pendidikan kewarganegaraan bersikap dan berperilaku demikian? Apakah sesungguhnya ia benar-benar mengerti dan memahami akan pelajaran yang ia ajarkan kepada siswa-siswanya? Ataukah ia hanya sekedar mengajari berteorika saja tanpa ada praktek nyata dalam kehidupan sehari? Inilah fakta yang hampir sebagian terjadi di belahan bumi Indonesia ini. Sekali lagi saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan besar yang kerap muncul dalam benakku, “Di manakah sila kelima itu kini?” hokum dan keadilan yang terjadi di Indonesia kini tengah mengalami krisis. Lantas bagaimanakah kita menyikapi dan mengatasinya? Apakah kita perlu mengadakan advokasi besar-besaran dengan demo di jalan-jalan yang hanya dapat berujung kerusuhan ataukah kita perlu bersama-sama mendatangi setiap lembaga atau instansi bersangkutan, pemerintah, atau menghadap kepada Pak Presiden ? haruskah kita selalu mengingatkan sila kelima itu kepada mereka-mereka itu? Indonesia telah lama merdeka namun kini nyatanya sebagian para difabel yang ada di Indonesia ini masih terjajah oleh sikap dan perilaku dari penjajahan sesama antarrakyat Indonesia. Apakah sebaiknya setiap daerah perlu mengadakan pengenalan sosial terhadap para difabel dan kembali mengajarkan kepada mereka mengenai sila kelima dari pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang di mana kini sila itu sebagian telah terhapus dalam jiwa-jiwa mereka sebagai bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila. Dan dari sekian pertanyaan yang terlontar hanya ada sebuah jawaban singkat yakni kesadaran diri dari setiap pribadi rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Sebab dengan adanya kesadaran diri dari setiap pribadi rakyat, sila kelima itu akan kembali mewarnai negeri ini dengan sendirinya sehingga krisis keadilan dan hukum yang melanda bangsa ini akan teratasi dengan mudah. Created by: (Risya Rizky Nurul Qur’ani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar