Rabu, 21 Agustus 2013

Bukan maksud Ayah

Langit malam di luar sana Nampak indah. Sang Bulan kali ini tak segan-segannya berbagi cahaya untuk menerangi langit kota. Seakan tak ingin kalah dengan sang Bulan, para pasukan bintang saling beradu untuk memancarkan sinarnya yang berkilauan anggun hingga tak heran berjuta orang terpana dan takjub akan keindahannya. Namun sayangnya kepulan asap yang ditimbulkan oleh kendaraan yang memenuhi jalan telah merusak keindahan pemandangan malam hari ini. Seiring waktu yang terus berdetik, akhirnya satu persatu kendaraan yang ada di jalan depan rumah nenek mulai berkurang hingga perlahan jalanan itu telah Nampak sepi. Dan tak terasa malam telah makin larut. Walau demikian, aku tak dapat memejamkan kedua mata ini. Rasa senang, resah, dan gelisah menyerbu berbaur tak menentu melanda hatiku. Seluruh pikiranku seolah terbang melayang. Bagaimana tidak?! Sang Ibunda yang tercinta telah memasuki bulan kesembilan yang berarti tak lama lagi aku akan resmi menjadi seorang kakak. Dan malam ini, Ibu beserta Ayah, Nenek, dan bibi akan berangkat menuju ke rumah bersalin sebab Ibu tak dapat lagi menahan rasa sakit di perutnya. Menyaksikan hal tersebut, aku segera bangkit kemudian menghampiri Ayah yang telah siap sedari tadi. “Aku ikut ya…,” bujukku pada Ayah. “Tak usah ya, Nak! Kamu nyusul aja entar dengan yang lain ya… entar kalau adik kamu sudah berhasil dikeluarkan dari perut Ibu, barulah kamu dan yang lainnya nyusul ke rumah bersalin,” jelas Ayah. Aku pun hanya dapat pasrah dan mengindahkan kata-kata Ayah meski sebenarnya aku sempat kecewa dengan jawaban dari Ayah. Dengan raut wajah yang masih cemberut, aku berjalan tepat di samping Ibu hingga beliau memasuki mobil. Mobil yang membawa Ibu pun melaju, kupandangi mobil tersebut hingga akhirnya mobil itu telah hilang dari pandanganku. “Masuk ke dalam rumah, Nak! Udara malam nggak baik untuk kesehatanmu, entar sakit loh!” seru Bibi menyuruhku agar masuk ke dalam rumah. Aku pun bergegas memasuki rumah dengan setengah berlari-lari kecil. -***- “Mengapa sih Ayah tak memperbolehkanku untuk ikut bersama Ibu? Aku kan pengen ikut!” gerutuku dalam hati seraya berbaring di atas tempat tidur Nenek. Meski aku telah berguling kesana-kemari di atas tempat tidur, tetap saja aku tak bisa tidur. Kupaksakan pejamkan kedua mataku agar aku dapat tidur, tapi yang ada mataku makin melek saja. Kini di hadapanku baying-bayang Ibu yang tengah merintih terus saja menari-nari seolah menghantuiku. “Loh kok belum tidur sih? Kirain kamu sudah tidur! Eh tahunya kamu ngelamun saja, tidur, gih! Besik kan kita berangkat ke rumah bersalinnya pagi-pagi! Kalau kamu telat bangunnya, entar kamu ditinggal loh!” ujar Bibi yang tiba-tiba masuk ke kamar sehingga membuyarkan baying-bayang Ibu yang ada di hadapanku. Setelah mendengar perkataan dari Bibi, aku jadi takut sehingga hal tersebut membuatku dengan mudahnya tertidur. -***- Di sisi lain dan tempat yang berbeda, Ibu tengah berjuang untuk dapat melahirkan buah hati tercinta dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun hingga saat ini sang bayi belum juga dapat berhasil dikeluarkan. Para dokter dan perawat turut bingung dan heran sebab kepala dari sang bayi telah berada tepat di pintu tetapi tak dapat dikeluarkan seakan ada sesuatu yang menahan dan menghalangi bayi tersebut untuk keluar. Wajah Ibu pun telah merah padam menahan sakit dan perih yang amat sangat. “Berkuat lagi ya, Bu… Kepala bayinya sudah ada di depan pintu! Ayo coba tarik napasnya lagi,” ujar Dokter berusaha memandu Ibu. Menyaksikan kesakitan dari sang istri tercinta, Ayah pun turut panic dan heran sebab ketika melahirkanku untuk pertama kalinya proses persalinan begitu mudah mengingat Ibu adalah seorang wanita yang sholeh dan taat pada kedua orang tua, tapi kali ini sangat jauh berbeda dari sebelumnya. “Ya Allah… ada apa dengan istriku? Mengapa ia sangat kesulitan dalam melahirkan anak keduaku ini? Bukankah sebelumnya ia sangat mudah dalam melahirkan anak pertama kami? Dan bukankah pula istriku ini adalah wanita yang taat padaMu, taat padaku, dan juga taat pada kedua orang tua?! Ya Allah… berilah kemudahan kepada istriku dalam proses persalinannya,” ujar Ayah dalam hati yang terus saja bertanya-tanya dan tak hentinya terus berdoa pada Sang Maha Penyayang, hingga seketika Ayah mengingat sesuatu hal yang mendadak membuat wajah Ayah memucat. Bagai menembus waktu, ingatannya pun tiba pada peristiwa 5 tahun silam… -***- Ria adalah seorang Ibu muda. Walau demikian, ia sangat piawai dan cekatan mengurus rumah tangganya. Dalam usia yang masih belia, ia terpaksa mengakhiri sekolahnya dan menikah dengan seorang pria yang berumur terpaut jauh dari usianya saat itu bahkan ia sama sekali tak mengenalnya. Namun karena pria itu merupakan seorang agamis, Ibunya pun jatuh hati akan kealiman dan budipekerti yang dimiliki oleh pria itu. Tanpa terasa setahun lebih mereka arungi bahtera rumah tangga dan kini mereka telah memiliki seorang putrid. Tanggung jawab mereka pun bertambah terutama sang istri yang harus selalu memantau sang putrid beserta rumah tangga ketika sang suami tengah keluar mencari nafkah. “Kasihan istriku, dalam usia yang terhitung begitu masih muda, ia telah harus mengurusi suami, anak, serta rumah tangga sendirian, Ya Allah aku hanya ingin memiliki seorang anak saja agar seluruh perhatian dan kasih sayangku cukuplah untuk keduanya saja,” pintanya dalam hati. tanpa sepengetahuannya, rupanya Allah sang Maha Mendengar, mengetahui dan mendengar dan para malaikat mencatat dan mengaminkan perkataan dari hati kecil sang suami yang sholeh itu. -***- “Wah bagaimana nih, Pak? Anak bapak sangat sulit untuk dikeluarkan!” Tanya dokter yang seketika membuyarkan lamunan Ayah. Ayah tak menjawab, dibiarkannya peranyaan itu menggantung dan seketika mendekati sang istri yang telah Nampak terkulai lemah di hadapannya. Dengan pandangan lembut, Ayah mengarahkan pandangannya menuju kea rah kepala sang bayi seraya terus beristighfar di dalam hati. “Maafkan Ayah, Nak… dahulu Ayah pernah berkata bahwa Ayah hanya ingin memiliki seorang anak saja namun Ayah tak bermaksud tak menginginkan kehadiranmu di kehidupan Ayah, sekali lagi Ayah meminta maaf kepadamu, sekarang Ayah mohon keluarlah engkau, Nak!” ucap Ayah lirih diiringi deraian air mata. Setelah Ayah berkata demikian, seketika sang bayi tersebut pun keluar dan meluncur dari tempatnya dengan mudahnya hanya dalam hitungan detik. “OOOOeekkk… OOOeeekkk…,” tangisan merdu sang bayi itu telah memecahkan rasa kepanikan yang menerpa orang di sekitarnya. Rasa sakit dan perih yang tadi dirasakan oleh Ibu, mendadak lenyap tanpa menyisakan rasa sakit sedikit pun seiring terlahirnya sang buah hati. ayah pun mengambil sang bayi tersebut dari tangan sang dokter lalu menimangnya dengan penuh kasih saying. “Allahu Akbar Allahu Akbar… Allahu Akbar Allahu Akbar…” Ayah mengumandangkan adzan pada telinga sebelah kanan sang bayi sesuai sunnah Rasulullah. Setelah selesai mengumandangkan adzan, Ayah juga mengumandangkan iqomat pada telinga sebelah kiri sang bayi. “Allahu Akbar Allahu Akbar… Asyhaduanlaa ilaaha illallaah…” air mata Ayah pun makin berderai dan tak dapat terkendali lagi. -***- “Bangun, Nak! Buruan bangunnya, kita akan ke rumah bersalin secepatnya, adik kamu udah lahir! Dan Alhamdulillah adikmu itu laki-laki loh!” ujar Bibi berusaha membangunkanku. Setelah mendengar dan mengetahui hal tersebut, aku yang masih memasang wajah yang ngantuk, mendadak mataku melek dan terbelalak. “Apa?!!! Adikku sudah lahir?! Yes yes yes!!! Asyik aku punya adik baru!” sorakku kegirangan seraya seketika turun dari tempat tidur dan berjingkrak-jingkrak kesana-sini. Saking senangnya aku pun buru-buru mandi dan segera berpakaian. “Waduh pakai baju yang mana ya? Aku jadi bingung! Tak ada Ibu disini sih! Mmm… yang ini aja deh,” ujarku seraya mengeluarkan salah satu baju dari tas besar milik Ibu yang berisi baju-baju Ayah, Ibu, dan juga baju-bajuku sebab kami telah seminggu nginap di rumah nenek. “Kamu sudah selesai belum? Buruan ya..” Tanya Bibi memastikan. “Aku sudah siap, Bi! Yuk kita pergi!” jawabku mantap. “Kalau gitu, yuk kita turun ke bawah, kita sarapan dulu,” ujarnya seraya merapikan rambutku yang tak sempat kurapikan sebbab aku tak menemukan sisir di kamar nenek. Setibanya di bawah, aku dan sanak keluargaku sarapan bersama lalu kemudian berangkat menuju ke rumah bersalin dengan menumpangi sebuah mobil. -***- “Ibu…!” panggilku kegirangan. “Eh saying.. kamu sudah datang!?” ujar Ibu seraya tersenyum manis kepadaku. “Ibu baik-baik aja kan? Oh ya, adikku mana? Aku tak sabar pengen melihatnya!” tanyaku seraya memeluk Ibu. “Sabar dong saying, adikmu lagi dimandiin sama perawat,” jawab Ibu dengan suara lembut. “Aku jadi penasaran Nih, Bu! Bagaimana sih tampang adikku itu?” tanyaku. “Mmm… gimana ya?! Wajahnya lucu, rambutnya agak keriting, dan badannya gede! Bagaimana?! Kamu sudah bisa membayangkannya kan?” jawab Ibu dengan semangat. Tok..tok..tok… terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Aku pun bergegas menuju ke pintu dan dengan sigap membukanya. Setelah membuka pintu tersebut, kini di hadapanku berdiri seorang perawat yang tengah menimang seorang bayi yang berciri-cirikan sesuai dengan cerita dan gambaran dari Ibu barusan. Dan sangat amat yakin bahwa bayi yang ditimang oleh perawat itu adalah adikku. “Selamat pagi, nih bayinya sudah dimandiin,” ujar sang perawat tersebut namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya tengah berdiri. “Wah sudah dimandiin ya, Sus… silahkan masuk… saying, minggir dong, Nak! Perawatnya kan tak bisa masuk kalau kamu tetap berdiri di situ?! Beri jalan gih! Buat perawatnya,” seru Ibu. “Ternyata benar kan?! Bayi itu adalah adikku! Wah adikku sangat menggemaskan!” gumamku dalam hati. aku pun berlari menuju kea rah Ibu dan sang perawat tersebut masuk kemudian meletakkan sang bayi itu tepat di samping Ibu. “Wah… terima kasih ya, Sus, sudah memandikan bayi saya,” ujar Ibu kepada sang perawat tersebut. “Uhg.. aku jadi gemes!! Lucunya adikku ini!” celotehku seraya mengecup kening adik kecilku. “Eh tahu nggak sih kamu?! Sekrang kamu tak disayang lagi tuh sama Ayah dan Ibu kamu soalnya mereka sekarang lebih saying sama adik kecilmu itu,” celetuk Bibi menggodaku. Mendengar perkataan tersebut, spontan aku mengerinyitkan keningku lalu memandang ke arah Ayah dan Ibu. “Tenang saja, tentulah Ayah dan Ibu masih menyayangimu dan rasa saying kami kepada kamu dan adikmu sama rata kok! Kami tak akan membeda-bedakannya, jangan didengar kata Bibimu itu, dia cumin bercanda kok!” ujar Ayah seraya mengelus-ngelus kepalaku. Setelah mendengar penuturan dari Ayah, aku merasa lega walaupun aku sempat melototin Bibi yang tadi telah sempat menggodaku agar aku merasa cemburu dan kesal. Menyaksikan hal tersebut, seluruh orang yang ada di kamar itu pun tertawa terbahak-bahak. Hikmah: Sebagaimana yang kita ketahui selama ini, perkataan adalah doa. Maka dari itu, janganlah berkata yang tidak-tidak yang dapat menimbulkan mudhorat buat diri sendiri ataupun orang lain di sekitar kita. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar walau perkataan itu hanya terlontarkan di hati. selain itu, de sekitar kita ada beberapa malaikat di tengah-tengah kita yang senantiasa mencatat segala perkataan kita dan biasanya mengaminkan perkataan dari manusia. Dan terkadang kita sebagai manusia biasa yang tak luput dengan sifat lupa, seringkali kita telah lupa akan perkataan kita sehingga dari perkataan kita pula sangat berpengaruh akan hari ke depan. Maka sekali lagi jagalah perkataanmu walau perkataan itu di dalam hati. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar