Sabtu, 26 Mei 2012

Akhir dari Sebuah Perjuangan


            Langit di luar sana nampak mendung. Awan kelabu turut menghiasi. sang surya seakan enggan menampakkan sinarnya. Suara guntur yang menggelegar seolah mengisyaratkan pertanda hujan akan turun. Tik tik..tik.. selang beberapa detik kemudian , hujan telah membasahi segalanya. Dalam lebatnya hujan, nampaklah seorang gadis bersama tongkatnya yang tengah kebingungan mencari tempat untuk berteduh, seluruh pakaian yang ia kenakan telah basah kuyup. Tubuhnya menggigil,  ia menggigit bibirnya sendiri menahan dingin yang menusuk.
“Aku ingin pulang… tubuhku....” rintihnya. Brukk!!! Tubuh gadis itu ambruk, ia kehilangan keseimbangannya hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.

-***-

Beberapa jam kemudian, gadis itu telah sadar.
“Di mana aku ini?” Tanya gadis itu seraya meraba di sekitarnya.
“Dasar anak bodoh! Kamu bisanya hanya menyusahkan orang tua ya!”, terdengar suara makian dari seorang wanita tua yang mungkin merupakan Ibu dari gadis itu.
“Ibu… kok Ibu ada di sini? Oh ya, Bu, sekarang Lia ada di mana?” Tanya  gadis itu yang ternyata bernama Lia.
“Sekarang kamu ada di rumah sakit, untung saja ada tetangga dekat rumah yang lihat kamu tengah pingsan di pinggir jalan. Malu-maluin aja kamu! Apa kata tetangga nanti, mereka pasti bilang saya tidak becus mengurus kamu,” jelas ibu itu disusul dengan sebuah tamparan yang mendarat langsung ke pipi Lia. Lia meringis, air matanya pun bercucuran, namun ia hanya pasrah diperlakukan seperti itu. Ibunya mengajaknya pulang dengan kasar menarik lengan Lia.
“tunggu dulu, Bu… uang dan semua barang dagangan Lia ada di mana, Bu? Lia ingin membawanya pulang,” Tanya Lia.
“Semua uang hasil daganganmu Ibu pakai untuk bayar biaya perawatanmu, dan semua kripik daganganmu Ibu buang ke tong sampah, puas!” jawab ibunya. Lia hanya menghela nafas panjang tanpa berkomentar sedikit pun. Akhirnya, mereka pun meninggalkan tempat itu.

-***-

Setibanya di rumah, bukannya menyuruh Lia istirahat, malahan Lia menerima sejuta makian yang bertubi-tubi dari ibu dan kakaknya. Kemudian ibunya berkata pada Lia agar menghentikan dagangannya. Selain itu, ibunya juga berkata bahwa ia malu memiliki anak cacat seperti Lia dan tak bisa membanggakan orang tua tak seperti  kakaknya yang telah hampir berhasil menjadi seorang dokter. Bahkan parahnya, ibunya menceritakan bahwa sewaktu kecil, ibunya hampir membuangnya ke tong sampah karena tak menginginkan kehadirannya di dunia ini namun dicegah oleh ayahnya. Seketika Lia tersentak bak disambar oleh petir di siang bolong, ia tak pernah menyangka ibunya akan berkata demikian. Sejak insiden itu, Lia jarang lagi keluar dari kamarnya kecuali untuk mengerjakan tugas-tugas rumahnya sebagai anak yang harus membantu orang tua, dan tak ada secuil pun terbersit dalam hati dan pikirannya rasa benci kepada mereka. Ia tetap menyayangi mereka dengan sepenuh hati.

-***-

Rasa sepi serta hampa telah menerpa kehidupan dan kesehariannya seolah hidup sebatang kara di dunia ini. Tiada lagi canda tawa yang mewarnai hidupnya, keceriaannya telah lenyap. Sepeninggal Ayahnya, Lia tak pernah lagi merasakan hangatnya kasih sayang dari keluarga sebab cuman ayahnyalah orang di dunia ini yang paling menyayanginya. Mengajari Lia untuk berjalan sendiri dengan menggunakan sebuah tongkat dan membacakan sebuah buku cerita untuk Lia pada setiap malamnya merupakan rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh ayahnya sewaktu masih hidup. Semua kenangan itu masih tersimpan rapi dalam benaknya. Malam itu, kenangan itu terus menari-nari dalam otaknya hingga akhirnya ia pun tertidur. Dalam tidurnya, Lia bermimpi  berada di suatu tempat dan mendengar sebuah suara yang memanggil-manggil namanya, suara yang tak asing lagi di kupingnya, suara itulah yang selalu ia cari dan ia rindukan selama ini yang tak lain itu adalah suara ayahnya. Mereka pun bertemu dan saling berangkulan disertai deraian air mata dari keduanya, namun tak lama kemudian sekejap ayahnya menghilang dari dekapannya, Lia pun berteriak histeris memanggil-manggil   ayahnya seolah takut kehilangan ayahnya. Lia pun terbangun dari mimpinya, namun ia menemukan bantalnya telah basah oleh air matanya.

-***-

Keesokan harinya, Bu Risa salah satu tetangganya mampir ke rumahnya menginfokan kepada Lia tentang SLB gratis yang terletak tak jauh dari rumah sanak keluarganya yang mungkin membutuhkan sekitar 10 jam untuk sampai ke tempat itu. Ibunya yang kebetulan lewat, sangat senang dan sungguh berantusias untuk memasukkan Lia ke SLB itu sebab pikirnya dengan tiadanya Lia di rumah ini akan menghilangkan bebannya selama ini. Lia bahagia bercampur sedih sebab impiannya untuk bersekolah telah tergapai namun ia harus tinggal jauh dari ibunya. Lia tak pernah tahu tentang niat yang terselubung dibalik semua itu, andai Lia tahu yang sebenarnya, tentulah hatinya makin terluka.

-***-

Esok harinya, dengan diantarkan oleh Bu Risa yang kebetulan ingin berkunjung ke rumah sanak keluarganya, ia pun pamit kepada Ibu dan kakaknya lalu berangkat meninggalkan keduanya yang nampak bahagia dengan kepergiaan Lia. Sepanjang perjalanan, Lia tak henti-hentinya meneteskan air mata, perasaan haru dan sedih berbaur tak menentu melanda hatinya.

-***-

Setiba di SLB itu, orang-orang di sana menyambut hangat kedatangan Lia sebagai murid baru. Setelah berkenalan dengan semuanya, ia diajak  untuk mengitari seluruh ruangan dan tempat yang ada di SLB itu. Karena malam telah hampir tiba, Bu Risa pun pamit untuk pulang dan tak lupa Lia mengucapkan banyak terima kasih pada Bu Risa.

-***-

Seminggu kemudian, Lia telah dapat beradaptasi pada lingkungan sekitarnya. Bahkan Lia telah dapat menguasai huruf-huruf Braille yang telah diajarkan kepadanya, ia juga telah dapat menggunakan alat-alat elektronik seperti computer dan telepon genggam yang telah diberi semacam alat bantu khusus untuk para kaum tuna netra yaitu sebuah aplikasi yang telah diprogram untuk membacakan tulisan-tulisan yang tertera pada layar kedua alat elektronik tersebut. Program JAWS hanya diperuntukkan pada computer, sedangkan pada telepon genggam menggunakan program Talks. Meski kedua program itu berbeda, namun keduanya memiliki fungsi yang sama.

-***-

Tanpa terasa Lia telah setahun menempuh pendidikan di SLB itu, selama itu pula ia telah banyak mengukir prestasi dan mengharumkan nama SLB itu di tengah masyarakat berkat menjuarai beberapa lomba menulis dan mengarang yang diadakan di berbagai tempat. Hobi dan bakat menulis yang dimilikinya, telah melahirkan beberapa tulisan-tulisan karyanya yang begitu indah untuk dibaca. Lia adalah gadis cerdas yang memiliki daya tangkap yang kuat juga tekun dan merupakan seorang pekerja keras. Maka tak heran lia bisa seperti saat ini. Lia mengirimkan sebagian uang tunai hasil perlombaannya itu kepada ibu dan kakaknya dan sisanya ia sisihkan untuk ditabung agar ia dapat membeli sebuah laptop berhubung computer yang ada di SLB itu cuman satu sedangkan siswa yang ingin menggunakannya sekitar 50 siswa. Meski uang harga laptop lumayan tinggi, namun ia tetap berjuang untuk mendapatkan sebuah laptop sebab ia sangat membutuhkan benda itu sebagai media untuknya menuangkan tulisan-tulisannya itu disbanding ia harus menggunakan setumpuk kertas yang terkadang tulisannya tak dapat dibaca lagi oleh beberapa faktor.

-***-

Sebulan kemudian, tepatnya di hari Minggu yang cerah pada awal bulan Agustus, Lia kedatangan Bu Risa yang membawa sesuatu untuknya yang ternyata ialah sebuah laptop. Setelah menerima pemberian itu, Lia mematung, ia menyangka dirinya tengah bermimpi. Namun setelah Bu Risa menepuk pundaknya, barulah ia sadar bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi. Lia pun spontan mengucapkan terima kasih seraya memeluk Bu Risa. “Suami Ibu telah membeli sebuah laptop, daripada laptop itu hanya menganggur, Ibu pikir mending laptop itu buat kamu yang hobi nulis,” ujarnya merendah. Setelah memberikan laptop itu kepada Lia, Bu Risa pun segera pamit, ia nampak tergesa-gesa sebab ia telah ditunggu oleh suaminya yang telah berkali-kali membunyikan klakson dari mobilnya.

-***-

Sejak ia memiliki sebuah laptop, dengan ditemani oleh sekawan burung yang berkicau di atas pohon yang seolah bernyanyi untuknya, disertai semilir angin yang membelai wajahnya, dan dikelilingi oleh bunga-bunga yang bermekaran di sana-sini, Setiap saat jari-jemarinya seakan tak ingin berhenti bermain di atas tuts laptop yang selalu setia menemaninya untuk menuliskan segala yang bersumber dari berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari namun menarik baginya. Laptop itulah yang akan menjadi saksi bisu atas perjuangan Lia selama ini untuk menjadi seorang penulis sejati.

-***-

Seiring waktu berjalan,  hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tak terasa tahun pun silih berganti. Pada hari ini, Lia tepat menginjak usia 17 tahun, usia yang manis bagi seorang gadis seusianya. Para sahabatnya sepakat untuk menyiapkan sebuah kejutan untuknya. Seorang temannya membawanya ke taman dan mendudukkannya pada sebuah kursi kayu. Meski tak tahu apa-apa, ia hanya mengikut pada permainan temannya itu. Seketika sebuah mahkota yang terbuat dari butiran manik-manik yang telah dirancang sedemikian rupa telah terpasang manis di atas kepalanya, ia Nampak anggun dengan mahkota itu. Lalu ia dikejutkan oleh suara rentetan terompet yang membahana dari segala arah disertai sebuah lagu ulang tahun yang dinyanyikan serempak oleh seluruh temannya. Seorang dari mereka membawa sebuah kue ulang tahun yang di atasnya telah terpasang dua buah lilin sesuai usianya saat ini. Setelah meniup kedua api lilin atas permintaan para temannya itu, Lia mengucapkan banyak terima kasih atas pesta sederhana itu namun sangat berkesan dan berarti buatnya.

-***-

Malam hari pun tiba, sang bulan pun telah hadir di tengah-tengah jutaan bintang yang saling beradu untuk memancarkan kilauan sinarnya. Seperti biasanya, Lia tengah seriusnya mengerjakan tugas sekolahnya yang telah menumpuk, Lalu dilanjutkan oleh kegiatan menulis yang sering ia lakukan setiap malamnya. Uhuk..uhuk… Lia terbatuk, membuat dadanya terasa perih yang luar biasa hingga tubuhnya pun ikut terguncang. Lia meredam suara batuknya dengan menutup mulutnya dengan menggunakan salah satu tangannya agar suara batuknya itu tak mengganggu teman kamarnya yang tengah asyik tidur. Uhuk…! Seketika dari mulutnya memuncratkan cairan merah, cairan itu mengenai tangan dan tepi bibirnya. Bu Rahma istri dari kepala asrama tak sengaja menemukan Lia dangan tubuhnya yang nampak terguncang oleh batuknya. Wajahnya nampak pucat dan ia mendadak demam, dan suhu tubuhnya meningkat melebihi suhu normal pada umumnya. Ketika Bu Rahmah berniat untuk mengambil obat buat Lia, pandangannya tertuju pada bercak-bercak darah yang telah mengotori lantai yang ada  di sekitar tempat Lia duduk saat ini. Matanya terbelalak seolah ia sangat terperanjat pada apa yang baru saja ia lihat tepat di hadapannya. Seketika matanya pun tertuju pada Lia yang masih saja menutupi mulutnya seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya. Bu Rahma memandang Lia dengan seksama, nampak padanya tangan dan mulut Lia terbalur oleh tetesan darah. Ia pun meminta penjelasan pada Lia mengenai hal tersebut, Lia hanya terdiam tak tahu apa yang semestinya ia katakan pada Bu Rahma sebab ia pun tak mengerti apa yang terjadi padanya saat ini. Karena Bu Rahma terus mendesaknya, terpaksa Lia pun berbohong dengan mengatakan bahwa darah itu berasal dari gusi dan bibirnya akibat terbentur pada dinding saat ia tengah berjalan tadi. Nampaknya Bu Rahma agak ragu pada jawaban Lia, ia pun segera beranjak dari tempat itu untuk mengambil sebutir obat dan segelas air putih untuk Lia meski dalam hatinya masih menyisakan beberapa tanya.

-***-

Demikianlah hal itu sering terjadi berulang kali, selera makannya pun telah lenyap, tubuh idealnya kini berubah drastis menjadi tubuh yang tipis dan kurus, dan tak jarang ia selalu saja terjangkit oleh influenza yang hilang timbul. Ia pun memutuskan untuk mencari tahu mengenai kondisinya yang makin hari makin memburuk. Kini ia telah berada tepat di hadapan komputer milik sekolahnya yang telah dihubungkan pada sebuah modem. Setelah sejam berkutat di depan layar computer, akhirnya ia pun berhasil menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Dengan hati miris, ia pun membaca kata demi kata yang tertera pada layar computer tersebut. Ia berusaha mencerna tulisan pada artikel itu dengan seksama. Kini ia pun tahu akan kondisinya saat ini yang ternyata ia tengah mengidap sebuah penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Seusai mematikan computer itu, ia pun beranjak dari tempat itu dan kembali ke kamarnya. Di kamar, tulisan artikel tadi terus berputar-putar memenuhi ruang otaknya seakan menghantuinya. Ia sangat menyesal akan pola hidup buruk yang ia miliki dan seringnya begadang telah membuat dirinya terjangkit oleh penyakit mematikan itu. Ia pun berniat untuk meninggalkan SLB itu sebab ia tak ingin penyakitnya itu menular kepada orang di sekitarnya.

-***-

Pada esok harinya, ia pun telah siap beserta barang-barangnya yang telah ia bereskan semalam untuk meninggalkan SLB itu dengan berat hati. Dengan alasan ingin istirahat, ia pun pamit kepada para penghuni SLB itu yang nampak begitu berat melepaskan kepergian Lia disertai air sungai yang deras mengalir dari pelupuk mata mereka. Lia pun beranjak dari tempat itu dengan menumpangi sebuah bus.

-***-

Sekitar kurang lebih 10 jam kemudian, Lia pun telah tiba di muka rumahnya dengan selamat. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, ia menemukan rumahnya nampak sepi, ibu dan kakaknya pun tak ada di tempat sedangkan pintu rumahnya sama sekali tak terkunci sehingga tadi ia dengan mudahnya menerobos masuk ke dalam rumah tanpa menunggu ibu atau kakaknya untuk membukakan pintu, ia pun berpikir bahwa mungkin ibunya lagi tengah berbelanja di kios Pak Jalil yang tak jauh dari rumahnya itu. Saat Lia masuk ke kamarnya dan menuju ke tempat tidurnya, betapa terkejutnya ia menemukan kamarnya telah disulap menjadi sebuah gudang. Hatinya pun menangis sejadi-jadinya. Karena tempat itu dipenuhi oleh debu, Lia spontan terbatuk seraya keluar dari gudang itu. Pada saat yang bersamaan, ibu dan kakaknya telah datang, mereka sangat terperanjat akan kehadiran Lia yang kini berada tepat di hadapan keduanya. Tiba-tiba pandangan mereka mengarah pada lantai putih yang telah ternoda oleh tetesan-tetesan darah di sekitar Lia berpijak saat ini. Seketika itu pun Lia diusir oleh kakaknya sebab kakaknya yang merupakan seorang mahasiswa kedokteran dan tentunya ia tahu persis akan penyakit Lia itu. Ibunya yang tak tahu menahu akan penyakit itu hanya terdiam mendengar penjelasan dari kakak Lia bahwa Lia tengah mengidap penyakit Tuberklosis atau disingkat dengan nama TBC yang dengan mudah menular pada orang di sekelilingnya. Kakaknya pun menambahkan pada ibunya bahwa penyakit itu bisa mematikan penderitanya. Setelah mengetahui hal itu, ibunya pun ikut mengusirnya sebab ia takut tertular oleh  penyakit itu. Lia hanya tertunduk lesu disertai air sungai yang mengalir dari kedua matanya.Dengan langkah gontai, Lia pun menyeretkan langkahnya  meninggalkan keduanya.

