Rabu, 21 Agustus 2013

Masa yang telah hilang

Suka duka yang silih berganti Kerap mewarnai hari Bersama mereka, kubenamkan diri dalam lautan ilmu yang telah menanti Setumpuk asa pun kelak dapat tergapai pasti Apakah mereka tahu bahwa diriku tak ingin terlekang oleh kebersamaan ini Menyatu dalam satu hati Mencoba mengerti arti dari saling memahami Yang terkadang sulit tuk dipahami Sayang masa itu, kini hanya dapat menjadi sebingkai kenangan manis yang tak akan terlupa Masa itu kini telah lenyap ikut terbang melayang bersama sang burung dara Menciptakan ruang dan suasana hampa Memaksaku menumpahkan air mata Memecahkan segala rasa Timbulkan sesak dada Dapatkah masa itu terulang pada hariku yang penuh lara? Hanya untuk mengobati rasa rindu pada masa-masa sekolah kita dahulu yang penuh cinta Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Penantian cinta tak berdasar

Merangkai kata yang tak terangkai Menggali makna yang tak tergali Mengartikan arti yang tak berarti Menanti hati yang tak berhati Seribu langkah ku berlari Seribu tahun ku menanti Seribu kata kurangkai Seribu bahasa ku mengerti Namun engkau tiada juga berlari padaku Namun engkau tiada juga hadir di penantianku Namun engkau tetap membisu Namun engkau tiada juga mengaku Begitu sulitkah dirimu untukku? Begitu sulitkah diriku untukmu? Begitu sulitkah hidupmu bagiku? Begitu sulitkah hidupku bagimu? Ada apa denganmu? Ada apa denganku? Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan semua yang terjadi? Tertatih ku merintih Teriris ku meringis Terseok ku terisak Terbayang ku melayang Kapankah semua ini akan berakhir? Created by: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Sebingkai kenangan bersama Bu Maysuro

“Lis, ini handphone kamu, ada pesan masuk tuh!” ujar Sany seraya meletakkan handphone berwarna putih tersebut pada tangan pemiliknya yang juga sekaligus sahabatnya Calista. “”Pesan?! Dari siapa ya? Pagi-pagi buta begini sudah ada pesan mampir di handphone aku?!” ujar Calista dengan memasang wajah yang masih ngantuk. Buru-buru ia membuka pesan tersebut, dipaksakannya sebelah kupingnya untuk mendengar isi pesan tersebut yang sedang dibacakan oleh Paman JAWS yang selalu setia membaca pesan-pesan yang masuk di handphonenya. Setelah mendengar pesan tersebut, mendadak wajahnya pucat pasi disusul oleh titik-titik air yang mengalir dari kedua matanya. Seakan menembus waktu, ingatannya pun melayang pada sebuah peristiwa 6 tahun silam. *** “Lis, ke kantin bareng sama kita-kita yuk!” ajak teman-teman kelas Calista. “Terima kasih, tapi maaf sebelumnya aku tak bisa ikut bersama kalian, salam aja ya buat Bu Kantin yang galak itu,” tolaknya halus diiringi sebuah candaan yang seketika membuat teman-temabnya tertawa kecikikikan. “Tapi kamu hanya sendirian di kelas ini dan yang lain pada istirahat di luar tuh! Kami tak tega membiarkan kamu sendiri disini,” ujar mereka khawatir. Setelah meyakinkan teman-temannya bahwa dirinya akan baik-baik saja, akhirnya mereka pun meninggalkan Calista dengan berat hati. *** 15 menit pun berlalu, waktu istirahat tak lama lagi akan berakhir namun tiada seorang pun yang kunjung masuk ke dalam kelas kecuali sebuah aroma tak sedap yang mendadak menyengat hidung Calista. “Bau apaan nih? Baunya seperti kambing! Emangnya di sekitar sekolahan ini ada peternakan kambing ya?! Tapi… kalau pun ada, kok baunya baru tercium olehku, padahal aku sudah setengah tahun di sekolah ini dan sebelumnya tak ada bau busuk seperti saat ini,” gerutunya seraya menutup hidungnya agar mengurangi bau busuk yang tercium olehnya. DUBRAKK…!!! Tiba-tiba terdengar suara bantingan pintu yang ada di kelasnya dan disusul dengan lenyapnya bau ttak sedap yang tadi sempat merusak udara di kelasnya, sehingga hal itu seketika mengundang hatinya untuk membuat sebuah pertanyaan besar sebab ia pun sempat sangat terkejut akan hal tersebut bahkan hal itu juga telah membuat detak jantungnya menjadi tak karuan. Tak lama kemudian setelah kejadian aneh itu, bel pun berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai, seluruh teman-teman kelas calista pun berdesak-desakkan untuk masuk ke kelas. “Maaf ya, Lis. Kami telah membuatmu lama menunggu dan sendirian di kelas, tapi kamu baik-baik saja kan? Dan tubuhmu kok jadi gingin gini?” tanya salah satu dari mereka seraya memegang tangan dan kening Calista yang telah dikucuri oleh keringat dingin. Setelah menghela sebuah napas panjang, Calista pun menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya. Ketika ia baru saja menceritakn setengah dari kejadian tersebut, seorang guru kesiswaan memanggil dan membawanya menuju ke ruang kepala sekolah. Meski hati Calista diliputi sejuta perasaan yang tak menentu dan dengan langkah gugup, ia berusaha dan mencoba menenangkan hatinya hingga akhirnya kini ia telah sampai di ruangan tersebut. “Calista, kamu telah membuat sebuah kesalahan fatal di sekolah ini! Saya sangat menyesal telah menerimamu di SMU ini. Awalnya pihak sekolah keberatan menerimamu berdasarkan alasan bahwa kamu adalah seorang tunanetra, namun akhirnya kamu dapat diterima di sekolah ini sebab menimbang kemauan keras untuk melanjutkan pendidikan di SMU ini dan budi pekerti yang baik yang kamu miliki, tapi apa yang baru saja kamu lakukan?! Kamu telah menghina salah seorang guru baru yang akan mengajar di sekolah ini dan kamu tahu?! Beliau telah dinobatkan di provinsi ini sebagai guru teladan! Dan kami semua sangat senang juga bersyukur atas kehadiran beliau yang akan mengajar siswa-siswi disini dalam bidang mata pelajaran bahasa Inggris. Sekarang kamu harus meminta maaf kepada beliau sebab kamu telah menghinanya dengan mengatakan bahwa bau badan beliau seperti kambing,” jelas Bapak Kepala dengan berkomat-kamit panjang lebar. “Maaf sebelumnya, Pak, saya tak bermaksud berkata demikian sebab saya tak dapat melihat siapa saja yang masuk ke kelas saya kecuali orang tersebut bersuara agar saya dapat mengenalinya dengan baik,” bantahnya dengan suara yang mulai parau. “Benar, Pak! Apa yang baru saja anak ini katakan sangat benar, akulah yang salah sebab aku tak tahu bahwa teernyata ia adalah seorang tunanetra dan harusnya aku tak boleh berlama-lama berada di peternakan kambing milikku mengingat bahwa aku akan mengajar di sekolah ini, sekali lagi aku minta maaf kepada semuanya yang ada di ruangan ini,” tutur Bu Maysuro bijak. Sebersit senyum pun terbit dari bibir Calista. *** “Main ke rumah Ibu, yuk! Apakah Kamu lagi punya kesibukan saat ini?” ajak Bu Maysuro yang mendadak akrab dengan Calista. “Boleh aja, Bu, malah Calista senang dengan ajakan Ibu, dan lagian Calista lagi tak punya kesibukan kok, tapi aku harus pamit kepada Ayah dulu sebab beliau hanya sendirian di rumah, ibu aku sudah lama meninggal sewaktu aku masih dalam usia 5 tahun,” jawab Calista, wajah cerianya mendadak murung ketika menyebut kata ibu. Menyadari situasi dan suasana perasaan Calista yang mulai tak terkendali, Bu Maysuro pun mendekap tubuh Calista dengan erat-erat. “Sudahlah jangan bersedih lagi, entar Ibu kamu juga akan ikut bersedih melihatmu seperti ini, kamu tak mau kan ibumu bersedih di alam sana? Lagian disini ka nada Ibu, anggap saja Ibu adalah ibu kandungmu sendiri,” ujarnya seraya membelai rambut panjang Calista. Setelah memastikan bahwa perasaan Calista telah tenang kembali, Bu Maysuro pun membimbing Calista untuk masuk ke mobilnya. *** Dalam perjalanan menuju ke rumah Calista, Bu Maysuro bercerita mengenai anak perempuan yang ia miliki satu-satunya yang kini telah tiada yang disebabkan oleh sebuah tabrakan hebat yang seketika merenggut nyawanya di saat dan di tempat itu juga. “Memangnya anak Ibu pengen kemana sih?” Tanya Calista penuh selidik. “Dia kabur dari rumah yang disebabkan ia malu memiliki ibu seorang penggembala kambing bahkan ia tak ingin dekat-dekat dengan Ibu sebab katanya pula Ibu berbau kambing, padahal semua ini Ibu lakukan untuk membiayai kebutuhannya, Ibu berjuang seorang diri, dan hal itu telah berlangsung semenjak suami Ibu wafat,” jawabnya lirih. Calista hanya dapat menundukkan kepalanya sebab ia turut merasakan kepedihan yang amat dalam yang hingga saat ini mungkin masih tergores di hati Bu Maysuro. Selang beberapa menit kemudian, tak terasa mereka pun tiba di depan rumah Calista. Setelah berganti pakaian dan pamit kepada sang Ayah, ia pun kembali masuk ke dalam mobil Bu Maysuro. Mobil pun berlalu meninggalkan tempat tersebut. *** Tanpa terasa waktu terus bergulir, Calista telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di bangku SMU dengan gemilang. Dan hal itu tak luput berkat perjuangan dan dukungan ilmu, perhatian, maupun materi dari Bu Maysuro. Bahkan Calista juga berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang selanjutnya ke Australi yang juga disebut oleh orang banyak sebagai negeri koala. Bu Maysuro tak dapat lagi melontarkan sepatah kata pun, hanya air mata haru yang dapat mengungkapkan perasaannya saat itu yang juga seketika memeluk Calista. *** “Ayah, Ibu Maysuro, Calista pergi ya… jaga kesehatan Ayah begitu pula dengan Ibu, Calista pasti akan selalu merindukan kalian, mohon doa restunya ya…” ucapnya dengan suara yang mulai bergetar. “Jaga diri dan kesehatan kamu ya saying, Ibu akan selalu mendoakanmu dalam setiap doa dan sujud Ibu. Sany, kami titip Calista, tolong kamu jaga dengan baik-baik apalagi kamu merupakan salah seorang sahabat karib Calista sehingga kamu juga harus menyayanginya seperti kamu menyayangi dirimu sendiri,”” ucap Bu Maysuro dengan suara agak parau. Setelah member beberapa petuah dan wejang-wejangan kepada mereka, sekali lagi Bu Maysuro memeluk erat tubuh Calista dan mengecup kening Calista. *** “Lis, kamu kok nangis sih setelah mendengar pesan itu? Katakanlah kepadaku mengapa kamu bisa nangis seperti ini,” ujar Sany seraya memegang kedua pundak Calista. “Bu Maysuro, San… Bu Maysuro…” jawabnya seraya tak melanjutkan kalimatnya. “Ada apa dengan Bu Maysuro??!! Kemarikan handphone itu kepadaku, biarkan aku saja yang sendiri membaca pesan itu,” ujar Sany penasaran, tanpa berlama-lama Sany mengambil handphone tersebut yang terletak di atas bantal Calista. Seperti halnya yang terjadi pada Calista, mata Sany pun terbelalak setelah membaca pesan tersebut. “Bu Maysuro meninggal dalam kecelakaan menuju ke bandara dan beliau juga hendak untuk menumpangi sebuah pesawat hanya untuk menuju ke tempat ini sebab ia ingin membuat sebuah kejutan untukmu di hari ulang tahunmu besok, oh hal ini sangat mengharukan, pengorbanan beliau sungguh besar buatmu, Lis! Jadi kamu jangan menyia-nyiakan perjuangan yang telah beliau lakukan selama ini untukmu,” ujar Sany berusaha menenangkan hati sahabatnya itu yang tampak terguncang oleh pesan itu. “Aku ingin pulang, San! Aku ingin pulang saat ini juga! Kamu tahu, San?! Aku tak pernah menyangka bahwa ternyata pelukan dan kecupan dari Bu Maysuro saat kita berada di bandara Indonesia adalah pelukan dan kecupan terakhir dari beliau,” ucapnya lirih, tangisannya pun makin menjadi-jadi. “Kamu harus kuat, Lis! Ingat, tak lama lagi bulan depan kita telah berhasil menyelesaikan pendidikan kita di negeri ini, orang tua kamu dan Bu Maysuro pasti akan senang dengan keberhasilan kamu, lagian walaupun kita barangkat menuju ke Indonesia saat ini juga, tetap saja kamu tak akan sempat untuk mengikuti proses pemakaman Bu Maysuro. Mending kamu berdoa saja semoga Tuhan memasukkan Bu Maysuro ke dalam surge yang paling terindah buat beliau,” ujar Sany mencoba menasehati dan mengingatkan pesan-pesan dari almarhumah Bu Maysuro dan dari Ayah Calista. Akhirnya hati dan perasaan Calista pun perlahan kembali tenang, dan di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia berdoa agar Bu Maysuro dapat bahagia di dalam surge dan ia juga berharap agar semoga ia dapat berjumpa dan dapat bersama beliau lagi di surga yang paling terindah. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Violena

Gadis pirang coklat dalam balutan hujan itu terlihat berjalan anggun. Gaun ungu yang dipakainya sudah basah kuyup. Langit malam yang berkilat bagai blits-blits kamera. Semua pemandangan yang dilihat oleh Mickey dari jendela kamarnya seolah menghipnotisnya seakan menyaksikan seorang model cantik dalam pemotretan. “WOW!!! It’s amazing..., ouw.. aku tak boleh menyiakan kesempatan ini,: gumamnya lalu segera mengambil kamera digital kesayangannya yang tergeletak di atas meja belajarnya. “Good! Nice picture! Hem... dia bermata biru kehijauan sepertiku,” katanya sambil tersenyum puas. Mickey kembali melihat keluar jendela. Gadis itu sudah hilang. Mickey menutup tirai jendela kamarnya lalu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Dipejamkannya kedua matanya namun bayang-bayang gadis yang tadi dilihatnya terus menari-nari di pikirannya. Teng.. jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, saat itulah Mickey akhirnya dapat terlelap. Tak ada angin namun tiba-tiba tirai jendela di kamarnya yang tadi sudah ditutupnya perlahan tersingkap hingga terbuka lebar. Pada sudut tembok kamarnya, sebuah genangan air muncul begitu saja. Genangan air serupa ternyata juga muncul dari bawah kolong ranjangnya. Lampu di kamarnya mendadak mati. Krrrret krret... terdengar suara seperti seekor kucing yang sedang mencakar atas genteng dengan cepat. Pintu kamar Mickey perlahan terbuka lalu kembali tertutup. Sesosok makhluk wanita kelabu merayap cepat dengan posisi bagai laba-laba mendekati ranjang Mickey. Tubuh dan rambut makhluk itu dipenuhi abu dan air dan wajahnya tertutupi oleh rambutnya. “Errr..errr...” makhluk itu mengerang pelan dengan suara yang amat parau. Suaranya menggambarkan amarah dan kesakitan yang tak tertahankan. Mickey terbangun. Pandangannya pun tertuju pada lampu yang mati dan tirai jendela yang terbuka lebar. ia mengerjap-ngerjapkan matanya tak mempercayai dengan apa yang dilihatnya barusan, tirai jendela itu kembali tertutup. Wajahnya memucat. Ia segera beranjak turun dari ranjangnya. Ketika kakinya menginjak lantai, ia sangat terkejut merasakan genangan air di bawah telapak kakinya. Sosok makhluk kelabu itu pun kini berpindah merayap ke dinding lalu ke langit-langit kamar. Mickey tak sempat melihat makhluk itu karena suasana kamar yang gelap. Mickey berlari kecil menuju kamar orangtuanya. Ia menjerit ketika seseorang tiba-tiba mencengkram pundaknya dari belakang. Ia sama sekali tak berani menoleh ke belakang dan sekujur tubuhnya bergetar. “Jangan takut, ini aku, bibi Monalizha, pembantu sekaligus penjaga rumah ini sejak 33 tahun yang lalu,” Merasa yakin, Mickey memutar tubuhnya ke arah bibi Monalizha yang berdiri di belakangnya. Ia hanya bisa tersenyum padanya. “Mickey.. Bibi Monalizha, ada apa?? Masih malam begini sudah berisik,: tanya Nyonya Cleo yang mendadak keluar dari kamar bersama Tuan Frans. Mickey segera berjalan cepat menghampiri keduanya lalu menceritakan kejadian yang dialaminya dan mengutarakan maksudnya untuk tidur bersama mereka. Mereka setuju mengingat besok Mickey harus ke kampus sangat pagi sebagai mahasiswa baru. “Ibu, sudah berapa tahun ibu dan ayah meninggalkan rumah ini? Dan oh ya, aku merasa sedikit ketakutan dengan bibi Monalizha,” tanya Mickey setelah pintu di kamar Ayah dan Ibunya sudah ditutup. “Hem.. kami meninggalkan rumah ini ketika kau masih dalam kandungan berarti rumah ini sudah delapan belas tahun kami tinggalkan karena kau lahir tepat sehari mendiami New York. Karena anak cabang perusahaan kami yang disana sudah sukses, kami rasa kita sudah harus kembali kesini.. di kota Washington ini. Perusahaan utama kami yang disini lebih membutuhkan kami sedang perusahaan disana ada pamanmu yang bisa menghandlenya dan kami percayakan. Dan masalah Bibi Monalizha.. hem.. entahlah, ibu belum sempat merasakan sesuatu yang ganjil darinya. Yah.. kita kan baru sehari disini, ibu belum sempat ngobrol banyak dengannya dan memperhatikan dan memeriksa segala yang ada di rumah ini. Namun jelasnya bibi Monalizha adalah wanita yang baik. Sudah ya, sekarang kita tidur,” terang Nyonya Cleo pada puteranya. Bibi Monalizha masih terpatung di tempatnya. Dari kamar Mickey, sosok makhluk wanita kelabu itu keluar lalu merayap cepat melintass di hadapan bibi Monalizha yang hanya tersenyum dingin lalu beranjak meninggalkan tempat itu. Minnie dan Milly sepasang adik kembar perempuan Mickey sedang bermain boneka barbie di kamar mereka. Kedua bocah cantik dan lucu itu masih berusia 4 tahun. Saat ini hanya ada mereka dan Bibi Monalizha, Sang kakak Mickey masih ada di kampus dan kedua orangtuanya sibuk di kantor. Ketika Minnie mulai merasa haus, ia meminta Milly agar menemaninya ke dapur. Milly menolak sebab ia masih sibuk memblow rambut barbienya dengan hairdrayer milik ibunya. Minnie pun keluar kamar lalu berlari kecil ke dapur. Di dapur ia tak menjumpai Bibi Monalizha. Milly masih asyik memblow rambut barbienya. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka secara perlahan disertai hembusan angin dingin yang menyapu wajahnya. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat genangan air muncul di lantai tepat di depan pintu. “Minnie.. kaukah disana? Kau sembunyi dimana? Oh ya, kau nakal sekali, kau kan yang menumpahkan air? Awas ya.. aku akan mengadukanmu pada ibu!” ancamnya. Semenit berlalu, Minnie masih belum menampakkan diri. Milly mulai ketakutan, wajahnya terlihat pucat. Sosok makhluk wanita kelabu yang semalam muncul kembali. Ia merayap cepat ke arah kamar Milly lalu sejenak berhenti di depan pintu. Milly amat ketakutan dan Matanya terbelalak melihat sosok makhluk itu. ia segera bangkit untuk menjauhi makhluk itu. sosok makhluk itu perlahan kembali merayap mendekatinya. Milly mengarahkan hairdrayer yang ditangannya ke arah makhluk itu. angin dari hairdrayer itu menyingkap rambut makhluk itu dari wajahnya sehingga nampak jelaslah wajah makhluk itu. mata makhluk itu begitu menyeramkan, ia tak memiliki bola mata dan wajahnya berabu juga berair. Tubuh Milly gemetar hebat. Hairdrayer itu tiba-tiba mati. Lantai di bawah telapak kakinya mengeluarkan genangan air. Milly memukul-mukul hairdrayer itu berharap hairdrayer itu bisa kembali berfungsi. Karena usahanya sia-sia belaka, ia mencoba memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam lubang hairdrayer itu. dan saat itu pula hairdrayer itu kembali berfungsi. Milly pun kesetrum dan menjerit, kekuatan listrik mengalir ke sekujur tubuhnya hingga mematikannya. Tubuhnya pun jatuh dengan mata yang masih membelalak. Minnie baru akan meneguk air yang diambilnya dari teko ketika didengarnya suara teriakan saudara kembarnya. Gelas kaca yang dipegangnya pun terjatuh lalu pecah. Pecahan gelas itu berhamburan. Minnie begitu terkejut, ia segera berlari ke kamarnya tanpa menghiraukan kakinya yang berdarah akibat menginjak salah satu pecahan gelas. Setibanya ia menjerit histeris melihat sosok mahluk itu sedang berada di dekat tubuh saudaranya yang terlihat mengenaskan. Sosok makhluk itu kini menghadap ke arahnya. Minnie kembali berlari ke dapur. Makhluk itu merayap cepat mengejar Minnie. Minnie terjatuh di atas pecahan-pecahan gelas dan mengenai wajahnya. Salah satu pecahan gelas itu menusuk bola matanya. Ia mengerang kesakitan. Kini makhluk itu sudah berada di belakangnya. Meski tubuhnya terluka sana-sini, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia berusaha bangkit dan merangkak menjauhi makhluk itu. kedua lututnya sudah mengeluarkan banyak darah. Ia terus merangkak hingga akhirnya ia tersudut. Kini ia terperangkap. Ia membalikkan tubuhnya dan meringkuk sambil menyandarkan punggungnya pada tumpukan rak-rak di belakangnya yang berisi botol-botol anggur. Tubuh Minnie bergetar hebat. Kini ia sudah berputus asa, dibentur-benturkannya bagian kepala belakangnya pada rak-rak itu shingga membuat rak-rak tersebut ikut bergetar. PRANG.... tiga buah rak yang tertinggi terjatuh tepat mengenai kepala Minnie. Botol-botol yang ada di dalamnya terpecah belah lalu beberapa pecahannya tertancap di sekujur tubuhnya termasuk kepala dan wajahnya. Ia pun mati dengan sangat mengenaskan. Tuan Frans dan Nyonya Cleo bersama mobil mewahnya sudah pulang dan tiba di depan rumah mereka ketika petang menjelang malam. Klik... tuan Frans menekan salah satu tombol pada remote control yang dipegangnya. Krett.. pagar rumahnya pun otomatis terbuka. Klik... ia kembali menekan salah satu tombol lain yang berfungsi untuk membuka dan menutup garasi. Mobil mereka pun masuk ke dalam garasi itu. garasi rumah mereka begitu besar, sepuluh buah mobil pun bisa di dalamnya. Tuan Frans berusaha membangunkan istrinya yang tertidur pulas di mobil. “Huwaahh.. oh sudah tiba ya.. oh ya, aku tadi memimpikanmu sayang.. aku melihatmu kau masih merokok sembunyi-sembunyi di belakangku. Hem... kau duluan saja, sepertinya aku lupa dimana meletakkan ponselku di mobil ini, aku mau mencarinya,” kata Nyonya Cleo sambil menyipitkan matanya. Tuan Frans yang mendengarnya seketika tergagap sebab ia sudah berjanji pada istrinya sejak tahun lalu bahwa ia tak akan merokok lagi untuk selamanya demi kesehatannya sendiri. Untuk menghindari pertanyaan dari istrinya itu, ia pun segera keluar dari mobil beralasan ia ingin buang air kecil, dan istrinya percaya begitu saja. Tuan Frans kini sudah berdiri di hadapan pintu rumah sambil kembali menekan salah satu tombol pada remote control yang tadi dipegangnya. Tombol yang barusan ditekannya adalah tombol untuk membuka dan menutup pintu rumahnya secara otomatis. Pada remote control itu hanya ada tiga tombol. Tombol merah untuk membuka dan menutup pagar rumah mereka, tombol biru untuk membuka dan menutup garasi, dan tombol kuning untuk membuka dan menutup pintu rumah mereka. Remote control yang serupa dipegangnya juga dimiliki oleh Mickey dan masih ada satu buah remote control serupa yang khusus disimpan dalam rumah. Setelah berhasil menemukan ponselnya yang ternyata terjatuh di bawah kursinya, Nyonya Cleo pun keluar dari mobil. Sebuah genangan air muncul dari bawah mobil. Sosok makhluk wanita kelabu kembali muncul dan merayap cepat dari langit-langit garasi lalu ke dinding hingga ke lantai garasi. Makhluk itu kini hampir mendekati Nyonya Cleo. Melihat hal itu, Nyonya Cleo begitu ketakutan dan berusaha menjauh dari makhluk itu. ketika ia sudah hampir mendekati pintu garasi, langkahnya terpaksa berhenti akibat kakinya tersandung. Ia berusaha bangkit namun ia tak bisa. Rupanya kedua kakinya keseleo. Dengan posisi merayap, ia berusaha keluar dari garasi yang belum ditutup oleh suaminya. Mickey baru saja pulang dari kampus dan kini ia sudah tiba di depan rumahnya. Ia hendak menekan tombol untuk membuka pagar pada remote control yang dipegangnya namun ia keliru sebab ia menekan tombol biru. Akibatnya garasi yang terbuka itu otomatis tertutup dan tubuh Nyonya Cleo yang sudah berada tepat di bawah pintu garasi tergencet. Ia mengerang kesakitan namun suaranya tertahan. Mickey yang tak tahu menahu akan hal itu hanya dapat menyadari bahwa ia menekan tombol yang salah dan kini ia pun menekan tombol merah. Ketika pagar rumahnya sudah terbuka, ia merasa heran karena seharusnya garasi itu terbuka sebab tadi ia sudah menekan tombol biru. Ia pun berpikir mungkin ayah dan ibunya sudah ada dalam rumah namun lupa menutup garasi yang akibatnya bila ia menekan tombol biru, garasi yang masih terbuka akan otomatis tertutup. Mickey hanya menatap lurus tanpa melihat tubuh ibunya. Nyonya Cleo mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk berteriak meminta tolong namun percuma sebab Mickey memasang earphone di telinganya. Klik... Mickey kembali menekan tombol biru, garasi itu pun terbuka. Mobilnya pun berjalan memasuki garasi dan tubuh ibunya tersangkut masuk di bawah mobilnya. Ketika turun dari mobilnya, Mickey menemukan banyak ceceran darah dan high heels ibunya. Ia segera keluar dari garasi itu dan menutupnya kemudian berlari ke kamarnya. Tuan Frans memasuki gudang. Ia berniat merokok di sana agar ia tidak ketahuan oleh istrinya. Pikirnya gudang adalah tempat yang cukup aman meski berdebu. Ia tak peduli, ia pun mengunci pintu gudang itu dari dalam. Setelah duduk di sebuah kursi tua, ia pun menyulut batang rokoknya dengan korek gas yang dimilikinya. Tak jauh darinya, sebuah genangan air muncul dan disaat itu pula sosok makhluk wanita kelabu datang lalu merayap cepat mendekati Tuan Frans. Makhluk itu mengeluarkan suara erangn yang amat menyayat. Menyaksikan hal itu, Tuan Frans bangkit dari kursinya lalu berlari cepat ke arah pintu. Ketika ia sudah hampir mendekati pintu, ia menabrak sebuah tong besar yang berisi minyak tanah. Ia pun terjatuh bersama tong itu dan tubuhnya basah berlumur minyak tanah. rokok dan korek gas yang dipegangnya pun ikut terjatuh akibatnya api pun muncul dan menjalar begitu cepat. DUARRR... Korek gas miliknya pun meledak sebab api itu juga menyentuh korek gas tersebut. tuan Frans ikut terbakar bersama gudang itu. Mickey baru akan menyimpan foto-foto gadis yang semalam dipotretnya ke dalam laci ketika didengarnya sebuah ledakan yang berasal dari gudang. Ia segera berlari ke arah sumber suara ledakan itu. ia hanya bisa menggigit bibir ketika dilihatnya api yang berkobar-kobar mulai melahap ruangan lain. Ia segera menghubungi pemadam kebakaran. Karena kebakaran di rumahnya cepat ditangani oleh pemadam kebakaran, rumahnya masih dapat diselamatkan. Pihak kepolisian pun datang untuk menyelidiki. DORR... terdengar suara tembakan yang berasal dari kamar bibi Monalizha. Mickey beserta pihak kepolisian segera menuju kamar bibi Monalizha. Disana mereka menemukan tubuh bibi Monalizha yang bersimbah darah dengan tangan yang masih memegang sebuah pistol. Dalam kamar bibi Monalizha, Mickey melihat dan menemukan banyak foto-foto gadis yang serupa dengan gadis yang dipotretnya semalam. Di setiap sudut foto-foto itu tertulis nama Violena. Dan di atas meja rias bibi Monalizha, ia juga menemukan sebuah diary dan sekeping kaset video yang merupakan hasil dari kamera sisi TV di rumahnya sejak 33 tahun silam. Sambil menunggu hasil penyelidikan dari pihak kepolisian, Mickey membaca seluruh isi diary bibi Monalizha kemudian memutar kaset video itu. Air matanya pun tumpah setelah ia mengerti dan mengetahui bahwa gadis yang bernama Violena adalah kakak kandungnya. Violena seorang gadis cantik yang selama hidupnya dalam perawatan bibi Monalizha dan bibi Monalizha pun amat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Violena tak pernah merasakan kasih sayang dari orangtua Mickey hanya karena ia adalah gadis keterbelakangan mental dan bisu. Dalam video itu, Violena kerap dihukum oleh orangtuanya dengan diikat di bawah pohon dalam hujan lebat hingga malam menjelang hanya karena Violena menampakkan dan memperkenalkan dirinya di hadapan rekan-rekan kerja orangtuanya yang berkunjung ke rumahnya. Air mata Mickey makin tertumpah ruah ketika menyaksikan Violena yang sudah berumur 15 tahun dibakar bersama rumah pohonnya ketika sedang tertidur. Ia dibakar hingga menjadi abu oleh ayahnya lalu abu itu dibuangnya ke dalam kolam ikan. Dari diary bibi Monalizha pula Mickey bisa mengetahui bahwa Milly dan Minnie adalah anak hasil dari selingkuhan ibunya dengan lelaki lain tanpa sepengetahuan ayahnya. Di akhir diary itu, bibi Monalizha menuliskan bahwa ia ia ingin kolam ikan tempat abu Violena dibuang agar ditimbun menjadi sebuah makam atas nama Violena dan ia pun ingin dimakamkan tepat di samping makam Violena. Ia merasa seluruhnya sudah usai dengan matinya seluruh anggota keluarga Violena terkecuali Micke. Hanya Mickey-lah yang pantas meneruskan hidup sebab Mickey adalah adik yang selalu dinanti-nanti oleh Violena ketika Mickey masih dalam kandungan ibunya. Ketika Violena masih hidup, ia memberi tanda isyarat pada bibi Violena bahwa ia berharap calon adiknya bisa menemaninya bermain. Pihak kepolisian pun telah menyelesaikan hasil laporan dan penyelidikannya lalu menghampiri Mickey. Di hadapan Mickey, mereka memperlihatkan mayat ibu dan kedua adiknya, sedang mayat ayahnya sudah menjadi abu terkecuali jam tangan anti api yang setiap hari dipakai oleh ayahnya. Mickey hanya dpat membisu, menangisi segalanya yang benar-benar hampir membuatnya gila. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Kunci Menembus Keterbatasaan

