Perkenalkan namaku Risya, aku adalah
seorang putrid dari pasangan suami istri yang bernama M. Syair dan Risma Ria.
Sekarang ini, aku ingin berbagi pengalaman kepada kalian. . .
Saat
aku masih duduk di bangku SMP tepatnya
di salah satu
Pesantren, aku memiliki beberapa
taman dan kakak senior yang bersikap kurang baik terhadapku. Entah apa salah dan dosaku
terhadap mereka, yah. . . mungkin karena aku sangat dekat dengan guru-guruku di
sekolah, selain itu mungkin karena aku juga disenangi oleh sebagian kakak-kakak
senior di asrama. Awalnya sih, mereka baik terhadapku, malahan mereka
mengajakku masuk ke dalam geng mereka. Namun aku molaknya dengan alas an aku
ingin berteman dengan semua orang dan
aku nggak suka pilih-pilih teman. Selain itu, di pesantren aku terkenal rajin
beribadah, sholat dhuha, tahajjuddan puasa senin kamis tak pernah bolong, aku
juga sering mewakili sekolah dalm lomba-lomba antar sekolah. Mungkin karena
itulah mereka iri terhadapku mereka juga sering memgejekku sok cantik, sok
alim, sok pintar,dsb. Kalau ada tugas atau ulangan, mereka mendekatiku tapi di luar itu mereka sering
menjahatiku, bahkan salah satu temanku pernah membuang buku cetakku di tempat
sampah belakang sekolah. Ditambah lagi aku punya sahabat yang sering menusukku
dari belakang, di depanku sangat manis tapi di belakangku dia
menjelek-jelekkanku. aAkhirnya, aku sudah tak tahan lagi dan ingin pindah dari
pesanten itu. Apalagi seniorku sering main tangan, satu yang berbuat semua kena
imbasnya. Sempurnalah penderitaanku.
Seiring
waktu, aku merasa ada yang aneh dalam diriku, aku sering sakit-sakitan,
kepalaku sering terasa sakit, mataku terasa kabur dan aku sering merasa lemas
dan ngantuk yang berlebihan. Akhirnya, aku berkonsultasi kepada Pembina dan
dokter yang ada di pesantrenku. Mereka hanya memberiku obat sakit kepala dan
dokter juga menyaranku untuk memeriksa mataku karena dia hanya mengira mataku
membutuhkan kacamata . Aku pun memberitahukan hal itu kepada ayahku dan aku
juga berkata kepadanya bahwa aku ingin pindah sekolah. Namun ayahku tidak mempercayaiku dan dia
hanya mengira aku berpura-pura sakit agar bisa pindah dari pesantren itu. Aku
pun hanya bisa bersabar, dan hal itu terulang kembali tapi bedanya hal itu
terjadi di sekolahku, aku jarang lagi mengerjakan tugas sebagai seksi madding
di sekolah dan seniorku barkata bahwa aku hanya berpura-pura sakit dan
mengiraku malas hingga akhirnya aku dikeluarkan dari seksi madding dan
memindahkanku ke seksi yang lebih berat lagi yaitu seksi ibadah. Sekali lagi,
aku hanya bisa berusaha sabar dan menguatkan hati, aku hanya bisa curhat kepada
Allah dalm setiap tahajjudku karena hanya dia yang mengerti perasaanku.
Pada
saat seminggu sebelum lebaran idul adha, aku demam tapi semalam sebelum lebaran
idul adha tiba aku merasa lebih baikan sehingga esok paginya aku berniat untuk
mandi dan bersiap-siap ke mesjid. Tiba-tiba. . . tubuhku terasa menggigil yang
luar biasa tapi aku tetap memaksakan diri untuk pergi ke mesjid, akhirnya
tubuhku membungkuk menahan dingin dan gemetaran ketika aku sholat. Seminggu
kemudian, aku kembali masuk sekolah, tapi dua hari kemudian aku sakit kembali
dan akupun pulang kembali ke rumahku, dan ternyata hari itu adalah hari
terakhir aku di bersekolah di pesantren itu. Hampir setiap hari kepalaku merasa
sakit dan aku hanya mengkonsumsi obat sakit kepala seperti di pesantren hingga
hal itu menyebabkan lambungku sakit dan sering merasa mual dan muntah. Lama
kelamaan, keadaanku makin memburuk tiap harinya, penglihatanku menjadi dua
sehingga aku sering menutup salah satu mataku dalam mengerjakan segalanya.
Ayahku pun membawaku ke dokter mata dan dokter mengatakan bahwa mataku
baik-baik saja akan tetapi dia menyarankanku ke dokter bagian saraf juga
menyarankan untuk melakukan scan kepala dan rongseng. Setelah melakukan segala
saran dokter, hasil foto scan dan rongseng itu diberikan kepada dokter.
Ternyata. . . alangkah terkejutnya aku dan ayahku mendengar perkataan dokter
yang mengatakan bahwa aku positif mengidap tumor otak, “Ya Allah. . .!!”
pekikku dalam hati.