-***-

Di luar sana langit jingga telah memudar, yang kini tergantikan oleh langit yang kelam namun nampak benderang sebab kilat yang menyambar-nyambar. Percikan-percikan air dari langit seakan melukiskan nestapanya serta hati yang menangis. Di tengah perjalanan, sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan angin pada jalan yang ada di hadapan Lia. Brakk…!! Lia terhempas ke pinggir jalan, darah segar mengucur dari seluruh tubuhnya, barang-barannya pun berserakan di sekitarnya. Seorang pria dengan menggunakan setelan jas hitam turun dari mobilnya, ia menghampiri Lia yang terkapar tak berdaya. Pria itu pun mengangkat tubuh serta barang-barang Lia menuju ke mobilnya. Pria itu pun memacu mobilnya dengan kecepatan kilat menuju ke rumah sakit terdekat.

-***-

Setibanya di sana, Lia pun segera ditindaki oleh dokter-dokter di  rumah sakit itu, nampaknya ia mesti dioperasi malam itu juga sebab ia mengalami pendarahan hebat dan kedua kakinya patah. Setelah pria itu menandatangani surat persetujuan tindak operasi tersebut, Lia pun dioperasi yang mungkin memakan waktu sekitar 4 jam. Sambil menunggu Lia yang tengah dioperasi, ia menghidupkan laptop milik Lia berharap dapat menemukan data identitas Lia. Sudah sejam ia mengutak-atik laptop itu, namun hasilnya nihil, usahanya sia-sia belaka. Namun ia menemukan sebuah folder yang bernama aku dan seluruh kenangan. Pria itu tercengang setelah membuka folder tersebut yang ternyata di dalamnya berisi puluhan tulisan-tulisan karya Lia. Seketika perhatiannya tertuju pada sebuah novel karya Lia yang berjudul My Life Story, ia pun segera membacanya. Beberapa jam kemudian, operasi pun telah selesai, namun Lia tengah mengalami koma. Setelah dipersilahkan oleh salah satu dokter, pria itu pun masuk untuk melihat kondisi Lia yang sangat memprihatinkan.

-***-

Telah sebulan Lia mengalami koma dan terbaring di rumah sakit, belum juga ada tanda-tanda bahwa Lia akan sadar, namun pria itu tetap setia menunggui Lia hingga akan sadar dari komanya.
“Bangunlah… aku menunggumu, kehadiranmu mengenalkanku pada cinta dan ketulusan, aku menyayangimu meski aku tak mengenalmu” bisiknya dengan lembut di kuping Lia. Seketika Lia terbangun dari komanya memecahkan keheningan ruangan tersebut. pria itu bersujud tanda syukur pada Sang Pencipta.
“Kamu siapa?” Tanya Lia yang menyadari akan kehadiran seseorang selain dirinya di ruangan tersebut. Pria itu pun memperkenalkan dirinya bahwa ia bernama Firman, tak lupa ia juga meminta maaf atas kecelakaan yang menimpa Lia tempo hari. Selain itu, Firman sempat memuji atas karya-karya Lia, dan ia menawarkan pada Lia untuk menerbitkan seluruh karya Lia sebab kebetulan ia adalah seorang penerbit. Lia tersenyum anggun, namun mendadak wajahnya berubah murung. Melihat hal itu, Firman pun menangkap bahwa Lia tengah memiliki sebuah masalah, ia pun menanyakan hal itu pada Lia dan menawarkan dirinya untuk menjadi pendengar sejati atas masalah yang tengah Lia hadapi saat ini. Sejenak Lia tertunduk, ia menitikkan air mata, ia pun menceritakan segala masalahnya. Setelah mendengar cerita dari Lia, Firman turut larut seakan dapat merasakan kesedihan Lia. Sebenarnya Firman telah mengetahui sebagian seluk-beluk kehidupan Lia dari novel My Life Story karya Lia, tapi ia hanya mengira cerita nobel itu hanyalah sebuah fiktif belaka. Kemudian mereka berdua pun terlibat dalam sebuah percakapan mengenai kehidupan mereka masing-masing. Setelah mengakhiri percakapan, Firman pun mengajak Lia untuk ikut bersamanya besok malam. Namun Lia menolak dengan alasan tak enak hati dan takut akan gunjingan dari tetangga Firman sebab ia tahu dari percakapan mereka tadi bahwa Firman  adalah orang terpandang di tengah warga sekitarnya apalagi orang tuanya telah tiada sehingga ia hanya tinggal berdua bersama seorang pembantunya. Namun Firman tetap bersikeras agar Lia bisa ikut bersamanya, ia menegaskan kepada Lia bahwa ia bukanlah orang jahat dan ia juga mengatakan bahwa ia akan menyiapkan sebuah kejutan buat Lia. Mendengar suara Firman yang memelas, Lia pun memilih untuk menyerah dan mengalah pada Firman seraya berusaha turun dari ranjang namun dicegah oleh Firman dengan mengatakan padanya bahwa ia tak bisa lagi berjalan dengan kedua kakinya itu. Lia yang telah mengetahui hal itu, hanya dapat menghela nafas panjang.

-***-

Pada esok harinya di rumah Firman, mereka disambut riuh dengan hangat oleh seluruh rekan-rekan Firman beserta anak buahnya, Lia tak menyangka akan hal itu sebab ia tak tahu apa-apa. Kemudian sejenak tiba-tiba seluruh orang yang ada di rumah itu mendadak terdiam terkecuali Firman yang ingin menyampaikan sesuatu kepada seluruh tamu, khususnya kepada Lia.
“Lia, selama aku menungguimu dalam komamu, selama itu pula aku makin tak ingin jauh darimu, aku ingin selalu menemanimu dalam sedih dan bahagiamu, hatimu sungguh cantik, dan aku telah mencintaimu dengan apa adanya, apa pun yang terjadi padamu aku tak peduli, aku merelakan diriku untukmu. Di hari berbahagia ini, di depan penghulu dan para saksi, maukah engkau menjadi pendamping dunia serta akhiratku? Aku mohon, jangan katakan tidak padaku karena hatiku akan terluka,” kata Firman dengan bersungguh-sungguh. Lia pun sesaat terdiam yang kemudian mengiyakan pernyataan dari Firman seraya tersenyum manis pada Firman. Seluruh orang yang hadir di tempat itu pun ikut terharu dan meneteskan air mata bahagia. Keduanya pun menikah dengan mahar 100 gram emas beserta seperangkat alat sholat, mereka pun sah menjadi sepasang suami istri. Ternyata Firman telah merencanakan dan mempersiapkan semua itu hanya dalam sehari.

-***-

Sang waktu pun terus bergulir, tanpa terasa telah 2 tahun mereka arungi bahtera rumah tangga bersama-sama dengan harmonis. Dengan sabar dan penuh tulus kasih sayang, Firman merawat Lia sang belahan jiwanya, ia tak pernah merasa jijik apalagi takut pada penyakit yang Lia miliki yang suatu saat bisa saja menular padanya, ia tak menghiraukan hal itu. Kondisi Lia saat ini pun berangsur telah membaik,. Namun seminggu belakangan ini, Lia merasakan ada sesuatu yang janggal, ia merasa ada seseorang yang selalu mengikutinya ke mana dan di mana pun, namun saat ia menanyakan hal itu kepada suami dan pembantunya, mereka hanya menjawab bahwa tak ada seorang pun di rumah itu selain mereka bertiga dan mereka meyakinkan pada Lia bahwa hal itu hanyalah perasaannya saja. Hingga tiba pada suatu malam, sesuatu yang ia rasakan itu terjadi. Pada malam itu, Lia dan Firman tengah asyik ngobrol membahas mengenai pameran buku yang akan diadakan oleh Firman yang di dalamnya hanyalah khusus untuk buku-buku karya Lia yang semuanya telah menjadi buku-buku terlaris di tengah publik saat ini. Karena keasyikan ngobrol hingga larut malam, Firman pun terlelap di samping Lia yang masih saja terjaga. Lia pun mengambil laptopnya yang ada tepat di atas sebuah meja kecil di samping ranjangnya, ia pun melanjutkan tulisannya yang telah hampir selesai, 2 jam kemudian novel itu pun telah selesai. Ketika Lia hendak tidur, seketika suara hatinya berbicara seakan menuntunnya agar ia segera mengambil air wudhu dan mendirikan sholat sebanyak dua raka’at. Ia pun mengikuti suara hatinya itu, dengan bersusah-payah ia pun berusaha menggapai kursi rodanya dan naik ke atasnya. Setelah mengambil air wudhu dari toilet yang ada di dalam kamarnya, ia pun sholat duduk di atas kursi rodanya itu. Setelah itu, ia pun kembali ke ranjangnya dan berbaring di atasnya. Sesosok gaib datang menghampirinya dan menyampaikan sesuatu kepada Lia. Lia yang begitu terkejut berusaha tenang, dengan lembut tanpa membangunkan suaminya itu, ia pun mengecup kening sang suami tercinta disertai air mata yang menetes dari kedua matanya. Kemudian ia mengambil telpon genggamnya itu dan menuliskan sebuah pesan yang ditujukan kepada nomor suaminya itu. Ia pun kembali berbaring di tempatnya, kedua tangannya ia tumpukkan di atas tubuhnya, dan dengan perlahan ia pun memejamkan mata seraya mengukir sebuah senyum bahagia di bibirnya.