Tumor otak yang menjadi benalu di dalam otakku telah merebut penglihatanku. Semenjak aku mengalami ketunanetraan tepatnya pada tanggal 25 Juni 2007 silam yang di mana hari itu merupakan hari ulang tahunku yang ke 14, aku merasa telah kehilangan asaku di dunia ini. Meski aku telah ikhlas menerima cobaan itu dengan sabar, namun tetap saja aku berpikir bahwa apakah yang harus aku lakukan dalam ketunanetraanku? Cita-cita untuk menjadi seorang dokter pun perlahan terkikis oleh waktu yang terasa begitu lambat bagiku. Hobi membaca dan menulis yang kumiliki, tak dapat lagi kupenuhi. Apabila aku ingin mengetahuii isi dari sebuah buku, aku harus dibacakan oleh orang-orang di sekitarku. Begitu pula saat aku ingin menuangkan tulisan-tulisanku yang mengalir dari benakku, dengan terpaksa aku mesti meminta bantuan dari sahabat-sahabatku yang bersedia mengetikkan tulisan-tulisan tersebut. Selain itu, aku tak dapat lagi membaca ayat-ayat suci yang telah menjadi kewajibanku selama ini, kini yang dapat kulakukan yaitu sekedar mendengarkannya melalui sebuah kaset. Hingga tiba suatu waktu dimana mereka tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing dan tak bisa membantuku sehingga hal itu membuat hatiku miris. Hati kecilku berkata bahwa ketunanetraanku telah membatasi langkahku. Dan terkadang aku merasa telah merepotkan orang n disekitarku. Dalam keterbatasanku itu, tak jarang aku mengambil sebuah pena dan secarik kertas kosong lalu menuliskan segala hal apapun termasuk menuliskan sebuah ayat suci . Meski tulisan tersebut dapat terbaca jelas oleh mereka layaknya tulisan seorang normal, namun tetap saja aku tak dapat membaca tulisanku sendiri. Aku yang merupakan seorang juara kelas di sekolahku dahulu, kini tak dapat berbuat apapun jua, semua telah tinggal menjadi sebuah kenangan. Hingga pada suatu hari, aku dimasukkan ke salah satu SLB yang ada di kotaku. Di sana aku diajarkan menggunakan huruf Braille, akupun senang sebab dengan adanya huruf Braille, aku dapat menulis dan membaca lagi, meski awalnya agak sulit karena untuk menulis menggunakan huruf Braille sering membuat jariku kesakitan. Selain itu, aku diajarkan membaca al-quran Braille. Bukan hanya itu, aku juga diajarkan menggunakan beberapa alat elektronik seperti computer dan telepon selular yang telah diberi semacam alat bantu khusus bagi kaum tuna netra yaitu sebuah aplikasi yang telah diprogram untuk membacakan tulisan-tulisan yang tertera pada layar kedua alat elektronik tersebut. JAWS dan talks telah membantuku mengaplikasikan alat tersebut, bahkan aku telah bisa mengakses internet dengan mudah. Aku pun makin bahagia sebab satu persatu rutinitas yang dahulu tak dapat kulakukan dalam ketunaneteraanku, kini aku dapat mengerjakan segalanya sendiri tanpa merepotkan orang di sekitarku lagi. Ketika aku kembali ke lingkunganku yang dimana di tempat itu tak ada seorang pun tunanetra, tentu hal itu membuat mereka takjub dan tak percaya bahwa aku dapat melakukan apa yang mereka lakukan sebab selama ini pengetahuan mengenai tunanetra masih tabu sehingga mereka masih mengira tunanetra tak dapat berbuat apa-apa selain menjadi seorang pemijat. Melihat kemampuanku saat ini seketika mengundang perhatian dan menjadi buah bibir di tengah-tengah mereka. Lambat laun, perkiraan dan anggapan mereka mengenai tunanetra selama ini perlahan lenyap meski sebagian dari mereka masih ada yang memandang tunanetra dengan sebelah mata. Dan hal itu terulang saat aku mencoba memasuki sebuah Madrasah Aliyah Negeri yang dimana di sekolah tersebut bukanlah sekolah inklusi. Sang kepala sekolah dan sebagian guru menolak kehadiranku. Namun dengan dibantu oleh teman-teman senasib dan seperjuanganku aku, kami menunjukkan bahwa aku dapat mengikuti pelajaran di sekolah itu tanpa merepotkan mereka. Di hadapan mereka, aku memainkan jari-jemariku di atas sebuah laptop dengan lincahnya, dan ketika mereka memintaku untuk membacakan isi dari sebuah quran braille, aku menyanggupinya. Meski mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa aku mampu, nampaknya mereka masih ragu sehingga pihak sekolah memutuskan untuk mengadakan uji coba selama sebulan padaku. Begitu pula dengan teman-teman sekolahku, mereka Nampak ragu akan kemampuanku melihat bahwa aku adalah seorang tunanetra. Beberapa guru yang masuk ke kelasku sempat bingung mengamati huruf-huruf Braille dan mendengaar suara-suara berisik yang ditimbulkan oleh laptopku. Telah sebulan kujalani uji coba itu dengan baik, pihak sekolah pun memutuskan bahwa aku diterima di sekolah itu, bahkan aku diberi beasiswa yaitu dengan membebaskanku dari uang iuran perbulan hingga aku tamat dari sekolah tersebut. guru-guru dan teman-temanku akhirnya telah dapat menerima kehadiranku dan mereka kagum akan prestasi yang telah kuukir dengan penuh perjuangan. Walau aku kini telah menjadi seorang tunanetra, aku tak jauh berbeda dengan mereka, yang membedakan antara aku dan mereka hanyalah segi penglihatan. Bahkan terkadang mereka memintaku untuk mengajari mereka mengenai beberapa pelajaran yang dapat aku kuasai. Namun pada suatu hari, guru kimia yang mengajariku agak ragu ketika melihat hasil ujianku bahwa nilaiku berada di atas nilai standar. Padahal siswa yang ada di kelasku hamper seluruhnya memeiliki nilai di bawah standar sehingga mereka harus mengikuti pengulangan kecuali lima siswa termasuk aku. Sang guru pun mencurigai bahwa aku dibantu oleh sahabatku yang terkenal pandai dalam bidang pelajaran itu. Aku yang merasa tak melakukan hal itu spontan membantah kecurigaannya tersebut. Aku pun menjelaskan mengenai jawaban yang kumiliki dengan membacakan rumus yang kugunakan beserta hasil perhitungan yang kubuat dengan menggunakan angka dan huruf braille. Setelah mendengar penjelasanku, beliau pun paham akam kemampuanku. Nah, itulah sekilas mengenai kisahku. Manfaat dari huruf-huruf Braille beserta alat-alat mobilitas sangat terasa dan berpengaruh dalam kehidupanku saat ini. Dengan adanya media tersebut sebagai kunci bagi para kaum tunanetra untuk menembus keterbatasan mereka, kini tak mustahil bagi kaum tunanetra dapat menggapai dan menaklukkan dunia. Wahai para mereka yang masih saja menyelepehkan ketunanetraan kami, lihatlah kami ini yang akan membuktikan kepada dunia bahwa kami dapat berhasil seperti mereka. Meski kami dalam gulita, kami memiliki secercah cahaya untuk menyongsong masa depan yang cerah. Dan aku tak akan pernah berhenti berharap bahwa semoga kelak aku dapat menjadi seorang penulis sejati. Dan mungkin tulisanku ini sangatlah sederhana namun merupakan sebuah curahan hatiku yang terpendam selama ini. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Arti peran Papa dan Mama dalam menaklukkan keterbatasanku

Aku terlahir di dunia ini dengan sempurna tanpa cacat sedikit pun. Namun ketika aku memasuki usia remaja, aku mengidap tumor otak dan hingga akhirnya tepat pada tanggal 25 Juni 2007 silam yang saat itu aku tepat menginjak usia 14 tahun, penyakit tersebut memaksa kelamkan penglihatanku. Melihat kondisiku yang begitu memprihatinkan, orang tuaku melarikanku ke rumah sakit untuk dioperasi. Hasil operasi tersebut berhasil dan kondisiku pun berangsur membaik terkecuali penglihatanku yang hingga kini kondisinya tetap sama, kedua mata ini tak dapat lagi berfungsi, yah… sekedar menjadi hiasan yang terpajang indah di wajahku. Hari demi hari kujalani tanpa cahaya penglihatan, aku merasa kesulitan dalam menjalani kehidupan baruku ini yang serba terbatas dan bergantung pada orang lain. Walau begitu, aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli akan kondisiku yang membutuhkan perhatian ekstra dari sebelumnya dan mereka tak pernah membedakanku dengan saudara-saudaraku yang lain. Dengan tegas, mereka selalu membimbingku agar aku dapat mandiri. Akan tetapi mereka selalu saja memerintahkanku untuk dapat melakukan dan mengerjakan tugas-tugas rumah tanpa dibantu oleh siapa pun, bahkan semua tugas itu lebih sering dibebankan kepadaku ketimbang saudara-saudaraku yang lain. Aku pun sempat berprasangka buruk kepada mereka bahwa aku tak disayang lagi oleh keduanya. Dan ternyata mereka dapat menangkap yang tersirat dalam sikapku yang mendadak berubah. Suatu seketika, mereka memanggilku dan menyampaikan sesuatu kepadaku yang hingga saat ini aku tak pernah lupa oleh perkataan mereka, :Anakku, maafkanlah akan perlakuan kami sehingga membuat hatimu terluka, tapi kamu harus tahu mengapa kami memperlakukanmu seperti ini. Tahukah kamu? suatu saat tak selamanya kami akan selalu ada buatmu, jika kami kelak telah tiada di dunia ini, kamu harus melanjutkan hidupmu tanpa kami di sisimu terkecuali Allah, sandarkanlah segala masalahmu kepada-Nya sebab hanya Dialah sebaik-baik tempat bersandar dan kamu harus mengandalkan Allah dalam kehidupanmu. Itulah tujuan kami mendidikmu seperti ini dan kami ingin kamu bisa menjadi wanita yang kuat, tegar, dan tahan mental akan omongan masyarakat akan kecacatanmu,” aku terpana mendengarnya, seketika aku memeluk keduanya, menyadari bahwa merekalah yang paling menyayangiku di dunia ini dan selalu memikirkan akan masa depanku kelak. Berkat didikan mereka itulah aku telah dapat mandiri dalam mengerjakan tugas rumah sebagai anak yang harus membantu orang tua. 2 tahun kemudian, setelah sekian lama mengganggur di rumah, mereka memasukkanku di salah satu SLB. Di sana aku diasramakan sehingga aku makin mandiri, keduanya sangat senang akan kemajuanku. Dan pada suatu hari, aku ditunjuk untuk mewakili sekolahku dalam lomba cipta baca tulis puisi, aku memutuskan untuk membuat puisi mengenai asaku untuk membahagiakan orang tuaku dan ternyata aku menang sehingga aku mewakili provinsiku untuk tahap lomba selanjutnya yaitu seIndonesia. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada keduanya dan mengajak mereka untuk ikut bersamaku ke kota Surabaya tempat lomba selanjutnya diadakan. Mereka tak berkomentar sedikit pun, hanya air mata haru yang menyiratkan akan kebahagiaan mereka saat itu. Tak terasa setahun sudah kutempuh pendidikan di SLB tersebut, namun sayangnya penyakitku kambuh dan kembali menyerangku, dengan terpaksa aku harus pulang ke rumah dan beristirahat hingga akhirnya aku harus dioperasi lagi untuk kedua kalinya. Meski aku telah dioperasi, dokter melarangku untuk kembali bersekolah sebab takut penyakitku kambuh dan aku dilarang untuk banyak berpikir. Beberapa bulan kemudian, tak terasa Ujian Akhir Nasional telah dekat, menyadari hal tersebut aku pun mulai gelisah sebab penyakitku ini kambuh ketika aku naik ke kelas 3 sehingga hamper setahun aku tak mengikuti proses belajar. Aku pun terus saja membujuk orang tuaku agar mengizinkanku untuk dapat kembali bersekolah selama sebulan lebih sebagai persiapan untuk mengikuti ujian nanti. Dengan berat hati, akhirnya mereka mengizinkanku tetapi aku tak dapat lagi tinggal di asrama seperti dulu sebab kesehatanku harus selalu dipantau oleh keduanya. Rumah dan sekolahku sangat terpaut jauh dan memakan waktu sejam untuk tiba di sekolah dan Papakulah yang selalu bolak-balik untuk mengantarkanku setiap harinya tanpa mengenal lelah. Ujian pun tiba, dengan berbekal usaha belajar sebulan dan doa, aku telah siap. Singkat cerita, hasil ujian pun telah keluar dan aku bersyukur sebab aku lulus dan nilaiku berada di peringkat kedua di sekolahku tersebut. tak lupa aku bersujud syukur dan berterima kasih atas doa kedua orang tuaku sehingga aku dapat lulus. Setelah itu, aku berniat untuk melanjutkan pendidikanku ke tingkat Sekolah Menengah Atas akan tetapi mereka tak memperbolehkanku dengan alasan menimbang akan kesehatanku dan segala resiko yang dapat saja terjadi kapan pun. Namun aku tetap bersikeras dengan niatku tersebut bahkan aku menangis sejadi-jadinya. Tak tega melihatku seperti itu, dengan berat hati mereka merelakanku untuk kembali bersekolah tapi bedanya kali ini aku akan bersekolah di SMA umum yang terletak tak jauh dari kompleksku yang dimana di sekolah itu tak pernah sebelumnya dimasuki oleh kaum tunanetra. Aku pun sempat ditolak dan orang tuaku disarankan agar mencari sekolah lain yang tepat untuk orang sepertiku. Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh salah satu pihak sekolah tersebut, hatiku bagai tersayat sedangkan orang tuaku sangat bersedih melihatku diperlakikan tak adil seperti ini. Papaku pun bersuara dan berusaha menjelaskan bahwa aku mampu dan berhak menempuh pendidikan di sekolah tersebut. bahkan kedua orang tuaku mengerahkan dan melakukan seluruh cara agar aku dapat diterima di sekolah itu. Keduanya pun menghubungi senior-seniorku yang senasib denganku yang kini telah berhasil memasuki universitas yang ada di kotaku agar mereka dapat menjelaskan bukti-bukti kepada pihak sekolah tersebut bahwa tunanetra sepertiku berhak dan dapat sukses seperti mereka yang memiliki fisik sempurna. Akhirnya aku diterima oleh pihak sekolah tetapi dengan syarat aku harus mengikuti uji coba selama sebulan. Jika aku berhasil melewati uji coba itu dengan baik, aku dapat melanjutkan pendidikanku di sekolah itu dan bila aku tak berhasil, aku harus meninggalkan sekolah tersebut. untuk membantu kelangsunganan proses belajar mengajar di sekolah, orang tuaku memberikanku fasilitas sebuah laptop yang telah dipasangkan sebuah aplikasi yang akan membaca seluruh tulisan-tulisan yang tertera pada layar monitor laptop tersebut. bukan hanya itu, mereka membeli beberapa buku pelajaran yang digunakan untuk mempelajari beraneka mata pelajaran yang ada di sekolahku. Dan juga dibantu oleh alat scanner, aku dapat membaca isi dari buku-buku tersebut dan apabila hasil scan itu itu kurang jelas, dengan senang hati orang tuaku membacakan isi buku tersebut dan aku yang terkadang kurang paham akan pelajaranku, mereka selalu membimbingku juga mengajariku hingga aku dapat mengerti akan pelajaranku. Hingga suatu ketika penyakitku kambuh lagi dan aku tak biperbolehkan untuk kembali bersekolah. Aku hanya menurut saja menyadari keegoanku yang ditimbulkan oleh diriku sendiri. Namun orang tuaku tak menyurutkan dan mematahkan semangatku untuk menggapai segala impianku dan menyarankanku untuk mengembangkan potensi bakat menulis yang kumiliki yang bisa saja akan mengantarkanku pada gerbang kesuksesan. Dengan senang hati, aku menyambut gagasan tersebut sehingga saat ini aku tak pernah berhenti untuk menulis, melahirkan beberapa karya dan mengikutsertakannya pada beberapa lomba menulis yang diadakan beberapa oleh berbagai pihak. Terima kasih Papa.. Mama… arti peran kalian sangat besar dalam menaklukkan keterbatasanku ini dan aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti mereka dibanding orang tua dari salah satu murid di SLbku yang memiliki netra dan mental yang cacat namun tak dipedulikan oleh orang tuanya. Padahal semestinya mereka yang telah melahirkannya harus mengerti akan kebutuhan khusus yang tepat dan bermanfaat buatnya dalam menaklukkan keterbatasan dan menggapai masa depan yang cerah. Selain itu, aku sangat berharp besar kepada seluruh masyarakat agar peduli akan kehadiran kami yang berkebutuhan khusus yang juga ingin meraih kesuksesan seperti mereka yang sempurna. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Bukan maksud Ayah

Langit malam di luar sana Nampak indah. Sang Bulan kali ini tak segan-segannya berbagi cahaya untuk menerangi langit kota. Seakan tak ingin kalah dengan sang Bulan, para pasukan bintang saling beradu untuk memancarkan sinarnya yang berkilauan anggun hingga tak heran berjuta orang terpana dan takjub akan keindahannya. Namun sayangnya kepulan asap yang ditimbulkan oleh kendaraan yang memenuhi jalan telah merusak keindahan pemandangan malam hari ini. Seiring waktu yang terus berdetik, akhirnya satu persatu kendaraan yang ada di jalan depan rumah nenek mulai berkurang hingga perlahan jalanan itu telah Nampak sepi. Dan tak terasa malam telah makin larut. Walau demikian, aku tak dapat memejamkan kedua mata ini. Rasa senang, resah, dan gelisah menyerbu berbaur tak menentu melanda hatiku. Seluruh pikiranku seolah terbang melayang. Bagaimana tidak?! Sang Ibunda yang tercinta telah memasuki bulan kesembilan yang berarti tak lama lagi aku akan resmi menjadi seorang kakak. Dan malam ini, Ibu beserta Ayah, Nenek, dan bibi akan berangkat menuju ke rumah bersalin sebab Ibu tak dapat lagi menahan rasa sakit di perutnya. Menyaksikan hal tersebut, aku segera bangkit kemudian menghampiri Ayah yang telah siap sedari tadi. “Aku ikut ya…,” bujukku pada Ayah. “Tak usah ya, Nak! Kamu nyusul aja entar dengan yang lain ya… entar kalau adik kamu sudah berhasil dikeluarkan dari perut Ibu, barulah kamu dan yang lainnya nyusul ke rumah bersalin,” jelas Ayah. Aku pun hanya dapat pasrah dan mengindahkan kata-kata Ayah meski sebenarnya aku sempat kecewa dengan jawaban dari Ayah. Dengan raut wajah yang masih cemberut, aku berjalan tepat di samping Ibu hingga beliau memasuki mobil. Mobil yang membawa Ibu pun melaju, kupandangi mobil tersebut hingga akhirnya mobil itu telah hilang dari pandanganku. “Masuk ke dalam rumah, Nak! Udara malam nggak baik untuk kesehatanmu, entar sakit loh!” seru Bibi menyuruhku agar masuk ke dalam rumah. Aku pun bergegas memasuki rumah dengan setengah berlari-lari kecil. -***- “Mengapa sih Ayah tak memperbolehkanku untuk ikut bersama Ibu? Aku kan pengen ikut!” gerutuku dalam hati seraya berbaring di atas tempat tidur Nenek. Meski aku telah berguling kesana-kemari di atas tempat tidur, tetap saja aku tak bisa tidur. Kupaksakan pejamkan kedua mataku agar aku dapat tidur, tapi yang ada mataku makin melek saja. Kini di hadapanku baying-bayang Ibu yang tengah merintih terus saja menari-nari seolah menghantuiku. “Loh kok belum tidur sih? Kirain kamu sudah tidur! Eh tahunya kamu ngelamun saja, tidur, gih! Besik kan kita berangkat ke rumah bersalinnya pagi-pagi! Kalau kamu telat bangunnya, entar kamu ditinggal loh!” ujar Bibi yang tiba-tiba masuk ke kamar sehingga membuyarkan baying-bayang Ibu yang ada di hadapanku. Setelah mendengar perkataan dari Bibi, aku jadi takut sehingga hal tersebut membuatku dengan mudahnya tertidur. -***- Di sisi lain dan tempat yang berbeda, Ibu tengah berjuang untuk dapat melahirkan buah hati tercinta dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun hingga saat ini sang bayi belum juga dapat berhasil dikeluarkan. Para dokter dan perawat turut bingung dan heran sebab kepala dari sang bayi telah berada tepat di pintu tetapi tak dapat dikeluarkan seakan ada sesuatu yang menahan dan menghalangi bayi tersebut untuk keluar. Wajah Ibu pun telah merah padam menahan sakit dan perih yang amat sangat. “Berkuat lagi ya, Bu… Kepala bayinya sudah ada di depan pintu! Ayo coba tarik napasnya lagi,” ujar Dokter berusaha memandu Ibu. Menyaksikan kesakitan dari sang istri tercinta, Ayah pun turut panic dan heran sebab ketika melahirkanku untuk pertama kalinya proses persalinan begitu mudah mengingat Ibu adalah seorang wanita yang sholeh dan taat pada kedua orang tua, tapi kali ini sangat jauh berbeda dari sebelumnya. “Ya Allah… ada apa dengan istriku? Mengapa ia sangat kesulitan dalam melahirkan anak keduaku ini? Bukankah sebelumnya ia sangat mudah dalam melahirkan anak pertama kami? Dan bukankah pula istriku ini adalah wanita yang taat padaMu, taat padaku, dan juga taat pada kedua orang tua?! Ya Allah… berilah kemudahan kepada istriku dalam proses persalinannya,” ujar Ayah dalam hati yang terus saja bertanya-tanya dan tak hentinya terus berdoa pada Sang Maha Penyayang, hingga seketika Ayah mengingat sesuatu hal yang mendadak membuat wajah Ayah memucat. Bagai menembus waktu, ingatannya pun tiba pada peristiwa 5 tahun silam… -***- Ria adalah seorang Ibu muda. Walau demikian, ia sangat piawai dan cekatan mengurus rumah tangganya. Dalam usia yang masih belia, ia terpaksa mengakhiri sekolahnya dan menikah dengan seorang pria yang berumur terpaut jauh dari usianya saat itu bahkan ia sama sekali tak mengenalnya. Namun karena pria itu merupakan seorang agamis, Ibunya pun jatuh hati akan kealiman dan budipekerti yang dimiliki oleh pria itu. Tanpa terasa setahun lebih mereka arungi bahtera rumah tangga dan kini mereka telah memiliki seorang putrid. Tanggung jawab mereka pun bertambah terutama sang istri yang harus selalu memantau sang putrid beserta rumah tangga ketika sang suami tengah keluar mencari nafkah. “Kasihan istriku, dalam usia yang terhitung begitu masih muda, ia telah harus mengurusi suami, anak, serta rumah tangga sendirian, Ya Allah aku hanya ingin memiliki seorang anak saja agar seluruh perhatian dan kasih sayangku cukuplah untuk keduanya saja,” pintanya dalam hati. tanpa sepengetahuannya, rupanya Allah sang Maha Mendengar, mengetahui dan mendengar dan para malaikat mencatat dan mengaminkan perkataan dari hati kecil sang suami yang sholeh itu. -***- “Wah bagaimana nih, Pak? Anak bapak sangat sulit untuk dikeluarkan!” Tanya dokter yang seketika membuyarkan lamunan Ayah. Ayah tak menjawab, dibiarkannya peranyaan itu menggantung dan seketika mendekati sang istri yang telah Nampak terkulai lemah di hadapannya. Dengan pandangan lembut, Ayah mengarahkan pandangannya menuju kea rah kepala sang bayi seraya terus beristighfar di dalam hati. “Maafkan Ayah, Nak… dahulu Ayah pernah berkata bahwa Ayah hanya ingin memiliki seorang anak saja namun Ayah tak bermaksud tak menginginkan kehadiranmu di kehidupan Ayah, sekali lagi Ayah meminta maaf kepadamu, sekarang Ayah mohon keluarlah engkau, Nak!” ucap Ayah lirih diiringi deraian air mata. Setelah Ayah berkata demikian, seketika sang bayi tersebut pun keluar dan meluncur dari tempatnya dengan mudahnya hanya dalam hitungan detik. “OOOOeekkk… OOOeeekkk…,” tangisan merdu sang bayi itu telah memecahkan rasa kepanikan yang menerpa orang di sekitarnya. Rasa sakit dan perih yang tadi dirasakan oleh Ibu, mendadak lenyap tanpa menyisakan rasa sakit sedikit pun seiring terlahirnya sang buah hati. ayah pun mengambil sang bayi tersebut dari tangan sang dokter lalu menimangnya dengan penuh kasih saying. “Allahu Akbar Allahu Akbar… Allahu Akbar Allahu Akbar…” Ayah mengumandangkan adzan pada telinga sebelah kanan sang bayi sesuai sunnah Rasulullah. Setelah selesai mengumandangkan adzan, Ayah juga mengumandangkan iqomat pada telinga sebelah kiri sang bayi. “Allahu Akbar Allahu Akbar… Asyhaduanlaa ilaaha illallaah…” air mata Ayah pun makin berderai dan tak dapat terkendali lagi. -***- “Bangun, Nak! Buruan bangunnya, kita akan ke rumah bersalin secepatnya, adik kamu udah lahir! Dan Alhamdulillah adikmu itu laki-laki loh!” ujar Bibi berusaha membangunkanku. Setelah mendengar dan mengetahui hal tersebut, aku yang masih memasang wajah yang ngantuk, mendadak mataku melek dan terbelalak. “Apa?!!! Adikku sudah lahir?! Yes yes yes!!! Asyik aku punya adik baru!” sorakku kegirangan seraya seketika turun dari tempat tidur dan berjingkrak-jingkrak kesana-sini. Saking senangnya aku pun buru-buru mandi dan segera berpakaian. “Waduh pakai baju yang mana ya? Aku jadi bingung! Tak ada Ibu disini sih! Mmm… yang ini aja deh,” ujarku seraya mengeluarkan salah satu baju dari tas besar milik Ibu yang berisi baju-baju Ayah, Ibu, dan juga baju-bajuku sebab kami telah seminggu nginap di rumah nenek. “Kamu sudah selesai belum? Buruan ya..” Tanya Bibi memastikan. “Aku sudah siap, Bi! Yuk kita pergi!” jawabku mantap. “Kalau gitu, yuk kita turun ke bawah, kita sarapan dulu,” ujarnya seraya merapikan rambutku yang tak sempat kurapikan sebbab aku tak menemukan sisir di kamar nenek. Setibanya di bawah, aku dan sanak keluargaku sarapan bersama lalu kemudian berangkat menuju ke rumah bersalin dengan menumpangi sebuah mobil. -***- “Ibu…!” panggilku kegirangan. “Eh saying.. kamu sudah datang!?” ujar Ibu seraya tersenyum manis kepadaku. “Ibu baik-baik aja kan? Oh ya, adikku mana? Aku tak sabar pengen melihatnya!” tanyaku seraya memeluk Ibu. “Sabar dong saying, adikmu lagi dimandiin sama perawat,” jawab Ibu dengan suara lembut. “Aku jadi penasaran Nih, Bu! Bagaimana sih tampang adikku itu?” tanyaku. “Mmm… gimana ya?! Wajahnya lucu, rambutnya agak keriting, dan badannya gede! Bagaimana?! Kamu sudah bisa membayangkannya kan?” jawab Ibu dengan semangat. Tok..tok..tok… terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Aku pun bergegas menuju ke pintu dan dengan sigap membukanya. Setelah membuka pintu tersebut, kini di hadapanku berdiri seorang perawat yang tengah menimang seorang bayi yang berciri-cirikan sesuai dengan cerita dan gambaran dari Ibu barusan. Dan sangat amat yakin bahwa bayi yang ditimang oleh perawat itu adalah adikku. “Selamat pagi, nih bayinya sudah dimandiin,” ujar sang perawat tersebut namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya tengah berdiri. “Wah sudah dimandiin ya, Sus… silahkan masuk… saying, minggir dong, Nak! Perawatnya kan tak bisa masuk kalau kamu tetap berdiri di situ?! Beri jalan gih! Buat perawatnya,” seru Ibu. “Ternyata benar kan?! Bayi itu adalah adikku! Wah adikku sangat menggemaskan!” gumamku dalam hati. aku pun berlari menuju kea rah Ibu dan sang perawat tersebut masuk kemudian meletakkan sang bayi itu tepat di samping Ibu. “Wah… terima kasih ya, Sus, sudah memandikan bayi saya,” ujar Ibu kepada sang perawat tersebut. “Uhg.. aku jadi gemes!! Lucunya adikku ini!” celotehku seraya mengecup kening adik kecilku. “Eh tahu nggak sih kamu?! Sekrang kamu tak disayang lagi tuh sama Ayah dan Ibu kamu soalnya mereka sekarang lebih saying sama adik kecilmu itu,” celetuk Bibi menggodaku. Mendengar perkataan tersebut, spontan aku mengerinyitkan keningku lalu memandang ke arah Ayah dan Ibu. “Tenang saja, tentulah Ayah dan Ibu masih menyayangimu dan rasa saying kami kepada kamu dan adikmu sama rata kok! Kami tak akan membeda-bedakannya, jangan didengar kata Bibimu itu, dia cumin bercanda kok!” ujar Ayah seraya mengelus-ngelus kepalaku. Setelah mendengar penuturan dari Ayah, aku merasa lega walaupun aku sempat melototin Bibi yang tadi telah sempat menggodaku agar aku merasa cemburu dan kesal. Menyaksikan hal tersebut, seluruh orang yang ada di kamar itu pun tertawa terbahak-bahak. Hikmah: Sebagaimana yang kita ketahui selama ini, perkataan adalah doa. Maka dari itu, janganlah berkata yang tidak-tidak yang dapat menimbulkan mudhorat buat diri sendiri ataupun orang lain di sekitar kita. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar walau perkataan itu hanya terlontarkan di hati. selain itu, de sekitar kita ada beberapa malaikat di tengah-tengah kita yang senantiasa mencatat segala perkataan kita dan biasanya mengaminkan perkataan dari manusia. Dan terkadang kita sebagai manusia biasa yang tak luput dengan sifat lupa, seringkali kita telah lupa akan perkataan kita sehingga dari perkataan kita pula sangat berpengaruh akan hari ke depan. Maka sekali lagi jagalah perkataanmu walau perkataan itu di dalam hati. Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Selimut dukaku dalam lebaran 2012

“Jangan pulang dulu dong, Bu! Bulan ramadhan tak lama lagi, tinggallah di sini hingga lebaran nanti” bujukku manja pada nenek yang akrab dipanggil dengan Ibu dalam keluarga besarku. “Tidak, Nak, Ibu harus pulang apalagi Ibu sakit-sakitan,” tolaknya halus sambil bersiap keluar rumah. “Aku dan Mami kan bisa rawat Ibu juga kok! Bukan hanya tante Nelly yang bisa,” protesku. Air mataku meleleh. Dadaku pun terasa sesak oleh kepulangan Ibu. “Kalau begitu, aku ikut ya!” rengekku. “Tak usahlah, Nak! Bukankah kamu bertugas sebagai bendahara dalam organisasi remaja mesjid kamu, jadi kamu sangat dibutuhkan,” Sejenak aku terdiam, lalu beranjak masuk ke kamarku. Ibu telah keluar rumah dengan dipapah oleh Om Rizal. Aku tetap di kamar, aku tak ikut mengantarkan Ibu hingga masuk ke mobil. *** “Tak terasa ya, lebaran tak lama lagi ! Oh ya, Mam, kita jadi ke Palopo tidak?!” tanyaku pada Mami seraya mencoba baju baruku untuk lebaran nanti. “Rencananya kita akan ke Palopo setelah lebaran sebab pernikahan Tante Astuti juga akan dilangsungkan setelah lebaran. Maka sebaiknya kita menghadiri pernikahan tante kamu dulu baru kita ke Palopo agar kita sekali jalan saja. Untuk ke Palopo, mobil yang akan kita tumpangi akan melewati kota Pinrang! Tetapi..” kalimat Mami terhenti. “Tetapi apa ?” “Barusan Tante Nelly menelpon Mami. Katanya perilaku Ibu akhir-akhir ini agak aneh dan beda dari selama ini. Ibu selalu diam dan saat ini Ibu mendadak tak dapat berjalan. Mami beserta tante dan semua Om kamu sangat cemas dan khawatir dengan keadaan Ibu. Jadi, mungkin kita akan ke Palopo dalam dekat ini dan kita akan lebaran di sana. Sekarang Mami lagi tunggu telpon dari Tante Nelly nih!” suara Mami terdengar parau. Andai saja aku dapat melihat seperti yang dahulu, mungkin aku akan menemukan mata Mami yang sedang berkaca-kaca. Aku segera mencopot baju baruku lalu mengembalikannya ke dalam lemari. Kriingg…Kriing… handphone Mami bordering. Mami segera beranjak keluar dari kamarku lalu menuju ke ruang keluarga tempat tadi Mami meletakkan handphonenya. Aku yang merasa ngantuk segera membaringkan diri di atas tempat tidur. “Nurul bangun, Nak! Ayo doakan Ibu! Ibu gawat!!” panik Mami yang berusaha membangunkanku. Aku terbangun lalu duduk berusaha menenangkan hatiku. “Kenapa Ibu tidak dibawa ke rumah sakit saja sih?!!” “Percuma saja, Nak!” jawab Mami yang terus mondar-mandir tak menentu dengan handphone yang ia pegang erat di tangannya. Aku yang mengerti dengan kondisi saat ini tanpa dikomando lagi, aku segera mengambil beberapa lembar pakaianku lalu memasukkannya ke dalam tas. Kembali terdengar deringan handphone Mami, dan samar-samar Nampak Mami tengah serius berbicara kepada orang yang ada di seberang telpon. Aku mulai kasak-kusuk sehingga aku tak lagi memperhatikan pakaian-pakaian yang aku masukkan ke dalam tas. “Kenapa, Dik? Kenapa dengan Ibu?! Apa??! Katakan saja, Dik! Hah.. Ibu telah tiada!! Huuu…” terdengar jerit tangis Mami. Aku pun sadar bahwa Ibu telah pergi untuk selamanya meski aku belum dapat percaya seutuhnya bahwa Ibu telah tiada. Aku terisak. Air mataku tak dapat lagi kubendung. Mami menghampiriku lalu memelukku dengan erat. Kedua hati kami terasa pedih luar biasa. Setelah itu, Mami bergegas keluar dari rumah lalu menuju ke mesjid yang terletak tepat di samping rumahku untuk menyampaikan berita duka itu kepada Papi yang tengah melaksanakan ittikaf di mesjid itu. Dalam kegelapan, Mami berusaha mencari Papi sebab saat itu keadaan tengah mati lampu. Setelah berhasil menemukan Papiku, Mami menyampaikan berita itu kepada Papi. Air mata pun jatuh dari pelupuk mata Papi. *** “Ibu…Ibu…” tangisku pecah di hadapan mayat Ibu. Kurangkul tubuh Ibu lalu menciumi keningnya dengan penuh perasaan. Sebenarnya tubuhku terasa amat lemas bahkan aku nyaris pingsan akan tetapi aku berusaha menguatkan diriku agar dapat ikut memandikan mayat Ibu lalu juga ikut menyolatinya dan kemudian ikut mengantarkan jenazah Ibu hingga ke pemakaman. *** Allahu Akbar… Allahu Akbar.. takbir terus berkumandang dari mesjid kecil yang terletak tak jauh dari rumah Tante Nelly. Omelan Mami memenuhi kupinku sebab aku telat sholat subuh. Seluruh sepupuku telah siap untuk ke mesjid. “Buruan!! Entar kita tak dapat tempat lagi! Mandinya jangan lama-lama ya!” ala bisa karena biasa, pepatah itu ditujukan padaku. Di saat yang bersamaan, aku telah selesai mandi dan hujan mendadak turun dengan derasnya. Dan dua sepupuku juga membertahu bahwa tempat di dalam mesjid telah penuh. Aku pun menjadi sasaran omelan dari sepupu, tante dan mamiku. “Kak Nurul sih Lelet!” gerutu sepupuku. Terpaksa kami melaksanakan sholat ied di dalam rumah saja yang dipimpin oleh Mamiku. Sebelum itu kami bertakbir. Setelah sholat ied telah selesai kami kerjakan, layaknya sholat ied di mesjid, Mami member ceramah kepada kami semua. Hujan pun mulai reda. Terdengar suara Imam mesjid yang baru saja memulai shalat ied. Rupanya aku dan keluargaku mengerjakan sholat ied lebih dahulu !! Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Bidadari dalam kehidupanku

Kala kilau mentari tak lagi sanggup menembus mata ini Dan bintang-bintang di langit tiada lagi hadir menemaniku di sini Namun bidadari nan jelita akan selalu sejati menemani Meski raut indahnya tak lagi terlukis dalam netra ini Wahai engkau Ibu sang bidadari penyejuk kalbu Sungguh ayu paras nan kalbumu Bentangkanlah sayap putih nan sucimu itu Bawalah peri kecilmu ini ke dalam damai dan hangatnya dekapanmu Duhai Ibu yang amat kucinta Jangan lagi ada air bening kesedihan yang mengalir di pipimu yang merona Kupinta janganlah engkau menatap peri kecilmu ini dengan tatapan iba Karena aku tak ingin Ibu tenggelam dalam siksa jiwa Tenanglah engkau duhai bidadari hati Sebab aku akan membingkiskan sejuta cinta dan bahagia untuk menutupi luka dan lubang di hatimu saat ini Dan takkan pernah kubiarkan lagi luka dan lubang di hatimu itu kembali menghampiri Kuingin engkau selalu tersenyum hingga akhir nanti Taukah engkau Ibu… Kerongkongan hidupku selalu saja haus akan kasih sayangmu Genggam eratlah jemariku agar Ibu dapat merasakan getaran-getaran yang memuncak dalam setiap denyut-denyut nadiku Temanilah raga ini mengarungi pahit getirnya jalan hidup yang penuh duri nan berliku Duhai Ibuku sang bidadari jelita Aku tau kedua bola mata ini tak lagi berdaya Namun aku masih dapat menyaksikan segala keindahan melalui mata Ibu yang penuh cahaya Ibu adalah mata keduaku yang tanpanya hidupku kan terasa hampa Wahai Ibu sang bidadari Sosokmu takkan pernah mati di hati Izinkanku merasakan indahnya surga di bawah telapak kakimu yang suci Kupinta pada Sang Pemilik waktu agar cinta Ibu akan abadi di hati Penulis: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Hujan Rindu

Hujan.... Sejak tadi hingga kini masih hujan Semua basah, sebasah mata dan hatiku Hujan di luar sana deras Mengapa? Kemarin-kemarin hari sangat panas tapi hari ini hujan Namun jelas hujan ini rindu Hujan ini adalah rinduku Rinduku yang tak terbantahkan Rinduku yang tak tersampai kepada dia yang tak akan pernah kembali di sini, di dunia ini Apakah dia juga rindu sepertiku? Aku tau itu walau dia telah jauh di sana Hujan ini buktinya Katakan saja sayang… Aku dapat mendengar gaib lirih bisikmu Bahwa engkau juga rindu padaku Created by: Risya Rizky Nurul Qur’ani

Jumat, 16 Agustus 2013

di manakah sila kelima itu kini?

Dalam kehidupan para difabel selalu saja ada kendala-kendala dalam memperoleh hak-hak mereka sebagai rakyat Indonesia. Kendala-kendala itu ada yang kecil dan ada juga yang besar. Kendala-kendala mereka sangat beraneka ragam dimulai dari kendala hak pendidikan, hak mendapatkan layanan yang layak, dan seterusnya. Namun kali ini saya hanya ingin membahas dua kendala yang kerap menerpa para difabel khususnya para difabel netra. Kedua kendala itu adalah kendala dalam memperoleh layanan yang baik dari suatu lembaga atau instansi dan kendala dalam dunia pendidikan. Beberapa bulan yang lalu, saya dihubungi oleh salah satu sahabat senasib saya sebagai difabel netra. Dengan lirih, ia menyampaikan sebuah berita duka kepadaku. Awalnya saya mengira kalau berita itu adalah berita kematian seseorang tetapi ternyata bukan, melainkan berita bahwa kartu ATM yang ia miliki ditelan oleh mesin ATM secara tidak sengaja. Saya yang mendengarnya hanya berekspresi datar seolah sedang tak terjadi apa-apa. Saya menyikapinya seperti ini sebab kebetulan seorang temanku juga pernah mengalami kendala serupa. Ketika temanku itu mengalami kendala tersebut, ia segera melaporkan kejadian itu kepada pihak bank yang bersangkutan sekaligus mengurus pembaharuan kartu ATM untuk mengganti kartu ATM miliknya yang tertelan itu. Hanya kurun 2-3 hari, urusannya pun akhirnya beres. Saya pun menceritakan hal itu kepada sahabatku itu agar ia tidak perlu merasa khawatir. Mendengar cerita itu, ia tertawa sebentar lalu menjelaskan kepadaku bahwa kendala temanku itu memang serupa namun tidak semudah itu buat para difabel netra. Untuk memindahkan data-data yang ada pada ATM yang sebelumnya ke ATM yang baru, diperlukan sebuah tanda tangan sang pemilik kartu ATM tersebut. katanya lagi urusan temanku itu sangatlah mudah untuk diatasi sebab ia bukanlah seorang difabel netra seperti kami. Sedangkan sahabatku itu, ia adalah seorang difabel netra sepertiku. Kendala tanda tangan buat para difabel netra tentunya bukanlah kendala sepelah seperti membalikkan telapak tangan. Tanda tangan pemilik ATM haruslah persis dengan tanda tangan pada data-data sebelumnya. Dan tentunya tanda tangan yang ada pada data-data sebelumnya, khusus para difabel netra, yang menandatanganinya bukanlah dirinya sendiri melainkan ditandatangankan oleh pendampingnya. Dan parahnya, orang yang menandatangani data-data sebelumnya, kini telah berada jauh dari sahabatku itu tepatnya di provinsi yang berbeda denga sahabatku itu. Telah berkali-kali sahabatku itu menjelaskan kepada pihak bank yang bersangkutan bahwa ia adalah seorang difabel netra yang tentunya hanya dapat ditandatangankan oleh pendamping dalam urusan-urusan tertentu seperti saat ini. Hingga kini ia tidak dapat menarik uang yang ada dalam tabungannya padahal ketika itu ia sangat membutuhkan sejumlah dana untuk suatu keperluan yang sangat mendesak. Di atas adalah salah satu kendala yang kerap dihadapi oleh para difabel netra. Tidak semua bank yang ada di Indonesia yang ingin kompromi dengan keadaan para difabel netra. Prosuder yang ada sangat mengikat tanpa ada dispensasi untuk kaum tertentu seperti para difabel netra. Dan ternyata kendala seperti ini bukan hanya terjadi bank saja melainkan juga terjadi di suatu universitas. Seorang kawan saya yang juga seorang difabel netra tidak diberi kesempatan untuk memiliki kartu mahasiswa sebab alasan dari pihak universitas tersebut mewajibkannya dapat bertanda tangan. Mengapa kendala kecil seperti ini selalu saja dibesar-besarkan oleh beberapa instansi? Apa sulitnya cap jari atau cap jempol sebagai pengganti tanda tangan untuk mereka para difabel netra khususnya yang benar-benar total. Dimanakah pancasila yang selalu dijunjung oleh bangsa Indonesia? Sebab bukankah salah satu sila yang ada di dalam pancasila menyebutkan kalimat “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ?! jadi kini di manakah keadilan itu? Apakah sila kelima itu telah terhapus dalam kehidupan bangsa Indonesia? Beberapa instansi telah melupakan sila kelima itu yang berarti instansi itu telah mengkhianati salah satu sila yang ada dalam pancasila. Mengaku bangsa Indonesia tetapi tidak menanamkan jiwa pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi bagaimanakah nasib para difabel daksa yang tak lagi memiliki kedua tangan dan kaki? Tentu mereka akan lebih merasa kesulitan dibanding para difabel netra dalam tanda tangan. Kendala-kendala itu tidak hanya berhenti disini saja tetapi masih ada lagi kendala-kendala yang lain. Kendala selanjutnya adalah kendala pendidikan. Kali ini saya juga akan sedikit menceritakan pengalaman pribadi saya. Pada 2011 lalu, saat itu saya baru saja menamatkan bangku SMP di salah sebuah sekolah luar biasa yang ada di kotaku. Saya pun ingin malanjutkan pendidikan saya ke jenjang pendidikan selanjutnya di SMU negeri layaknya siswa-siswa non disibilitas pada umumnya. Dengan ijazah yang ada, saya pun mendaftarkan diri dan mengikuti tes di salah satu SMU negeri yang terletak tak jauh dari kediamanku. Ketika saya ingin memasuki ruangan tes, sang pengawas ruangan tersebut keberatan saya masuk ke dalam ruangan itu dengan alasan dibilitas yang kumiliki. Saya dan Ayahku pun menghadap ke kepala sekolah SMU tersebut. setelah berbicara kepada beliau, akhirnya saya dapat mengikuti tes tetapi bukanlah di ruangan seharusnya saya sebagai calon siswa untuk mengikuti tes masuk ke sekolah itu melainkan saya ditempatkan di ruang guru. Disana saya pun mengerjakan soal-soal yang ada didampingi oleh pendamping saya yang tak lain sahabat saya sendiri. Tatkala saya asyik-asyiknya mengerjakan soal-soal itu, seorang guru dari SMU tersebut menghampiriku dengan mengatakan bahwa SMU itu tak selayaknya untuk orang sepertiku. Ia juga berkata bahwa si SMU tersebut tak ada huruf Braille. Konsentrasiku pun seketika buyar setelah mendengar perkataannya barusan. Saya pun menjelaskan kepadanya bahwa siswa sepertiku juga dapat mengikuti pelajaran di SMU negeri tersebut dengan baik bukan hanya di sekolah luar biasa saja. Setelah mendengarkan penjelasan dariku, ia pun berlalu begitu saja. Akibat hal itu, saya tak dapat mengerjakan soal-soal selanjutnya dengan baik dan tenang. Alhasil ketika hasil tes telah keluar, saya dinyatakan tidak lulus tes. Akhirnya saya kembali mendaftarkan diri di sebuah Madrasah Aliyah Negeri, lagi-lagi saya tidak diperkenankan untuk mengikuti tes di sekolah tersebut dan lagi-lagi dengan alasan yang serupa. Saya dan Ayahku pun ingin bertemu langsung dengan kepala sekolah yang ada di sekolah tersebut, karena kebetulan beliau sedang tak ada di tempat, kami pun memutuskan untuk mendatangi kediaman beliau. Disana akhirnya kami dapat menemuinya dan membahas mengenai keinginanku untuk masuk ke sekolah tersebut. beliau pun berceletuk bahwa pemerintah seharusnya memperbanyak sekolah luar biasa untuk orang sepertiku. Lagi-lagi hatiku seketika miris mendengarnya. Beliau pun kembali berkata bahwa beliau ingin mengadakan rapat terlebih dahulu bersama guru-guru yang lain mengenai kesediaan mereka akan kehadiranku yang berbeda dengan siswa-siswa yang lain juga dalam menghadapi dan mengajari siswa sepertiku. Keesokan harinya saya kembali datang ke sekolah tersebut tetapi kali ini saya bukan hanya datang bersama Ayahku tetapi juga bersama seorang kawan senasib saya yang merupakan utusan dari PERTUNI SULSEL untuk membantuku masuk ke sekolah tersebut. kami pun bertemu dan berbicara dengan sejumlah guru-guru yang memiliki peranan penting di sekolah tersebut. terlebih dahulu kawan saya memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah seorang alumni dari salah sebuah SMU negeri yang sangat dikenal sejak dulu di tengah masyarakat sekaligus seorang alumni dari salah satu Universitas ternama yang ada di kotaku. Kawanku itu juga menjelaskan kepada mereka bahwa saya juga mampu mengikuti proses belajar mengajar di sekolah tersebut dengan dibantu oleh alat-alat khusus yang kumiliki seprti laptop yang bisa kubawa kemana-mana. Atau riglet dan pen yang juga bisa membantu, qur’an Braille, dan sebagainya. Mereka pun ingin melihat bukti langsung dariku dengan memintaku untuk membaca Al-qur’an dengan baik. Saya pun menyanggupinya, di hadapan mereka saya membaca beberapa ayat-ayat yang ada dalam qur’an Braille milikku. Mereka pun terkesima melihatnya. Selanjutnya mereka ingin melihatku memainkan laptop laptop dan saya juga menyanggupi. Dengan dibantu oleh suara aplikasi JAWS beserta pengetahuan teknologi yang kumiliki, saya berhasil menunjukkan kepada mereka bahwa saya mampu seperti siswa-siswa yang lain pada umumnya. Singkat cerita, dari hasil rapat mereka saya diputuskan dapat diterima di sekolah tersebut dengan syarat saya mesti mengikuti uji coba selama sebulan. Jika saya berhasil melewatinya dengan baik, saya dapat melanjutkan pendidikanku di sekolah tersebut tetapi jika saya tidak berhasil, saya dipersilahkan keluar dari sekolah itu. Dan akhirnya saya berhasil. Meski saya telah berhasil menembus sekolah itu, masih banyak sekolah negeri yang belum bisa menerima keadaan para difabel netra sepertiku. Bahkan juga ada seorang kawan sepertiku yang dimana ia telah lulus murni pada ujian SMPTN barusan juga mengalami beberapa kendala untuk memasuki jurusan pilihannya. Kebetulan ia memilih fakultas ilmu pendidikan jurusan kewarganegaraan di sebuah Universitas negeri yang ada di kotaku. Pihak Universitas mempermasalahkan tes kesehatannya hanya gara-gara ia adalah seorang difabel netra. Bahkan seorang dari mereka mempertanyakan bagaimanakah seorang difabel netra sepertinya kelak dapat mengajarkan murid-muridnya dengan kondisi seperti itu. Ia pun disarankan untuk sebaiknya ia dipindahkan saja ke jurusan pendidikan luar biasa. Dan tentulah ia tidak ingin menyerah begitu saja dengan keadaan yang terjadi, ia berjuang dan tetap bersikeras pada pilihannya hingga akhirnya ia berhasil memasuki jurusan yang ia inginkan. Ketika saya mendengar pengalaman dari kawanku tersebut, saya hanya dapat menggelengkan kepala atas sikap dan perilakuan yang sempat diterima oleh kawanku itu. Saya berpikir patutkah seorang pengajar yang bahkan katanya mengajar di jurusan pendidikan kewarganegaraan bersikap dan berperilaku demikian? Apakah sesungguhnya ia benar-benar mengerti dan memahami akan pelajaran yang ia ajarkan kepada siswa-siswanya? Ataukah ia hanya sekedar mengajari berteorika saja tanpa ada praktek nyata dalam kehidupan sehari? Inilah fakta yang hampir sebagian terjadi di belahan bumi Indonesia ini. Sekali lagi saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan besar yang kerap muncul dalam benakku, “Di manakah sila kelima itu kini?” hokum dan keadilan yang terjadi di Indonesia kini tengah mengalami krisis. Lantas bagaimanakah kita menyikapi dan mengatasinya? Apakah kita perlu mengadakan advokasi besar-besaran dengan demo di jalan-jalan yang hanya dapat berujung kerusuhan ataukah kita perlu bersama-sama mendatangi setiap lembaga atau instansi bersangkutan, pemerintah, atau menghadap kepada Pak Presiden ? haruskah kita selalu mengingatkan sila kelima itu kepada mereka-mereka itu? Indonesia telah lama merdeka namun kini nyatanya sebagian para difabel yang ada di Indonesia ini masih terjajah oleh sikap dan perilaku dari penjajahan sesama antarrakyat Indonesia. Apakah sebaiknya setiap daerah perlu mengadakan pengenalan sosial terhadap para difabel dan kembali mengajarkan kepada mereka mengenai sila kelima dari pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang di mana kini sila itu sebagian telah terhapus dalam jiwa-jiwa mereka sebagai bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila. Dan dari sekian pertanyaan yang terlontar hanya ada sebuah jawaban singkat yakni kesadaran diri dari setiap pribadi rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Sebab dengan adanya kesadaran diri dari setiap pribadi rakyat, sila kelima itu akan kembali mewarnai negeri ini dengan sendirinya sehingga krisis keadilan dan hukum yang melanda bangsa ini akan teratasi dengan mudah. Created by: (Risya Rizky Nurul Qur’ani)

Minggu, 21 Juli 2013

jangan hentikan impianku, Ayah

Awan mendung. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Langit menjadi kelabu. Di kamar yang berukuran kecil ini, aku duduk di atas ranjangku yang amat empuk, sangat jauh dari hatiku yang tidak lagi empuk untuk saat ini. Telah berkali-kali aku menghapus air bening di pipiku, namun percuma saja karena air bening itu terus saja muncul. Di kupingku, suara dan kata-kata Ayah terus saja terngiang. “Kalau Ayah sudah bilang tidak, kamu tidak usah lagi mengulang permintaanmu! Ayah juga pernah kok ikut dalam sanggar itu, dan itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Kamu itu bukan tunanetra biasa tidak seperti teman-teman kamu yang lain. Selain penglihatanmu yang bermasalah, kamu juga mengidap tumor otak! Kalau kamu kecapean atau kamu banyak berpikir, hal itu mengundang resiko besar atas kesehatanmu. Kalau kamu sakit lagi, bukan hanya dirimu yang merasakannya, tetapi kamu juga akan merepotkan orang-orang sekelilingmu. Andaikan jika kamu sakit yang repot kamu saja, tapi sayangnya yang akan repot kita juga! Sudah beberapa kali Ayah beri kesempatan untukmu, tapi nyatanya hasilnya begitu saja, tidak ada satu pun yang tuntas! Semuanya putus di tengah jalan! Hanya rasa capek dan sakit yang kamu dapatkan ditambah lagi kamu telah banyak merepotkan kita,” hardik Ayah tanpa memikirkan perasaanku. Aku hanya dapat menangis dan berusaha mengobati perasaanku sendiri. Rasanya aku hamper saja menyerah dengan semua ini. Tekanan batinku pun makin dalam. “Bagaimana seluruhnya dapat tuntas kalau Ayah sendiri berat hati dengan semua yang ingin aku awali, sekolah contohnya. Ketika aku meminta kepada Ayah untuk menyekolahkanku, sejak awal Ayah memang langsung menolak mentah-mentah permintaanku hingga akhirnya barulah aku dapat izin untuk bersekolah atas bujukan dari Ibu, itu pun Ayah selalu mengeluh karena jarak sekolahku yang terbilang jauh. Pokoknya semua yang kuingin lakukan, tidak pernah mendapat respon yang baik dari Ayah, maka dari itu pula hasilnya semua menjadi seperti itu. Ayah tidak pernah ikhlas dengan semuanya. Mungkin jangan-jangan Ayah juga belum ikhlas menerima keadaanku bahwa puterinya ini telah resmi menjadi seorang tunanetra. Mungkin di mulutnya Ayah bilang ikhlas namun tidak senada dengan isi irama di hatinya,” pikirku dalam hati. apakah aku salah kalau aku hanya ingin masuk ke sebuah sanggar untuk memperdalam dan mengasah bakat yang kumiliki? Bagiku rasanya ini tidak adil. Ya Tuhan, aku hanya ingin mewujudkan segala mimpi dan impianku walau kedua mata ini tinggal menjadi sebuah pajangan di wajahku. Aku dan para tunanetra sedunia juga berhak mewujudkan impian masing-masing sebab kesuksesan itu milik semuanya tak terkecuali kaum disibilitas, yang penting kita memiliki kemauan dan tekad kuat serta gigih dan tak pantang menyerah juga tidak takut untuk jatuh ataupun gagal. *** Toktok.. terdengar katukan pintu yang berasal dari ruang tamu. Aku yang tengah sarapan bersama keluarga di hari minggu yang cerah ini rupanya sudah kedatangan tamu sepagi ini. “Ran, coba lihat siapa tuh yang datang!” “Ibu, Rani kan tidak bisa melihat! Ibu ada-ada aja, yah palingan Rani hanya dapat mengenali suaranya! Itu pun kalau Rani kenal,” ujarku sambil berlalu menuju ke ruang tamu. “Assalamu alaikum…” sahut lelaki dibalik pintu. “Wa’alaikum salam, siapa ya?” tanyaku penasaran, suaranya rasanya tidak asing lagi di kupingku. Dengan perlahan aku pun membukakan pintu untuknya. “Eh, Nak Rani! Apa kabar? Tante dan Firdaus telah datang untukmu sesuai janji anak tante kepadamu,” kata wanita di hadapanku dengan lembut dan hangat yang tidak lain ibu yang telah mengandung Sang Pangeran hatiku. Rasanya hari ini aku sangat bahagia, tapi di sisi lain aku juga merasa takut dan cemas sebab kedatangan mereka ini bukanlah kedatangan mereka untuk pertama kalinya, tetapi sudah kedatangan mereka yang kedua kalinya. Bagaimana aku tidak merasa cemas?! aku takut Ayah dan Ibu akan kembali menolak pinangannya walaupun Ayah pernah berkata bahkan berjanji kepadaku bahwa jika memang Aku dan Firdaus berjodoh, Ayah tidak akan menghalanginya. Tetapi Ayah berkata seperti itu tetap di saat aku tengah sakit parah. Aku takut itu hanyalah sekedar janji palsu agar aku dapat sembuh dan dapat tersenyum kembali setelah kejadian penolakan lamaran Firdaus yang untuk pertama kalinya yang seketika membuat jiwaku terguncang hebat hingga mengundang tumor itu datang kembali. “Ran! Kok diam? Melamun ya? Kamu tidak mau mempersilahkan kami masuk nih?!” suara Firdaus seketika membuyarkan pikiranku. “Eh, maaf ya, ayo silahkan masuk. Tante hanya berdua? Yang lain mana? Kok tidak diajak sekalian ke sini?” “Oh yang lain pada masih ada di Kalimantan termasuk Ayah Firdaus. Dia belum dapat cuti dari perusahaan tempat dia bekerja. Oh ya, Ayah dan Ibu kamu mana? Kami ingin bicara,” “Ran, siapa yang datang?” Ayah dan Ibu tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami. “Assalamu alaikum, Pak, Bu! Maaf kami telah mengganggu pagi-pagi begini,” “Oh tidak masalah kok, Bu! Oh ya, kalau boleh tau ada maksud apa Ibu dan Nak Firdaus berkunjung ke rumah ini?” Tanya Ayah tanpa basa-basi. “Baiklah Pak, Bu, maksud kedatangan kami ini yaitu tidak lain untuk meminang puteri Ibu dan Bapak untuk anak saya Firdaus. Saya berharap Ibu dan Bapak sudi untuk menerima pinangan kami ini,” jawab Bu Anwar langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Sejenak suasana di ruang tamu itu menjadi dingin dan membeku. Beberapa menit kemudian, Ayah pun angkat suara dan mencairkan kebekuan suasana itu. “Maaf sebelumnya, bukannya kami ingin menolak niat baik Ibu untuk meminang puteri kami, tetapi kami ragu dan takut kalau anak Ibu bisa saja tidak dapat menghidupi ataupun menafkahi puteri saya juga anak-anak mereka kelak apalagi mereka sama-sama tidak dapat melihat ditambah lagi pekerjaan anak Ibu belum jelas dan kalau tidak salah anak Ibu hanyalah berprofesi sebagai pemijat saja bukan?! Selain itu, puteri saya ini walaupun tidak dapat melihat, ada beberapa lelaki yang hendak meminangnya dan Alhamdulillah diantara mereka banyak yang telah memiliki usaha dan pekerjaan tetap, berpendidikan tinggi dan juga shaleh. Kami ingin puteri kami dapat bersuamikan lelaki yang dapat melihat agar ia dapat dibimbing dengan baik. Dan sebaiknya anak Ibu juga dinikahkan saja juga kepada wanita yang dapat melihat agar ia bisa dibimbing dan dibantu oleh isterinya kelak,” terang Ayah panjang lebar. “Oh begitu ya, Pak! Baiklah kalau seperti itu menurut Bapak dan Ibu demikian. Kami tidak dapat memaksakan kehendak kami,” “Tunggu dulu Ayah! Bukankah Ayah pernah berjanji kepada Rani bahwa Ayah tidak akan menghalangi kami apabila kami ini memang sejodoh! Kalau Ayah kembali menolak pinangan Firdaus, itu sama saja Ayah telah menghalanginya. Rani tau Ayah dan Ibu memang tidak suka dengan Firdaus karena kami sempat berpacaran setahun, itu adalah kekhilafan kami berdua sebagai manusia yang tidak pernah luput dari lupa dan salah, tetapi yang penting kami telah telah bertaubat kembali ke jalan yang lurus dan menyadari bahwa pacaran itu haram di dalam islam. Dan bukankah Allah itu Maha Pengampun, dan seperti kata-kata yang selalu Ibu ucapkan bahwa ketika kita tengah bersalah tantunya kita juga butuh untuk dimaafkan. Oh ya ada satu hal yang harus Ayah dan Ibu ketahui, Firdaus itu juga dapat sukses seperti lelaki yang lain pada umumnya sebagaimana lelaki pilihan yang menurut Ayah dan Ibu itu terbaik buat Rani. Mereka itu dapat sukses seperti saat ini karena kebetulan mereka beruntung memiliki harta yang berkecukupan sehingga mereka dapat disekolahkan ke jenjang yang tertinggi hingga mereka dapat memiliki pekerjaan yang bagus ataupun mereka juga dapat mengembangkan usaha yang didirikannya juga berkat tunjangan modal yang cukup dari orang tua mereka. Sedangkan Firdaus, dia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang berekonomi pas-pasan tetapi ia sangat sabar menjalani kehidupannya sehingga dalam usianya yang masih kecil tepatnya pada waktu kelas 4 SD, ia memilih untuk memutuskan sekolahnya di tengah jalan walau sesungguhnya ia sangat bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Sebagai anak ia sangat tau diri dan ia tak ingin menyusahkan orangtua. Ia pun bekerja di beberapa tooko dan yang paling penting baginya ialah pekerjaanya itu halal dan ia tidak mengemis-ngemis pada siapa pun. Dan hingga akhirnya di usia yang menginjak remaja, ia terpaksa kehilangan pekerjaan sekaligus penglihatannya yang seketika membuatnya sangat terpukul tetapi ia tetap bersabar yang hingga akhirnya ia dimasukkan ke dalam SLB gratis. Di sana, sambil bersekolah ia juga bekerja sebagai pemijat tetapi kini ia juga tengah sibuk berjualan ditambah lagi ia juga seorang atlet. Dan ia berencana untuk membuka panti pijat sendiri sambil ia berkuliah nanti mengambil ekstensi. Aku dan Firdaus ingin membangun semuanya dari nol hingga nantinya sukses bersama-sama. Dan aku sendiri ingin mengasah bakatku dan mengembangkan organisasi yang tengah kurintis saat ini yang insya Allah akan sukses. Jadi saya mohon, jangan hentikan segala impian Rani, aku mohon! Dan mengapa juga Ayah dan Ibu harus takut bila aku hidup bersama Firdaus? Bukankah Ayah dan Ibu tentunya sudah tau bahwa Tuhan telah mengatur dan menjamin rezeki seorang hambanya sejak ia dilahirkan hingga hamba itu meninggal?! Rezeki itu memang mesti kita jemput dengan usaha kita, dan saya tau dan sangat mengenali Firdaus sebagai seorang lelaki yang pekerja keras dan tidak suka bermalas-malasan,” mataku mulai berkaca-kaca hingga akhirnya menitikkan air bening di pipiku. Setelah sekian menit berbincang-bincang dari hati ke hati, keputusan Ayah dan Ibu tetap sama, keduanya tetap bertahan dan bersikeras hati pada pendapatnya. Dengan hati yang kecewa, Firdaus dan Ibunya akhirnya pamit untuk pulang. Aku sendiri beranjak masuk ke kamarku dan menangis sejadi-jadinya. *** ‘Dan biar cintamu… menari di hatiku.. dan menjelajahi ruang-ruang di hatiku..” terdengar nada handphoneku yang mengisyaratkan adanya sebuah panggilan masuk. Aku yang tengah tertidur seketika terbangun dan buru-buru menerima panggilan masuk di handphoneku. “Assalamu alaikum, Ran! Ada info bagus buat kamu!” sahut seseorang di ujung telpon. “Maaf kamu siapa ya?” tanyaku tidak dapat mengenali suara di ujung telpon itu. “Ya ampun! Kok kamu tidak dapat mengenali suara aku sih! Baru bangun ya?! Ini aku Luthfi,” “Oh Lutfhi ya! Sorry, iya nih aku baru bangun setelah menghabiskan sekian jam untuk menangis yang hingga akhirnya aku tertidur. Memangnya sekarang sudah jam berapa?” “Sudah jam delapan malam Nona Rani! Hebat banget ya tidurnya!” goda Luthfi sambil cekikikan. “Hus..! sudah, kata kamu ada info yang bagus untukku, kalau boleh tau info apaan ya?” “Aku kan tau kalau kamu itu sangat cinta pada hal-hal yang berkaitan dengan sastra, sains apalagi kedokteran! Tapi kali ini infonya berhubungan bukan berkaitan dengan sastra, tulisan ataupun penulisan dan semacamnyalah, tetapi ini info mengenai kedokteran! Sejak kecil kamu kan sangat ingin menjadi seorang dokter tetapi kini impianmu itu terbatasi oleh ketunanetraanmu bukan?!” “Iya..iya.. terus.. ayo lanjut!” “Aku baru saja habis berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa kedokteran dari universitas ternama di kota kita ini. Waktu aku ditanya-tanya oleh mereka mengenai cita-cita aku, aku menjawab bahwa aku ingin menjadi psikolog maka itu tahun depan aku ingin menembak jurusan psikolog pada SMPTN nanti. Terus mereka bilang mengapa aku tidak menembak jurusan kedokteran saja, yah aku jawab seadanya bahwa aku kan seorang tunanetra dan rasanya akan sulit bahkan sangat mustahil untuk dimasuki oleh kaum tunanetra seperti kita ini. Terus mereka berkata lagi bahwa sebenarnya hal itu sangat tidak mustahil untuk kita gapai sebab di Amerika sana, terdapat beberapa dokter yang merupakan seorang tunanetra. Walaupun mereka itu bukanlah seorang dokter spesialis, tetapi setidaknya mereka dapat menjadi dokter umum ataupun menjadi dokter di laboraturium,” “Hah?!! Masak sih?! Kok bisa? Bagaimana caranya? Semua alat-alat yang meski para dokter gunakan itu kan membutuhkan penglihatan!” “Nah itu hebatnya! Di sana, seluruh alat-alat yang mereka gunakan itu dapat berbicara layaknya handphone ataupun laptop yang kita sering gunakan sehari-hari.,” “Wah hebat banget ya! Tetapi bukankah di negeri kita ini Indonesia belum secanggih itu!?!” “Nah itulah yang disayangkan oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran itu. Tetapi kalau kamu memang ingin mewujudkan impianmu, terpaksa kamu mesti ke Amerika! Hehehe…” “Ah percuma saja! Hal itu tetap mustahil buatku. Selain aku itu masih kelas 2 SMA, ruang gerakku sangat dibatasi oelah orangtuaku. Aku saja yang ingin masuk ke dalam sebuah sanggar yang terletak lumayan jauh dari tempat tinggalku ini pun Ayah ku menolak mentah-mentah permintaanku itu, padahal tempatnya masih berada dalam kota ini! Apalagi ke Amerika?!! Yah aku sangat yakin Ayah dan Ibu tidak akan pernah setuju! Kecuali…,” “Kecuali apa?” “Yaa.. kecuali aku kaburlah!” “Ugh, dasar kamu! Oh ya, sudahan dulu ya, aku belum shalat isya nih! Memangnya kamu tidak shalat ya, Ran?” “Tidak, aku lagi berhalangan nih. Kedatangan tamu bulanan! Okey gih shalat sana!” telpon pun terputus. Kembali aku terdiam, perasaan sedih itu pun kembali hadir dan merasuk ke sukmaku. Namun seketika info yang baru saja aku dapatkan dari Luthfi, impianku untuk menjadi seorang dokter itu yang telah sekian lama kupendam dan kukubur dalam-dalam di hati dan pikiranku sekarang kembali timbul bahkan menyala-nyala di dadaku. Aku pun berpikir sebaiknya aku harus pergi dan meninggalkan rumah dan kota ini mumpun aku masih memiliki sejumlah tabungan. Aku harus berhasil meraih segala impianku. “Maafkan Rani, Ayah, Ibu.. Rani harus pergi. Rani tidak ingin lagi merepotkan kalian, Rani tidak ingin menjadi yang sesuai kata-kata Ayah selama ini bahwa aku telah banyak merepotkan dan menjengkelkan kalian. Rani memang sebaiknya harus pergi. Dan di suatu saat nanti, Rani akan menunjukkan kepada Ayah dan Ibu bahwa Rani dapat sukses seperti mereka yang normal. Salam kasih dan saying selalu buat Ayah dan Ibu,” suara Ibu seketika bergetar setelah membaca surat itu. Seketika sekujur tubuh menjadi lemas hingga akhirnya Ibu pun jatuh pingsan. “Ibu sudah sadar. Kurang ajar sekali anak itu! Anak itu taunya hanya menyusahkan orangtua saja!,” Ayah memaki. “Sudahlah Ayah, kita ini memang terlalu keras dan menekan Rani. Untuk sementara sebaiknya kita berdoa saja semoga Rani baik-saja di luar sana. Hanya Allah-lah yang mampu menjaga dan melindungi Rani,” *** Di bandara Soekarna Hatta, aku baru saja turun dari pesawat yang membawaku hingga ke tempat ini. “Mari saya bantu, Mbak!” seorang pramugari menawarkan bantuan kepadku untuk membimbingku. “Terima kasih ya, Mbak pramugari. Oh ya, mbak ini yang membawa makanan untuk para penumpang kan?” kataku seraya tersenyum manis kepadanya. “Iya, kok tau sih? Mbak mengenali suara saya ya?! Oh ya, mbak mau ke mana? Biar aku bantu untuk mencari taxi untuk mbak,” “Iya terima kasih, tapi sebaiknya tidak usah mbak, aku pengen hubungin salah seorang teman saya di kota Jakarta ini untuk menjemputku di sini sebab rencananya aku ingin menginap di rumahnya untuk sementara waktu. “Kalau begitu, saya temanin mbak ya sampai teman mbak datang. Saya hanya khawatir mbak cumin sendirian di sini,” “Mbak sangat baik. Terima kasih banyak, semoga Tuhan membalas kebaikan mbak,” kataku lalu memanggil handphone yang ada di sakuku. “Halo Mbak Mar, ini Rani. Sekarang Rani lagi ada di bandara nih, mbak bisa jemput Rani tidak? Rencananya Rani pengen menginap di rumah mbak untuk sementara waktu aja. Apakah mbak keberatan?” “Oh tentunya, Ran! Dengan senang hati aku akan menjemputmu dan memperbolehkanmu untuk menginap di rumahku. Tunggu ya, aku siap-siap dulu untuk menjemputmu!” Mbak Maria pun menutup telponnya. Aku kembali berbincang-bincang dengan pramugari yang baik hati itu. Kami juga berfoto dan saling menukarkan nomor handphone masing-masing. Setengah jam kemudian, Mbak Mariah telah datang menjemputku. Aku pun berpamitan kepada pramugari itu. “Sorry ya aku telah membuatmu lama menunggu. Wah nampaknya kamu sangat akrab ya dengan sang pramugari itu,” kata Mbak Maria membuka percakapan di dalam taxi yang kami tumpangi. “Wah itu mah no problem mbak! Semuanya sudah tau persis keadaan jalanan di kota Jakarta ini yang terkenal dengan super macetnya. Hahaha… dan seharusnya aku yang minta maaf karena sudah repotin mbak! Aku jadi sungkan,” “Tidak perlu sungkan, Ran! Anggap saja mbak ini adalah mbak kandungmu sendiri. Oh ya, kamu pengen buat apa jauh-jauh ke kota ini? Ada perlu?” Tanya Mbak Maria penasaran. Akhirnya aku menceritakan kronologi dan sebab mengapa aku terpaksa ke kota itu. Mbak Maria mendengarka ceritaku dengan hikmat. “Mbak, sudah sampai,” tegur sang supir taxi. “Oh sudah sampai rupanya! Tidak terasa ya, kita keasyikan ngobrol sih. Maaf yam as supir,” kata mbak Maria dengan ramah. *** Telah seminggu aku tinggal di rumah mbak Maria, dalam kurun waktu itu pula segala urusanku pun telah kelar. Aku dan mbak Maria berhasil mengurus surat kepindahanku dari sekolahku yang lama yang hamper setahun aku tidak masuk sekolah akibat sakit yang kuderita. Tidak pernah kusangka dan kubayangkan kalau akhirnya aku dapat kembali bersekolah apalagi bayangan pindah ke sola yang baru dan mesti bersekolah tanpa biaya dari sedikit pun dari orangtua, tetapi aku tidak khawatir sedikit pun sebab aku telah diterima sebagai contributor alias penulis bebas di salah satu perusahaan majalah ternama di kota ini. Dan gajinya pun lumayan untuk membiayai sekolah dan kebutuhanku sehari-hari. Sekarang aku tidak lagi tinggal bersama mbak Maria melainkan kini aku telah tinggal di salah satu rumah kost-kostan yang terletak tidak jauh dari rumah mbak Maria. *** Hari-hariku pun aku lalui dengan penuh perjuangan. Meski aku sangat sibuk dengan urusan pekerjaan dan sekolahku, aku tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim. Selain itu, organisasi yang telah kurintis tetap berjalan baik dan lancer. Aku pun juga sangat bersyukur sebab aku berhasil diterima masuk ke dalam kelas sains yang ada di sekolahku walaupun aku sejujurnya agak kesulitan, tetapi setiap membayangkan impianku itu terwujud, rasa sulit dan lelah yang kurasakan lenyap seketika. *** 8 tahun kemudian.. aku baru saja menyelesaikan tugasku di laboraturium. Terdengar seorang lelaki tengah memanggilku. “Dr. Rani!! Ada seorang pasien tengah mencarimu!” teriak lelaki itu. Aku pun sangat terkejut sebab lelaki itu menggunakan bahasa Indonesia saat memanggilku. “Lama tidak jumpa anda, Dr. Rani! Aku adalah seorang pasienmu yang telah bertahun-tahun engkau tinggalkan. Wahai dokter cintaku, sembuhkanlah diriku ini dengan menerima lamaranku untuk ketiga kalinya. Please…!” kata lelaki itu sambil menyerahkan setangkai mawar putih kepadaku. “Firdaus! Benarkah kamu adalah Firdaus?!” tanyaku tak percaya. “Tepat sekali! Aku Firdaus, sang pangeran hatimu sekaligus pasienmu yang sekian tahun meninggalkanku,” “Subhanallah!! Allah memang Maha Kuasa. Akhirnya Dia kembali mempertemukan kita walau itu di kota Washington ini. Aku sangat terharu dengan kejutan ini. Dan sekarang aku akan menerima lamaranmu walaupun aku sedih karena Ayah dan Ibu tidak ada di sini menyaksikan saat-saat bahagiaku ini,” “Apakah kamu tidak ingin bertanya kepadaku mengenai profesiku saat ini?” “Mau kok! Memangnya sekarang kamu berprofesi menjadi apa?” “Alhamdulillah, aku sudah menjadi dosen di salah satu universitas ternama di Jerman dalam bidang hubungan internasional,” “Syukurlah kalau begitu, aku turut senang. Kalau begitu, sebaiknya kita segera mengurus pernikahan kita sebelum semuanhya terlambat,” “Maksud apa? Apa tidak sebaiknya kita pulang ke Indonesia dulu dan menikah di sana dan tentunya kamu harus meminta restu orangtua kamu dulu?!” “Aku takut mereka kembali menolak lamaranmu walaupun mungkin kamu itu telah sukses seperti ini. Aku sangat trauma dengan semua ini! Mungkin aku hanya dapat mengirimkan pesan kepada mereka bahwa kita akan menikah. Oh ya, bagaimana dengan orangtua kamu sendiri? Apakah dia tau mengenai hal ini?” “Tentu, sebelum aku ke sini aku menyempatkan pulang ke Indonesia meminta doa dan restu dari keduanya. Kamu kan sudah tau bahwa orangtua aku tidak pernah menghalangi anak-anaknya yang ingin menikah dengan pilihannya sendiri selama calonnya itu orang yang baik,” “Yah.. andai saja orangtuaku juga seperti itu, tapi sudahlah. Sekarang kita harus menyelesaikan urusan pernikahan kita ini,” “Okay, dengan senang hati tentunya!” *** Toktok… terdengar suara pintu diketuk. Bu Syaid yang merupakan ibu Rani bergegas membuka pintu. “Assalamualaikum Bu!” “Nak Firdaus! Tunggu dulu, anak kecil yang bersamamu itu anak kamu dan Rani?!” “Iya, Bu, ini anak saya dan Rani,” “Oh cucuku… kamu sangat ucu dan tampan saying.. wajahmu perpaduan wajah Ayah dan Ibumu. Lihat matamu, matamu sama dengan mata Ibumu. Nak Firdaus, mana Rani? Ibu sangat rindu padanya,” “Maafkan aku, Bu.. saya tidak menyampaikan sebelumnya kepada Ibu bahwa Rani telah tiada di dunia ini. Sebelum kami menikah pun, Rani merahasiakan kepadaku bahwa tumor otaknya telah memasuki stadium akhir. Semangat besar yang ia miliki itu mampu membuatnya dapat bertahan melalui masa-masa sakitnya selama 3 tahun. Bahkan Rani tidak pernah Nampak sakit ataupun mengeluh, ia selalu ceria menjalani hari-hari bersamaku. Aku baru tau bahwa ia tengah kembali diserang oleh tumor itu ketika aku mendapatinya tergeletak pingsan di kamar mandi yang segera kularikan ke umah sakit terdekat Setelah memeriksa ecara detail kondisi Rani, dokter pun menyampaikan kepadaku bahwa umur Rani tinggal menghitung hari,” “Jadi Rani meninggal di rumah sakit itu?” “Iya, Bu. Setelah seminggu ia koma, pada saat yang bersamaan aku baru aja selesai mengerjakan shalat lail dan berdoa untuk kesembuhan Rani dengan curahan air mataku sebagai saksi bisu, tiba-tiba Rani bangun dari komanya dan memanggil namaku. Aku sangat bersyukur dan segera menghampirinya lalu mengecup keningnya. Kemudian ia menggenggam erat tanganku lalu berkata bahwa ia ingin tidur di pangkuanku. Aku pun elakukan sesuai permintaanya itu dengan hati-hati sebab alat-alat yang terpasang pada tubuhnya cukup banyak. Setelah itu, ia berbisik kepadaku agar aku membimbingnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum ia akan benar-benar tidur untuk selamanya. Dan Alhamdulillah, ia berhasil mengucapkannya denganfasih dan mudah,” “Rani…” lirih Ayah Rani yang rupanya mendengar percakapan mereka sejak awal. “Ayah.. puteri kita telah tiada..,” jerit pilu membahana di rumah itu. “Oh ya, ini ada kejutan buat Ayah dan Ibu yang telah lama Rani siapkan dari jauh hari,” kata Firdaus seraya menyerahkan sabuah map dan sebuah amplp kepada kedua orangtua Rani. “Apa ini, Nak?” “Itu adalah sertifikat rumah, Rani telah membeli sebuah rumah mewah di Washington buat Ayah dan Ibu. Dan yang satunya lagi itu adalah surat undangan untuk Ayah dan Ibu untuknaik haji di tahun ini, Rani juga telah mendaftarkan nam Ayah dan Ibu sebagai calon jamaah haji untuk tahun ini. Selamat ya buat Ayah dan Ibu!” Firdaus mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan kepada keduanya dengan mata yang basah. Seketika Firdaus dirangkul erat oleh keduanya sambil mengucapkan maaf sebesarnya. Tak lama kemudian, terdengar suara benda berat dan besar baru saja terjatuh di dekatnya. Firdaus pun makin terperanjat mendengar teriakan Syafi anaknya. “Grandma…!!” “Ibu..!! bangun Ibu!! Ibu.. Iibuu..!!”” ###

Kamis, 28 Februari 2013

Peran Pancasila dalam menyikapi arus globalisasi

lomba blog pusaka indonesia 2013










Beberapa hari yang lalu ketika saya jalan-jalan ke facebook, perhatian saya tersita oleh sebuah informasi lomba blog yang diadakan oleh kerjasama antar Yayasan Pusaka ndonesia dan Penerbit Dapur Buku yang bertema 'Penguatan identitas bangsa dalam komunitas global dan multikultural'.. Membaca tema lomba tersebut, dengan kening berkerut, saya berpikir bahwa tema ini gampang-gampang susah. Saya mengatakan demikian sebab rutinitas yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tentu bahkan hampir sebagian sangat berkaitan yang mau tidak mau mesti menggunakan campur tangan informasi teknologi dan sosial media. Tanpa kita sadari, kita telah candu akan hal tersebut alias tak bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari yang penggunanya itu baik dari kalangan anak-anak, remaja hingga dewasa. Namun sayangnya hanya sedikit yang mau ikut merenungkan dampak-dampak positif ataupun negatif dari hal tersebut. Sehingga saya sangat berterima kasih dan mengacungkan seratus jempol buat Yayasan Pusaka Indonesia dan Penerbit Dapur Buku yang telah mengajak saya dan yang lain untuk sejenak merenung akan hal tersebut.

Sesuai pernyataan dan pertanyaan yang telah dikemukakan oleh lomba ini bahwa Arus globalisasi di era teknologi informasi dan social media seperti saat ini, tentu tak terbendung lagi. Berbagai macam budaya dan gaya hidup mewarnai dan mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Sebagai sebuah bangsa yang punya identitas unik, bagimanakah posisi kita di tengah arus globalisasi? Bagaimana peran pancasila dalam menguatkan identitas bangsa kita, di tengah kepungan komunitas global &berbagai macam budaya tersebut. Sungguh dua pertanyaan yang saling berkaitan antara satu yang lain, begitu pun dengan jawaban-jawaban dari kedua pertanyaan itu.

Untuk pertanyaan yang pertama, saya akan menjawab dan mengatakan bahwa posisi kita saat ini tengah berada dalam bahaya. Budaya-budaya dari luar yang masuk ke dalam negri kita telah perlahan namun pasti mengubah bahkan menghancurkan budaya, gaya hidup, dan pola hidup yang kita miliki. Tetapi Satu hal yang harus kita ketahui bahwa hal itu dapat kita antisipasi jika kita memiliki filter dan kepribadian yang kuat. Jika kita ini memang mengaku dan tahu diri bahwa kita adalah bangsa Indonesia, kita wajib menanamkan dan mempertahankan ideologi pancasila dalam jiwa  dan kehidupan kita sehari-hari dimana pun kapan pun termasuk dalam arus globalisasi saat ini. Informasi teknologi dan sosial media telah menyuguhkan kepada kita beraneka ragam budaya, gaya hidup dan pola pikir yang berbeda-beda. Kita perlu berhati-hati akan suguhan-suguhan tersebut sebab hal itu sangat berpengaruh pada pribadi bangsa kita yang menjujung tinggi budaya timur bukannya terbawa-bawa arus masuk dalam budaya barat yang cendrung berideologi liberal, kapitalis, dan komunis. Salah satu contoh adanya pengakuan dan lampu hijau akan hubungan seks bebas dan homo seksual dan sebagainya yang sungguh sangat bertolak belakang oleh nilai-nilai agama dan luhur bangsa kita.  Bahkan parahnya mereka membentuk komunitas dan mereka tak akan segan -segan melakukan perlawanan dan pembelaan mati-matian kepada para yang kontra. Maka dari itu, kita perlu pintar memilah-milah suguhan buat kita.
Selanjutnya untuk pertanyaan yang kedua, saya akan menjawab sekaligus sedikit menjelaskan akan peran pancasila dalam masalah ini. Dalam hal ini, tentu pancasila memiliki peran yang amat besar dan kuat untuk meyikapi dengan bijaksana. Namun sebelum membahas lebih lanjut akan hal ini, sebaiknya kita perlu terlebih dahulu memahami makna dan tujuan sebenarnya dari pancasila. Siapa sih  yang tidak tahu dengan pancasila?! tentu kita semua telah tahu bahkan hapal mati sejak kita sekolah dasar  tentang kelima sila itu, tapi sayangnya ironis masih sedikit yang memahami makna sejati dari kelima sila itu atau ada juga yang memahami makna itu tetapi belum mampu untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Jadi peran pancasila sebagai ideologi ataupun falsafah bangsa Indonesia, tentu menjadi pegangan kuat yang fungdamental dalam menyikapi serangan-serangan dari budaya luar bangsa kita. Seperti yang saya katakan sebelumnya, sekali lagi, kita harus pintar memilah-milah suguhan mengenai budaya luar beserta gaya hidup dan pola pikir yang mungkin berbeda dengan ideologi dan nilai-nilai  dari pancasila. Panccasila juga akan berperan aktif yang akan menjadi tolak ukur dalam menerima budaya-budaya luar beserta gaya hidup dan pola pikir yang ada. Pantas dan sesuaikah dengan nilai-nilai pancasila sehingga kita dapat menerima dan mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari! Kalau pun ada budaya, gaya hidup, dan pola pikir dari luar bangsa kita namun bernilai positif & tak melenceng dari nilai-nilai pancasila? Kenapa tidak!! Tentu kita dapat menerimanya dengan baik, begitu pun sebaliknya. Saya akan memberi contoh terkait yang berhubungan dari setiap sila, yaitu:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
Contoh kasus yang ada yakni adanya penyesatan agama yang mempengaruhi dan mengajak serta untuk melenceng dari agama yang telah kita anut masing-masing. Melalui informasi teknologi dan sosial, serangan dari beberapa budaya luar kerap menghasut kita untuk meninggalkan agama kita selama ini, bahkan mengajak kita untuk menjadi pengikut aliran sesat, komunis ataupun pemuja setan, dan sebagainya. Ironisnya banyak dari kita khususnya para pemuda menjadi korban dimana sang idola yang mereka puja itu yang rata-rata artis barat rupanya tidak bertuhan dan ada juga yang ikut menjadi pemuja setan. Mungkin tidak perlu saya sebutkan namanya satu persatu. parahnya karena sang idola menganut paham tersebut, tak jarang ada dari diantara kita mengikuti jejak sang idola tersebut. Idih amit-amit! Jangan sampai kita masuk di dalamnya. Bukankah esa itu artinya satu?! Jadi Tuhan itu cuman satu, tidak kurang tidak lebih.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Contoh kasus, masihkah kita mengingat kejadian yang sangat menggeramkan kaum muslimin dengan rencana pembakaran al-qur'an? Mengapa hanya al-qur'an yang ingin dibakar? Mengapa dengan kitab-kitab yang lain? Sungguh tindakan tersebut amat jauh dari sila kedua ini sebab kita ketahui bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sangat menjunjung dan menghargai toleransi antar umat dan bertata krama ataupun beradab yang merupakan identitas dan berciri khas bangsa Indonesia. Sebagai budaya timur, kita sangat menjujung tinggi moral, etika dan nilai-nilai luhur yang lainya. Peristiwa itu sempat menjadi topik hangat yang dibahas oleh banyak kalangan yang disiarkan melalui media informasi teknologi dan sosial media.
3. Persatuan Indonesia
Contoh kasus yaitu adanya propokator dari negri lain untuk mengadu domba dan memecah belah antar umat yang ada di Indonesia. Mereka memiliki tujuan untuk merusak persatuan bangsa kita. Peperangan yang terjadi di Irak maupun di Palestina memang sih sebaiknya kita perlu mengirimkan bantuan kepada para korban, tetapi tak seharusnya kita mesti ikut-ikutan membenci ataupun memerangi kaum umat di Indonesia yang kebetulan menganut agama yang sama dengan kaum umat agama yang telah menyiksa kaum muslim di Irak dan Palestina sebab kaum umat yang bersangutan yang ada di Indonesia itu pun tidak tahu menahu asbab sebab terjadinya peperangan itu.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Contoh kasus, demokrasi yang ada di negri ini telah dicemar oleh budaya luar melalui informasi teknologi dan sosial media. Tuding menuding dari setiap pihak tak dapat dihindari padahal seharusnnya kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya bersikap bijaksana dalam meyikapi perseteruan antar pihak yang satu dengan yang lain seperti antar partai dan sebagainya, bukannya saling menjatuhkan ataupun mengompori. Apakah kita tidak malu kepada bangsa lain yang memprhatikan laju roda pemerintahan negri kita ini.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Contoh kasus, perlakuan yang kurang adil bagi para tenaga kerja Indonesia, bahkan kerap mereka mendapatkan kekerasan dari sang majikan. Ironisnya melalui media informasi teknologi dan sosial, kita yang semestinya bersikap tegas akan kasus tersebut dengan mengerahkan masyarakat untuk membantunya dalam bentuk perhatian, moril, atau materi melalui media itu, rupanya sebagian dari diantara kita memeladani sikap keji dari beberapa majikan mereka sehingga pembantu-pembantu yang ada di Indonesia pun juga sama mendapat perlakuan yang tidak manusiawi layaknya para TKI yang telah menjadi korban dari sang majikannya.

Maka dari itu, di tengah arus globalisasi ini, kita mesti menunjukkan dan memperkuat identitas bangsa kita dengan mengharumkan nama bangsa Indonesia. Untuk mengharumkannya, tentu dengan menanamkan dan mengaplikasikan nilai-nilai dari pancasila itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan memiliki pegangan yang kuat, tentu budaya dari luar tak akan mudah menggoyahkan ataupun mempengaruhi dan melunturkan budaya bangsa kita yang unik ini.

Semoga tulisan saya mudah dicerna, saya pun telah sengaja memilih bahasa yang agak ringan karena saya yakin tidak semua pembaca mudah paham akan bahasa yang tinggi ataupun berat, apalagi pengomsumsi media informmasi teknologi dan media sosial bukanlah hanya kalangan remaja ataupun dewasa, melainkan ada adik-adik kita yang masih berusia sekolah dasar. Semoga bermanfaat untuk kehidupan bangsa ini.