Setibannya
di rumah, ayahku menyampaikan hal itu kepada ibuku tetapi ibuku tetap berusaha
tenang dan menguatkan hatinya. Hari demi hari aku habiskan hanya dengan
menjalani pengobatan medis dan herbal, salah satnya aku mengikuti bekam dan
Alhamdulillah penglihatanku yang tadinya dua menjadi normal kembali meski
penglihatanku masih agak kabur. Akan tetapi, kondisi tubuhku makin hari makin
tak karuan, bahkan saat aku dibonceng oleh ayahku untuk cek up ke rumahsakit,
aku pingsan di atas motor sehingga tubuhku terseret-seret di jalan dan ayahku
tak menyadari hal itu, ayahku baru sadar ketika seorang ibu-ibu memberitahukan
kepada ayahku bahwa aku dalam keadaan tak sadar. Ayah dan ibu tadi bersama-sama
membawaku pulang ke rumah dan di rumah aku terkejut mendapatkan diriku sudah
ada di rumah dan ibuku menceritakan hal yang menimpaku tadi. Tak lama setelah
kejadian itu, aku dilarikan ke rumah sakit karena kondisiku yang sangat
memperhatinkan, dan dokter-dokter di rumahsakit menyarankan kepada orang tuaku
agar dilakukan operasi yang mungkin membutuhkan waktu tiga sampai empat jam
dengan resiko yang besar antara lain penglihatanku bisa hilang, aku bisa
lumpuh, dan aku bisa mengalami pendarahan. Orangtuaku pun meminta saran kepada
sanak keluargaku dan mereka mengatakan tuk mengeluarkanku dari rumahsakit dan
mencoba berobat dengan jalan alternative dengan alas an ada salah satu
keluargaku bisa sembuh setelah malakukan pengobatan alternative. Akhirnya, aku
pun pulang kembali ke rumah tanpa membawa tangan kosong.
Namun
sayangnya setelah menjalani pengobatan alternative itu, kondisiku makin buruk
sebelumnya. Hingga akhirnya tepat pada
tanggal 25 juni 2007 yang dimana hari itu adalah hari ulang tahunku yang genap
berusia 14 tahun tiba, keluargaku mengadakan syukuran sore itu dan aku
mengundang sahabat-sahabatku agar dating ke rumahku. Hari pun menjelang
maghrib, tiba-tiba kepalaku terasa ingin meledak, rasa sakit yang saat itu
melebihi sakit sebelumnya, aku tak bisa lagi mengkontrol diriku, aku
mengerang—ngerang kesakitan dan tanganku reflex menarik-narik rambutkau sendiri
dan menendang-lemari besar di dekatku hingga lemari besar itu bergetar. :Gelap!
Gelap! Kenapa jadi gelap?!” tanyaku kepada semua keluargaku tetapi semuanya
hanya menangis menyaksikan kondisiku bahkan salah satu tanteku mengira aku
sudah hamper mati karena penglihatanku tiba-tiba gelap, ayah dan ibuku
menenangkanku hingga akhirnya aku tertidur. Hingga esoknya, aku terbangun dan
melihat plafon rumah yang berwarna putih akan tetapi ketika aku bangkit untuk
duduk, penglihatanku kembali gelap. Aku pun sadar bahwa aku telah kehilangkan
penglihatanku. Aku merasa sedih tetapi aku ikhlas menerima keadaanku bahkan aku
tak mengeluarkan setetes pun air mata, aku berusaha bersabar, tegar dan
menguatkan hatiku. Ibuku yang mendapatiku telah terbangun menanyakan kabarku,
aku hanya tersenyum dan menyembunyikan kesedihanku tetapi perasaan seorang ibu
tak bisa dibohongi. Ia tau bahwa aku lagi bersedih. “Kenapa, Nak?”
tanyanya dengan nada yang lembut, aku
hanya mengatakan kepada ibuku bahwa aku tak bisa melihat lagi, ia pun memelukku
dan berkata “Sabar ya, Nak. Anakku pasti kuat!” dan aku yakin di balik mataku
yang gelap ibuku tengah mengeluarkan air mata tanpa membertahu hal itu
kepadaku.
Waktu
demi waktu kulalui tanpa penglihatan, sekali lagi keadaanku makin terpuruk.
Tumor itu bukan lagi menyerang saraf mataku tetapi telah menyerang saraf
motorikku yang membuat tubuhku lumpuh total. Awalnya hanya kakiku yang tak bisa
jalan, kemudian itu aku tak bisa duduk, bila tubuhku ingin di dudukkan. . .
tubuhku reflex jatuh dan terasa sakit, dan makin parah lagi tubuhku tak bisa
dibalik baik ke kiri maupun ke kanan dan tubuhku makin kaku. Ketika ibuku
menyuapku, ia melihat pipiku tembeb seperti orang yang lagi sakit gigi,
ternyata makanan yang ia suap kepadaku tiga hari yang lalu tinggal berkumpul di
pipiku, ternyata semua sebagian fungsi tubuhku sudah tak berfunsi, sehingga
semua aktifitasku dilakukan di atas tempat tidur, bahkan buang air saja di luar
kesadaranku, telinga dan mulutku pun terganggu, kata-kata hanya erangan sakit
yang selalu terlontar dari mulutku. Duniaku menjadi terbalik, pagi menjadi
malam dan malam menjadi pagi, pagi aku tertidur pulas sedangkan malamnya aku
tidak bisa tidur dan penyakitku itu dating biasanya saat malam telah tiba,
kasihan ayah dan ibuku yang merawatku harus mengganggu malam istirahatnya, apa
boleh buat karena semua itu bukan kehendak kita semua.
Tepat
padda pertengahan bulan September 2007, melihat diriku yang tak kunjung
membaik, spontan aku berkata :Ibu. . . Ayah. . masukkan aku ke rumahsakit, aku
bersedia dioperasi”, pintaku kepada ibu dan ayahku. Mereka pun membawaku ke
rumahsakit, di rumahsakit kedua orangtuaku disalahkan oleh dokter-dokter di
rumahsakit tersebut, salah satu dokter dari mereka berkata “Kenapa baru
sekarang kalian membawa anak kalian?! Dari dulu kami sampaikan bahwa anak
kalian harus dioperasi! Ini sangat beeresiko dan kami tak bisa menjamin nyawa
anak kalian, sekarang cepat berpikir dan ambil keputusan” dan salah satu dokter
yang lain berkata :Sekarang anak ibu ibarat lilin, ia hidup tapi hidupnya tak
berkualitas, dan lama kelamaan lilin itu akan redup” tuturnya bijaksama kepada
ibuku, ibuku pun terhentak mendengar perkataan sang dokter. Tampa berpikir
panjang lagi, mereka menandatangani penyetujuan tindak operasi.
Para
dokter menyampaikan kepada orangtuaku bahwa tumorku itu sudah menguasai seluruh
otak kiriku dan tumor itu menuju ke otak kanan, berarti tumor itu akan melewati
batang otak dan jika tumor itu telah berada di batang otak, aku akan meninggal,
dan operasi kali ini adalah operasi besar dan memakan waktu sekitar 5 jam dan
sangat beresiko. Kedua orangtuaku telah pasrah dan ikhlas atas apa pun yang
terjadi, seluruh keluarga, sahabat-sahbat, dan hamper seluruh warga di
kompleksku mendoakanku dengan khusu’ bahkan ada yang mengeluarkan air mata
ketika mendoakanku.
Keajaiban
pun dating sat per satu, ketika aku dioperasi suasana yang terjadi adalah
suasana yang sangat tenang, kantong darah yang disiapkan empat kantong, yang
terpakai hanya dua kantong dan operasi berjalan dengan lancer dan sukses bahkan
aku dioperasi hanya memakan waktu 4 jam, subhanallah. . . Selain itum aku hanya
membutuhkan waktu 24 jam sehingga esoknya aku sudah siuman. Tapi lucunya,
ketika aku siuman aku berteriak ingin pulang dan mencari orangtuaku sehingga
dokter pun menegurku dan melarangku rebut, tanganku juga diikat karena aku
salalu ingin menggaruk-garuk kepalaku padahal di kepalaku banyak perbannya. Tak
lama kemudian, aku dipindahkan ke kamar perawatan dan di saat keluargaku lagi
lengah, tiba-tiba aku bisa duduk membuat mereka terkejut melihatku bisa duduk kembali.
Keajaiban dating lagi, luka bekas jahitanku sangat cepat kering, bahkan aku
bisa berdiri kembali meski harus dipegang, maklum karena kakiku mengecil lama
tak digunakan berbulan-bulan dan akhirnya aku pun diperbolehkan pulang setelah
dirawat seminggu sesudah operasi. Sebelum pulang, dokter memerintahkan
untuk kembali melakukan foto scan untuk
melihat dan mengetahui keadaan otakku. Ternyata masih ada sisa-sisa tumor itu
dan dokter tidak bisa membersihkannya dengan tuntas karena sangat sulit
membedakan antara sel otak dan sel tumor, kalau dibersihkan semua bisa-bisa
terjadi kesalahan yang fatal.
Mengetahui
hal tersebut, kedua orangtuaku makin memanjangkan doa dan tahajjudnya karena
mereka takut kalau sisa-sisa tumor itu kembali seperti yang dulu. Beberapa
minggu kemudian, dokter kembali memerintahkan untuk mengadakan foto scan ulang,
dan hasilnya sungguh luar biasa! Otakku bersih total dari sisa sel-sel tumor. Sekali
lagi, keajaiban itu dating menghampiriku. Meski aku belum bisa melihat kembali,
aku sangat bersyukur karena Allah masih memberikanku kesempatan untuk hidup
karena dokter pernah berkata jarang penderita tumor otak bisa bertahan hidup
lama. Namun bagiku tak ada yang mustahil jika Allah berkehendak.
Kisah ini, takkan lekang di telan masa. Meski usianya beranjak tua, Tapi tetap akan selalu mengahdirkan seberkas cahaya semangat dalam dada Bagi siapa saja yang membacanya.
BalasHapus