-***-

Terdengar samar suara adzan dikumandangkan, Firman pun terbangun, ia memandang istrinya yang masih terbaring di sampingnya. Ia heran tak biasanya Lia masih tertidur jam segini, biasanya istrinyalah yang bangun terlebih dahulu untuk membangunkannya sholat subuh. Ia pun menepuk lengan Lia, namun Lia tak meresponnya, ia pun berpikir bahwa mungkin Lia sangat kecapaian, ia pun bangkit untuk mengerjakan sholat subuh. Seusai sholat, ia mengambil telpon genggamnya yang ada di saku celananya, ia pun menemukan sebuah pesan baru pada telponnya itu dan segera membacanya. Betapa terkejutnya ia membaca pesan itu, di pesan itu Lia menuliskan bahwa ia telah akan pergi untuk selamanya, dan ia berpesan agar novel terakhir yang ia buat yang berjudul Surat Untuk ibu diantarkan kepada ibunya. Selain itu, ia berpesan kepada Firman agar melanjutkan perjuangannya untuk mendirikan sebuah yayasan penyandang cacat untuk kalangan orang yang tak mampu di samping cita-citanya menjadi seorang penulis. Setelah membaca pesan itu, Firman segera merangkul Lia yang telah tak bernyawa lagi diiringi deraian air mata duka.

-***-

Setelah Lia dimakamkan, Firman segera menuju ke gedung pameran untuk meresmikan pameran tersebut sebab ia telah berjanji kepada Lia meski ia telah tiada. Beberapa jam kemudian, acara pameran itu pun berakhir. Ia pun menancapkan gas mobilnya menuju ke rumah ibu Lia. Setibanya di rumah itu, ia dibukakan pintu oleh ibu Lia dan mempersilahkan Firman untuk masuk ke dalam. Firman menolak dengan alasan terburu-buru, ia langsung memberi novel itu dan menyampaikan bahwa Lia baru saja berpulang ke rahmatullah, lalu beranjak meninggalkan rumah itu.

-***-

Karena penasaran dengan novel itu, ibu Lia pun segera membacanya. Setelah selesai membaca novel itu, ia segera berlari dari rumahnya dengan terbirit-birit bagai kesetanan, di sepanjang jalan ia tak henti-hentinya memanggil nama Lia disertai kata maaf berulang-ulang kali terlontar dari mulutnya. BRakk!!! Sebuah truk telah menabraknya, tubuhnya terlempar ke sebuah sungai yang arusnya begitu deras sehingga tubuh yang telah tak bernyawa lagi terbawa oleh arus sungai tersebut.

-***-

Sebulan kemudian, terdengar kabar bahwa mayat ibu Lia hingga kini belum ditemukan dan kakak Lia tengah di rawat di salah satu rumah sakit jiwa yang disebabkan frustasi karena tak sanggup lagi membiayai sekolah kedokterannya itu.  Pada alam yang berbeda, Lia beserta sang ayah tengah berbahagia di atas langit sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar